Sukabumi Update

Koruptor KTP-El dan Filosofi Empati Orang Jepang

SUKABUMIUPDATE.com - Neng Sarah, anak pertama saya, tiap hari kesal. Gara-garanya, KTP-Elektronik yang dipesannya di kelurahan Aren Jaya, Bekasi Timur, tak jadi-jadi. Padahal, Neng sudah mengajukannya lima bulan lalu.

Neng tak lama lagi selesai kuliah. Kalau tak punya KTP, bagaimana bisa melamar  pekerjaan?  Tanpa KTP,  tak akan ada surat keterangan kelakuan baik, tak akan ada surat domisili, dan surat keterangan lain yang dibutuhkan untuk melamar pekerjaan tadi.  Repot! Kalau Neng mau mendirikan perusahaan, jelas akan repot lagi. Bank tak mungkin memberikan kredit kepada orang tak punya KTP. Juga orang mau menikah. Pengadilan agama tak akan mengizinkan orang menikah tanpa KTP. Pendeknya, tanpa KTP, orang sulit “bergerak.”

Pertanyaannya, terpikirkah para koruptor KTP–El sebelum menggangsir dana proyek bernilai trilyunan itu?  Terpikirkah bahwa perbuatannya menyusahkan banyak orang? Saat ini, akibat kasus korupsi KTP-El, ada puluhan juta orang yang nasibnya terlunta-lunta karena tak punya KTP.

Dalam kondisi seperti ini, siapa yang salah? Apakah hanya koruptor itu saja yang harus dipersalahkan? Kita perlu merenung, jangan-jangan kita pun ikut “andil” dalam kasus megakorupsi itu.

Andilnya? Sejak kecil, orang tua kita, masyarakat kita, dan lingkungan kita tampaknya gagal mengembangkan empati terhadap sesama manusia. Sebelum memukul orang, kata Lau Tze, rasakan bagaimana seandainya kamu dipukul orang. Jika anda berhasil merasakannya, niscaya  tak akan terjadi pemukulan itu. Itulah contoh, bagaimana merasakan empati terhadap orang lain.

Orang Jepang, terkenal dengan kejujurannya. Kusumo, teman saya waktu di Jepang, pernah ketinggalan dompetnya di stasiun kereta api Tokyo. Dua belas jam kemudian, setelah dicari, dompet itu masih ada di tempat duduknya di stasiun. Utuh, Taka ada yang hilang sedikit pun.  Kenapa bisa?

Orang Jepang sudah diajarkan bagaimana berempati kepada orang lain sejak kecil. Dalam kasus dompet tadi, orang Jepang akan berpikir, bagaimana seandainya dompet itu miliknya. Pasti ia akan kelabakan kalau hilang. Makanya, orang Jepang tak mau mengambilnya karena ia bisa merasakan bagaimana kalutnya si empunya dompet tersebut.

Empati adalah  menempatkan diri kita  menjadi “orang lain”. Itulah “akhlak” orang Jepang yang menjadikannya tidak mau korupsi. Tidak mau mencuri.

Di bawah ini, beberapa contoh bagaimana orang Jepang menumbuhkan empatinya, sehingga mereka berhasil membangun negaranya menjadai negara maju. Penduduknya jujur dan kerja keras.

Contoh pertama, kalau sedang ngomong sama orang tua kita, cobalah merasakan diri kita sebagai orang tua yang sering "kebingungan". Lalu berbicaralah sebaik mungkin kepada orang tua.

Contoh kedua, ketika sedang ngomong dengan "anak kita" --  maka rasakan diri kita menjadi anak yang bandel. Lalu, bagaimana caranya kita berbicara kepada anak yang bandel itu?

Contoh ketiga, ketika kita sedang berbicara kepada customer atau downline, maka rasakan kita menjadi dia terlebih dulu. Begitu juga ketika kita mau berbicara kepada sahabat, guru, bahkan musuh – jadilah atau rasakan dulu kita sebagai “mereka”. Niscaya kita akan menemukan kebijakan dan kearifan.

Lalu, kenapa dompet yang jatuh di stasiun Tokyo, Jepang, kemungkinan besar “akan kembali  kepada pemiliknya?” Karena orang Jepang yg menemukan langsung akan berpikir: bila uang di dompet ini aku ambil... jangan-jangan pemiliknya gak punya uang lagi. Ia pasti akan bingung bayar utang, bingung bayar listrik, bingung beli makan,  anaknya kelaparan, dan lain-lain.

Itulah pelajaran empat yang ditanamkan pada anak-anak Jepang sejak kecil. Ternyata hasilnya luar biasa. Jadi, jangan heran bila kita membaca berita seperti ini.

1. Orang Jepang yang ketahuan korupsi,akan angat malu dan langsung mengucilkan diri. Bahkan banyak yang bunuh diri karena malu.

2. Pejabat yang merasa gagal akan mundur, karena dia pakai kacamata rakyatnya.

3. Wanita pulang kerja malam hari terjamin keamanannya, karena para pria berpikir, bagaimana kalau itu adik, anak atau istrinya pulang malam seperti dia.

So, tak mungkinlah orang Jepang menggangsir anggaran untuk membuat KTP-El. Ia akan merasakan betapa jutaan orang akan sulit dapat KTP-El sehingga banyak aktivitasnya terhambat. Akan menyusahkan banyak orang.

“Kalau tidak ingin susah, jangan menyusahkan orang lain,” kata Ali bin Abi Thalib! Orang Jepang ternyata “lebih islam” ketimbang orang Islam Indonesia.

Editor : Administrator

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI