Sukabumi Update

Hari Pers Nasional: Moralitas Wartawan Ditengah Gempuran Idealisme, Realitas dan Bahasa

Ilustrasi. Hari Pers Nasional: Moralitas Wartawan Ditengah Gemparan Idealita, Realita dan Bahasa (Sumber : Freepik)

SUKABUMIUPDATE.com - Hari ini, 9 Februari 2023 diperingati sebagai Hari Pers Nasional. Peringatan Hari Pers Nasional ini bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985 tentang Hari Pers Nasional.

Hari Pers Nasional identik dengan dunia jurnalisme yang kini kian disorot media. Ruh media dan dunia pers tidak terlepas dari unsur jurnalis, wartawan atau reporter yang turun ke lapangan.

Hari Pers Nasional mengingatkan tentang urgensi moralitas seorang wartawan di dunia kerja nya, idealisme yang berbenturan dengan realita liputan di lapangan kerap menimbulkan pergolakan moral dan emosional. Ya, ini sisi dilematis seorang wartawan.

Baca Juga: 2 Anak Gadis yang Hilang di Cireunghas Sukabumi Ternyata Ikut Komunitas Anjal

Ulasan ini melansir dari tulisan salah satu Dosen Jurnalistik Universitas Teuku Umar yakni Drs. Muzakkir, MA yang membagikan sudut pandangnya soal dunia jurnalisme di laman resmi utu.ac.id. Sisi jurnalis ini mengangkat tentang dilematisnya jurnalis dalam dunia pers, bertajuk "Moralitas Wartawan Antara Idealita dan Realita".

Menurut Muzakkir, makna idealisme wartawan memang secara hakikat bisa dikatakan mudah. Idealita sendiri artinya ‘apa yang seharusnya didapatkan/diperoleh’. Wartawan dituntut mengembangkan profesi jurnalistiknya untuk mencerdaskan bangsa.

Sementara moralitas adalah keseluruhan norma, nilai maupun sikap seseorang atau masyarakat. Moralitas didefinisikan sebagai sikap hati yang terungkap dalam perbuatan lahiriah. Moralitas terlihat ketika orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggungjawabnya. Bukan atas dasar mencari keuntungan, atau profit oriented.

Tugas wartawan dan media ini tidak sebatas berperan sebagai penyampai informasi kepada masayarakat semata. Lebih dari itu, wartawan dituntut sesuai dengan moral (etika) jurnalistiknya untuk melahirkan berita-berita yang mampu membuat masyarakat memahami dan mengambil pelajaran berguna.

Moralitas Seorang Wartawan dalam Dunia Pers

Moral adalah sikap dan perilaku ideal berdasarkan pertimbangan akal yang dimiliki manusia. Hanya moral yang baik dan keberhati-hatian yang dapat menolong seorang wartawan dalam urusan ini.

Misalnya, seorang wartawan tidak akan menguraikan secara detail keadaan seorang korban pemerkosaan, korban mengalami trauma sangat memilukan. Hal ini berlaku jika seorang wartawan sadar bahwa deskripsi tentang keadaan korban akan menyebabkan pembaca dihantui rasa kecewa, marah, sehingga terganggu secara psikologis, atau tertusuk nurani kemanusiaannya, dikutip dari Maskun Iskandar tahun 2004.

Baca Juga: Peringatan Hari Pers Nasional 2023: Sejarah, Logo, Tema hingga Maskot

Dalam KBBI, Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Menilik batasan pengertian tersebut, maka moral bisa digunakan untuk dimensi duniawi dan bisa untuk ukhrawi.

Peran wartawan yang dianggap sebagai penyampai informasi lewat tulisan, harus mengedepankan moral kewartawanannya secara benar sesuai dengan yang diamanahkan oleh kode etik jurnalistik itu sendiri.

Nilai-nilai profesional bagi wartawan sebagaimana tercantum dalam setiap kode etik pers adalah akurasi, objektivitas, dan keseimbangan. Media memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi sekaligus merubah pola pikir hingga sikap dan perilaku publik.

Karenanya, selain berfungsi menyiarkan informasi, media juga berperan untuk mendidik, mengajak, dan menyajikan ruang ilmu pengetahuan bagi pembacanya. Bahkan, peranan media sebagai sarana komunikasi bisa sangat menentukan perubahan moral dan watak masyarakat di masa depan.

Tak hanya itu, konteks dunia pers menunjukkan seorang wartawan harus memiliki naluri yang kuat untuk memilih dan memastikan mana peristiwa yang layak diberitakan, mana pula yang tidak. Dan untuk memastikan layak tidaknya sebuah berita, maka news value (nilai berita) yang berperan menjadi indikatornya, menurut Yarmen Dinamika, Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia.

Moralitas Wartawan Ditengah Gempuran Idealisme, Realitas dan Bahasa

Di zaman kemajuan informasi dan teknologi saat ini, idealita dan realita tidak bisa ‘diceraikan’. Keduanya memiliki kesamaan dan kepentingan dengan sosok wartawan di dunia pers.

Penyampaian informasi yang sesuai dengan idealita dan realita harus memenuhi unsur keseimbangan (balanced), secara istilah melaporkan kedua sisi mata uang (cover both sides).

Artinya, jika ada dua pihak yang berbeda pendapat atau berbeda dalam memberikan keterangan, di dalam unsur berita keduanya harus diberi tempat yang sama. Disini, wartawan tidak boleh condong ke salah satu pihak, alias harus bersifat netral.

Baca Juga: Hari Pers Nasional 2023, Sapto Anggoro: Media Perlu Kembali pada Visi dan Misinya

Apabila ada pertikaian antara warga yang tanahnya kena gusur dengan pemerintah kota yang menggusur mereka, pendapat atau keterangan kedua pihak hendaknya diceritakan secara bersama-sama. Secara idealis, wartawan harus berpegang pada prinsip moral, kode etik wartawan ‘katakan yang benar walaupun pahit’.

Namun demikian, tidak selamanya sebuah laporan dapat memenuhi asas berimbang, seperti yang menjadi tuntutan jurnalisme yang ideal. Apabila kedapatan gagal mendapatkan konfirmasi, wartawan harus menyebutkan bahwa apa yang dinyatakan dalam berita itu belum dikonfirmasikan oleh pihak terkait. Padahal keterangan hasil konfirmasi itu sudah harus disajikan, walaupun cara seperti itu bukanlah cara yang ideal.

Relevansi fakta yang disajikan, membantu pembaca memahami laporan tersebut juga menjadi hal penting untuk dipertimbangkan. Kejelian si pelapor dalam menggali fakta dan bersikap selektif pada saat disajikan kepada audiens ini adalah hal yang sangat menentukan.

Wartawan harus mempertimbangkan nilai akurasi dalam menyajikan fakta. Akurasi disini berperan penting dalam pemberitaan. Sehingga, crosscheck informasi wajib dilakukan agar informasi yang disampaikan wartawan memenuhi unsur fair, jujur dan tidak berprasangka.

Penyajian informasi oleh wartawan bisa mencakup background information manakala diperlukan. Agar pembaca dapat memahami duduk perkara sebuah isu, maka latar belakang peristiwa atau masalah yang dilaporkan perlu diungkap dengan ringkas, jelas dan runut. Tanpa adanya paragraf background information, pembaca biasanya mendapat kesulitan memahami cerita dengan baik. Khawatir terjadi mis-informasi disini.

Profesor Bakhtiar Ali, guru besar ilmu komunikasi UI, mengatakan, media yang cerdas tidak pernah secara serta merta memuat berita atau pernyataan dalam bahasa yang vulgar. Pers, kata Bakhtiar Ali, bukan hanya sebatas profesi, tetapi ia adalah panggilan hati nurani. Kutipan ini telah dimuat dalam Tabloid Modus Aceh, Edisi 1, Minggu kedua, Oktober 2006, halaman 2.

Sumber: utu.ac.id

Editor : Nida Salma Mardiyyah

Tags :
BERITA TERKAIT