Sukabumi Update

AI Jadi Asisten Ulama di Iran, Fatwa Terbit Cepat Dari 50 Hari Jadi 5 Jam

Ilustrasi. Teknologi AI Jadi Asisten Ulama di Iran, Fatwa Terbit Cepat Dari 50 Hari Jadi 5 Jam (Sumber : Instagram/@omahsantri.id)

SUKABUMIUPDATE.com - Kecanggihan Teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan semakin dimanfaatkan oleh beberapa ilmuwan di dunia. Meskipun pemanfaatan potensi teknologi AI untuk kepentingan agama ada yang menuai kontroversi karena dianggap hanya berpatokan pada robot bukan akal manusia.

Terbaru, melansir laporan Financial Times, para ulama di Iran mulai menggunakan teknologi AI untuk membantu penerbitan fatwa. Fatwa adalah sebuah istilah dalam Hukum Islam mengenai pendapat atau tafsiran pada masalah tertentu.

Eksperimen dilakukan di kota suci Qom, salah satu kota di Iran yang lebih dikenal sebagai pusat pembelajaran Islam dan ziarah yang taat daripada pusat teknologi mutakhir. Potensi pemanfaatan teknologi AI di Iran juga mengeksplorasi hal-hal terkait menguraikan teks-teks Islam yang panjang untuk mencari petunjuk hingga mengeluarkan fatwa-fatwa agama.

Baca Juga: Susi Pudjiastuti Komentari Aksi Bebersih Sampah di Pantai Loji Sukabumi

Mohammad Ghotbi, pemimpin perusahaan teknologi di Kota Qom Iran mengatakan, teknologi AI bukan untuk mengambil alih peran ulama. Mereka (teknologi AI) akan berperan sebagai asisten ulama agar bisa menerbitkan fatwa lebih cepat, dari semula 50 hari menjadi 5 jam saja.

“Robot tidak bisa menggantikan ulama senior, tapi mereka bisa menjadi asisten tepercaya yang bisa membantu mereka mengeluarkan fatwa dalam lima jam, bukan 50 hari,” kata Mohammad Ghotbi, dilansir dari ft.com, Kamis (5/10/2023).

Mengacu pada sejarah, Iran saat ini diwarnai dengan pertentangan antara tradisi dan modernitas. Sebanyak 200.000 ulama Syiah di negara tersebut (Iran) -setengahnya tinggal di Qom-, telah menjadi kekuatan utama dalam melindungi nilai-nilai tradisional dan agama.

Namun karena kepemimpinan Iran menghadapi seruan yang semakin besar untuk melakukan modernisasi setelah terjadinya gerakan protes massal tahun lalu, para ulama di Iran memandang teknologi sebagai cara untuk menyambut pembangunan sekaligus memperkuat karakter Islam.

Baca Juga: 10 Ciri-Ciri Orang Stres Karena Terlalu Banyak Tekanan Hidup

Mohammad Ghotbi, yang juga memimpin Rumah Kreativitas dan Inovasi Eshragh, menegaskan soal alasan para ulama tidak boleh menentang keinginan masyarakat Iran untuk ikut serta dalam kemajuan teknologi global.

“Masyarakat saat ini lebih menyukai percepatan dan kemajuan,” kata Ghotbi.

Lembaga keagamaan Iran telah mencari cara untuk memanfaatkan teknologi AI sejak konferensi Artificial Intelligence pertama kali diadakan di Kota Qom, Iran pada tahun 2020.

Kepala Seminari Qom, lembaga terbesar di dunia Syiah, baru-baru ini membuka diri tentang bagaimana teknologi AI mempercepat studi Islam di kalangan senior. Dalam kata lain mempercepat komunikasi ulama kepada masyarakat sekaligus menjadi ajang untuk mempromosikan peradaban Islam.

“Seminari harus terlibat dalam penggunaan teknologi modern dan progresif terkait kecerdasan buatan ,” kata Ayatollah Alireza Arafi bulan Juli lalu.

Baca Juga: 10 Ciri-Ciri Anak Stres Karena Sering Dimarahi Orang Tua

Pusat penelitian AI terkemuka di Kota Qom Iran, juga berafiliasi dengan seminari dan memiliki akses ke sumber data kuno dengan usia berabad-abad, yang dapat dimasukkan ke dalam algoritma.

Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran, turut mendesak para ulama untuk lebih memperhatikan kemungkinan teknologi AI. Ia mengatakan keinginannya untuk menjadikan Iran sebagai 10 negara teratas di dunia dalam hal kecerdasan buatan.

Meski begitu, soal pemanfaatan teknologi AI, Iran tergolong masih tertinggal dibandingkan rival regionalnya seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang memiliki rencana ambisius menggunakan AI untuk meningkatkan perekonomian mereka. Namun, dengan menunjukkan dukungannya, Khamenei telah memberikan mandat kepada para ulama untuk mengejar teknologi mutakhir (Artificial Intelligence) dalam upaya mengejar ketinggalan.

Sumber: Financial Times

Editor : Nida Salma

Tags :
BERITA TERKAIT