Sukabumi Update

Akibat Gemar Disanjung, Donald Trump Diduga Jadi Mata-mata Rusia Selama 40 Tahun

SUKABUMIUPDATE.com - Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump diduga dimanfaatkan Uni Soviet dan Rusia untuk menjadi mata-mata selama 40 tahun. Keterangan ini diperoleh dari mantan anggota Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB), Yuri Shvets.

Shvets yang merupakan mantan anggota KGB alias badan intelijen Uni Soviet ini mengatakan, Donald Trump ikut andil dalam propaganda anti-Barat.

Pada tahun 1980-an, Shvets dikirim ke Washington oleh Uni Soviet dan ia menyatakan bahwa posisi Trump sama dengan "The Cambridge Five", yakni jaringan mata-mata Inggris yang memberikan informasi rahasia ke Uni Soviet selama Perang Dunia II dan awal Perang Dingin.

Melansir dari laporan The Guardian, Minggu, 31 Januari 2021, pada tahun 1980-an tersebut, Shvets dikirim ke Washington dan menyamar menjadi koresponden kantor berita Rusia, Tass. Ia kemudian pindah secara permanen dan memperoleh kewarganegaraan Amerika Serikat pada 1993. Shvets lalu bekerja sebagai penyelidik keamanan perusahaan dan mitra mendiang mata-mata Rusia bernama Alexander Litvinenko yang dibunuh di London pada 2006.

Pernyataan Shvets soal Donald Trump ini ditulis jurnalis Craig Unger dalam buku American Kompromat. Unger menuturkan bahwa Trump pertama kali menarik perhatian Rusia pada 1977.

Unger juga menulis buku House of Trump, House of Putin. Buku tersebut mengungkap aliansi tersembunyi antara Amerika Serikat dan mafia Rusia. Ini mengungkap bagaimana Rusia mendapatkan kembali kekuatannya setelah Perang Dingin dan mereka tidak pernah berhenti menyerang Barat. 

"Ini adalah contoh dimana orang direkrut ketika mereka masih pelajar dan kemudian mereka naik ke posisi penting; sesuatu seperti itu terjadi dengan Trump," kata Shvets.

Unger mengatakan, Donald Trump pertama kali muncul di radar Rusia pada 1977 ketika ia menikahi istri pertamanya, Ivana Zelnickova, seorang model asal Cekoslovakia. Trump kemudian menjadi target operasi mata-mata yang diawasi oleh dinas intelijen Cekoslovakia bekerjasama dengan KGB.

Tiga tahun kemudian, Donald Trump membuka pengembangan properti besar pertamanya, hotel Grand Hyatt New York, dekat stasiun Grand Central. Kala itu Trump membeli 200 set televisi untuk hotel tersebut dari Semyon Kislin, seorang imigran Uni Soviet yang ikut memiliki toko elektronik Joy-Lud di Fifth Avenue.

Menurut Shvets, Joy-Lud dikendalikan oleh KGB dan Kislin bekerja sebagai "agen pengintai" yang mengidentifikasi Donald Trump. Trump disebut sebagai pengusaha muda yang tengah naik daun dan aset yang potensial untuk dijadikan mata-mata. Namun Kislin menyangkal bahwa ia memiliki hubungan dengan KGB.

Kemudian pada tahun 1987, Donald Trump dan Ivana mengunjungi Moskow dan St Petersburg untuk pertama kalinya. Saat itulah, Shvets mempengaruhi Trump untuk memberikan arahan yang dirumuskan oleh KGB. Trump pun merasa tersanjung oleh KGB yang melontarkan gagasan bahwa ia harus terjun ke politik.

Setelah berkunjung ke Moskow, Donald Trump lalu mencari cara agar dirinya dilirik untuk menjadi kandidat bakal calon presiden. Sementara KGB telah mengumpulkan banyak informasi tentang kepribadian Trump. Sehingga mereka mengetahui siapa Trump secara pribadi, dimana ia sangat rentan secara intelektual dan psikologis, bahkan ia cenderung senang mendapat sanjungan.

"Inilah yang mereka (KGB) eksploitasi. Mereka memainkan permainan itu seolah-olah mereka sangat terkesan dengan kepribadiannya (Trump) dan percaya bahwa dialah yang seharusnya menjadi Presiden Amerika Serikat suatu hari nanti: orang-orang seperti dia yang dapat mengubah dunia. Mereka memberinya makan apa yang disebut langkah-langkah aktif, soundbites, dan itu terjadi. Jadi itu pencapaian besar bagi langkah-langkah aktif KGB pada saat itu," kata Shvets.

Setelah dirinya kembali ke Amerika Serikat, Donald Trump mulai menjajaki pencalonan presiden dari Partai Republik dan bahkan menggelar rapat umum kampanye di Portsmouth dan New Hampshire.

Bahkan Donald Trump juga menerbitkan iklan satu halaman penuh di sejumlah surat kabar, antara lain New York Times, Washington Post, dan Boston Globe yang berisi pendapat yang meragukan keikutsertaan Amerika Serikat di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan menuduh Jepang mengeksploitasi AS.

Kondisi itu menimbulkan keheranan dan kegembiraan di Rusia. Beberapa hari kemudian, Shvets pulang ke Rusia dan menghadap pimpinan KGB di Yasenevo. Petinggi KGB pun menyatakan kebahagiannya karena rencana mereka membina Donald Trump untuk memojokkan pihak barat berhasil.

Shvets mengatakan, hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ia mengaku cukup akrab dengan langkah-langkah aktif KGB yang dimulai pada awal 1970-an dan 1980-an hingga Donald Trump menjadi presiden.

Kemenangan Donald Trump dalam pemilu Amerika Serikat tahun 2016 kembali disambut oleh Rusia. Rusia disebut mempunyai proyek inisiatif dari Center for American Progress Action Fund dan menemukan tim kampanye hingga transisi Trump memiliki 272 kontak dengan agen Rusia, bahkan setidaknya ada 38 pertemuan yang dilakukan.

Donald Trump merupakan target sempurna dalam banyak hal: kesombongan dan narsisme membuatnya menjadi target alami untuk direkrut dan dibudidayakan selama 40 tahun.

Editor : Oksa Bachtiar Camsyah

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI