Sukabumi Update

Habis Bersetubuh Menjelang Imsak, Mandi Wajib atau Makan Sahur Dulu?

SUKABUMIUPDATE.com - Habis bersetubuh menjelang Imsak, mandi wajib atau makan sahur dulu? Ya, pertanyaan tersebut mungkin pernah terlintas di pikiran Anda. Bagaimana hukum bersetubuh saat sahur dan menjelang imsak?

Dilansir dari suara.com, sebelum dimulainya waktu berpuasa, terkadang manusia mengalami kondisi yang mewajibkan untuk mandi besar seperti sehabis mimpi basah atau pun bersenggama. Lantas bagaimana jika waktu untuk mandi bertabrakan dengan sahur atau imsak?

Mana yang harus dilakukan terlebih dahulu? Makan sahur atau mandi junub?

Islam tak melarang suami istri berhubungan badan saat bulan ramadan selama hal itu dilakukan di antara waktu malam hari hingga fajar.

Pun tidak ada larangan bagi seseorang yang junub untuk menikmati sahur. Sebab, sahur bukan merupakan aktivitas yang dilarang bagi orang yang junub.

Penjelasan ini merujuk pada apa yang disampaikan oleh Syekh Al-Qadli Abu Syuja seperti yang dikutip NU Online.

Haram bagi orang junub lima hal: shalat, membaca Al-Qur’an, memegang dan membawa mushaf, thawaf, serta berdiam diri di masjid.” (al-Qadli Abu Syuja’, Matn al-Taqrib, Semarang, Toha Putera, tanpa tahun, halaman 11).

Namun, akan lebih utama jika melakukan mandi wajib terlebih dahulu baru kemudian makan sahur.

Hal ini dikarenakan orang dengan janabah merupakan kondisi kurang baik ketika melaksanakan aktivitas bernuansa ibadah seperti makan sahur di bulan Ramadan.

Tapi jika waktu tidak memungkinkan, maka boleh melakukan santap sahur dengan membasuh kemaluan dan berwudhu terlebih dahulu.

Sebab, menurut Syekh Ibnu Hajad al-Haitami, adalah makruh hukumnya jika seseorang dalam kondisi junub lalu makan dan minum sebelum membasuh kemaluan dan berwudhu.

Dimakruhkan bagi junub, makan, minum, tidur dan bersetubuh sebelum membasuh kemaluan dan berwudhu. Karena ada hadits shahih yang memerintahkan hal demikian dalam permasalahan bersetubuh, dan karena mengikuti sunah Nabi dalam persoalan lainnya, kecuali masalah minum, maka dianalogikan dengan makan.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Minhaj al-Qawim, Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jeddah, Dar al-Minhaj, 2011, juz 2, halaman 71).

 

Sumber : suara.com

 

Editor : Muhammad Gumilang Gumilang

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI