Sukabumi Update

100 Tahun Chairil Anwar: 7 Rekomendasi Puisi 'Si Binatang Jalang'

SUKABUMIUPDATE.com - Tanggal 26 Juli kemarin menjadi hari bersejarah ketika sang penyair legendaris Chairil Anwar lahir pada tahun 1928 silam. Ia aktif dalam menyebarkan karya puisi di masa pembentukan Indonesia merdeka sejak tahun 1942 sampai 1949. 

Melansir dari tempo.co, dalam dunia sastra, puisi-puisinya terbilang popular dan masih sering dibacakan oleh banyak kalangan. 

Disebutkan dalam laman p2kp.stiki.ac.id, Chairil Anwar telah menyumbang karya tulisan sebanyak 75 puisi, tujuh prosa, dan tiga koleksi puisi. 

Ia juga menerjemahkan 10 puisi dan empat prosa. Sedangkan dalam laman seasite.niu.edu, menyebutkan hampir semua puisi yang ia tulis merujuk pada kematian.

Melalui puisi-puisinya, Chairil Anwar mampu memberikan semangat baru pada perubahan sajak sastra di budaya Indonesia. Keunikan dan pengetahuannya membuat puisi-puisinya semakin tajam ketika didengar. 

Baca Juga :

photoPara seniman dan sastrawan termasuk di dalamnya ada Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin. Ketiga pemuda yang kondang sebagai sastrawan ini berembuk bersama setahun setelah kemerdekaan tergabung dalam Gelanggang Seniman Merdeka. - (Nederlands Fotomuseum/Charles Breijer)</span

Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa puisi terkenal yang pernah diciptakan oleh Chairil Anwar:

1. Nisan

Puisi berjudul nisan merupakan karya termudanya di tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. 

Umumnya istilah nisan merujuk pada batu yang ditanam di atas kuburan. Namun berbeda dengan apa yang disebutkan dalam laman sastra-indonesia.com. 

Nisan dalam puisi Chairil ialah persembahan bagi neneknya.

Berikut puisi lengkapnya:

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridhaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu di atas debu

Dan duka maha tuan tak bertahta

2. Aku

Mengutip Chairil Anwar, Hasil Karya dan Pengabdiannya (2009) karya Sri Sutjianingsih, puisi ini memperlihatkan fenomena hidup individualisme yang dijalankan oleh Chairil Anwar. 

Berikut lengkapnya:

Kalau sampai waktuku

Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

3. Karawang Bekasi

Dalam jurnal berjudul Nasionalisme dalam Sajak Chairil Anwar, puisi berjudul Karawang Bekasi merupakan gambaran dari situasi dan kondisi di front Karawang-Bekasi pada masa revolusi fisik (1945-1949). 

Tepatnya untuk mempertahankan pertahanan dari Nederlands Indies Civil Affair Officier (NICA). 

Berikut lengkapnya:

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

Tidak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami

Terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu

Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa

tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan ati 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenang lah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenang lah kami

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

4. Kepada Peminta-Minta

Berdasarkan jurnal journal.lppmunindra.ac.id, karya puisi ini ditulis oleh Chairil pada bulan Juni tahun 1943. 

Puisi ini menunjukkan sikap kritis Chairil dalam menggambarkan kondisi sesungguhnya kehidupan rakyat miskin atau kaum melarat pada pembaca. 

Mulai dari sikap ekspresionisme sampai sikap sosialnya dari apa yang terjadi. 

Berikut puisi lengkapnya:

Baik, baik aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kau bercerita

Sudah tercacar semua di muka

Nanah meleleh dari luka

Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kau melangkah

Mengerang tiap kau memandang

Menetes dari suasana kau datang

Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku

Menghempas aku di bumi keras

Di bibirku terasa pedas

Mengaum di telingaku

Baik, baik aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dari segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

5. Doa

Berdasarkan jurnal berjudul Pemahaman Semiotika Sajak Doa Karya Chairil Anwar, mengandung makna mengenai hubungan seorang insan dengan Tuhannya. 

Sajak ini terbilang bertentangan dengan diri CHairil sebagai "Ahasveros" atau bersikap individualis dan eksistensialis. 

Berikut puisi lengkapnya:

Kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh

Mengingat Kau penuh seluruh

Cahaya Mu panas suci

Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

Di pintu Mu aku bisa mengetuk

Aku tidak bisa berpaling

6. Persetujuan Dengan Bung Karno

Selanjutnya puisi yang dibuat oleh Chairil untuk Soekarno pada masa kemerdekaan. 

Isinya menjelaskan kobatan untuk melepaskan penjajahan dan membentuk Indonesia yang baru. 

Berikut lengkapnya:

Ayo! Bung Karno kasih tangan, mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengan bicara mu

Dipanggang di atas api mu

Digarami lautmu dari mulai tanggal 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api, Aku sekarang laut

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zat mu, di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di urat mu, di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh

7. Senja di Pelabuhan Kecil

Menurut jurnal berjudul Analisis Struktur Baris Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” Karya Chairil Anwar, menjelaskan bahwa puisi ini menggambarkan kondisi dari kesedihan, ratapan, dan duka. 

Pesan yang disampaikan adalah kegagalan sebuat cinta bukan akhir dan segalanya dan hal tersebut dapat kita dapatkan kembali dari pelabuhan yang lebih luas.

Berikut lengkapnya:

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

SUMBER: TEMPO.CO

Editor : Noity

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI