Sukabumi Update

Ribuan Karyawan Kena PHK, 18 Perusahaan Tekstil di Jawa Barat Terpaksa Ditutup

SUKABUMIUPDATE.com - Perang Rusia dan Ukraina ternyata memberikan efek yang sangat besar terhadap industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). 


Seperti yang diungkapkan Yan Mei, Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jabar (PPTPJB), sudah ada laporan mengenai PHK yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan tekstil di kabupaten dan kota di Jawa Barat.


"Total PHK itu ada 64 ribu pekerja dari 124 perusahaan," ucap Yan Mei dalam konferensi pers secara virtual pada Rabu, 2 November 2022, seperti yang dilansir dari Tempo.co.


Ia berujar kondisi ini terjadi lantaran terjadi penurunan daya beli masyarakat, khususnya daya beli di negara-negara tujuan ekspor. Di antara perusahaan yang terdampak, Yan Mei menyebutkan ada 18 perusahaan yang tutup hingga akhirnya terpaksa melakukan PHK terhadap kepada sekitar 9.500 karyawan.


Angka total karyawan yang terkena PHK, menurutnya, akan terus berubah seiring laporan yang masuk. Namun ia memprediksi jumlahnya terus bertambah hingga tahun depan, terlebih akibat adanya tekanan resesi global. 


Sementara itu, ia mengungkapkan di pabrik garmen miliknya di Kabupaten Bogor, terjadi penurunan pesanan secara drastis sejak April 2022. Penurunannya mencapai lebih dari 50 persen. Kemudian, terjadi ketidakstabilan pesanan di bulan-bulan selanjutnya. Bahkan, kata dia, volume pesanan sempat tak mencapai 30 persen dari jumlah semula. 


"Jika bisa membantu mempertahankan pesanan yang ada, kami sudah cukup berterima kasih," ucapnya.


Selanjutnya: Berharap Pemerintah Berlakukan Kebijakan Pro Industri Tekstil


Karena itu ia berharap agar pemerintah dapat segera melakukan kebijakan yang dapat menolong industri tekstil saat ini. Apalagi situasi yang sama tidak hanya terjadi untuk pelaku industri tekstil kecil dan menengah, tetapi terjadi pula pada perusahaan-perusahaan besar seperti Nike, Victoria Secret, dan lainnya.


 Angka penurunan ekspor yang terjadi pada perusahaan-perusahaan besar itu, menurutnya, telah mencapai 40 hingga 50 persen.  


"Kita terus harus bersuara kepada pemerintah, meminta mencari solusi yang terbaik buat situasi yang ada sekarang," ucapnya.


Yan Mei menuturkan tak ingin lagi melakukan PHK. Sebab jika itu terus terjadi, perusahaan pun akan kesulitan untuk memproduksi pesanan yang ada. Imbasnya, keuangan perusahaan pun akan semakin terganggu.


Adapun kabar terkini bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin tidak mengizinkan negaranya mengekspor biji-bijian menurutnya akan semakin menambah angka inflasi pangan. Jika inflasi semakin melonjak, masyarakat pun akan lebih mengalokasikan dana miliknya untuk belanja pangan sebagai kebutuhan dasar. Alhasil, daya beli terhadap produk tekstil juga akan semakin merosot. 


"Udah bisa kebayang lebih banyak lagi korbannya. Sehingga apakah pemerintah ini bisa melakukan relaksasi, apakah dari BPJS atau apapun yang bisa dipertimbangkan," tuturnya.


Bagi Yan Mei, situasi saat ini lebih parah ketimbang saat awal pandemi Covid-19. Sebab, ketika pandemi Covid-19, pasar tetap tersedia dan masalahnya hanya terletak pada sisi pengiriman. Sedangkan kini, perekonomian global membuat produsen sulit mencari pasar dan tidak mampu memprediksi kapan kondisinya akan kembali pulih. 


Sumber: Tempo.co (Riani Sanusi Putri)


#SHOWRELATEBERITA


Writer: Ikbal Juliansyah

Editor : Fitriansyah

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI