SUKABUMIUPDATE.com - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 4 persen pada 18 Maret 2025 pukul 11.11 WIB, sebelum akhirnya turun hingga 5 persen yang memicu penghentian sementara perdagangan (trading halt) oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).
Mengutip tempo.co, kejatuhan tajam ini, menurut analis pasar modal Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi, menjadi anomali jika dibandingkan dengan bursa regional Asia lainnya, seperti Nikkei (+1,4 persen), Shanghai (+0,09 persen), STI (+1 persen), dan FKLCI (+1 persen). Ia menilai situasi tersebut mengindikasikan kekhawatiran investor terhadap ekonomi Indonesia dan pasar keuangan.
Menurut dia, meningkatnya risk premium Indonesia menjadi salah satu faktor yang membebani IHSG. Hal ini terlihat dari beberapa indikator, seperti peningkatan tipis Credit Default Swap (CDS) ke 76 basis poin per 27 Februari 2025, depresiasi rupiah sebesar 0,6 persen sepanjang Januari-Februari 2025, serta pelebaran spread Surat Berharga Negara (SBN) dengan US Treasury (UST) 10 tahun yang kini mencapai 255 basis poin.
Baca Juga: Investasi Rp 190 M Guyur Kota Sukabumi pada Awal 2025, Usaha Mikro Jadi Tulang Punggung
Selain itu, tekanan juga datang dari pandangan negatif investor asing terhadap pasar Indonesia. “Morgan Stanley dan Goldman Sachs memangkas rating saham-saham Indonesia, dengan beberapa faktor utama yang mereka soroti, seperti defisit anggaran yang melebar menjadi 2,9 persen dari PDB, risiko fiskal akibat realokasi anggaran dan pendirian Danantara, ekspansi pembangunan rumah subsidi, serta dampak dari tensi kebijakan tarif yang dapat melemahkan rupiah,” ujar Audi.
Goldman Sachs, katanya, bahkan memperkirakan rupiah akan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia dalam waktu dekat.
Tekanan jual asing pun semakin kuat. Hingga 17 Maret 2025, investor asing tercatat melakukan outflow sebesar Rp26,9 triliun dari pasar saham. “Terakhir kali kami melihat kejatuhan signifikan seperti ini hingga terjadi trading halt adalah saat pandemi Covid-19, tepatnya 19 Maret 2020, ketika IHSG turun 5,2 persen ke level 4.105,” kata Audi.
Jika aksi jual panik (panic selling) terus berlanjut, ia memperingatkan IHSG berpotensi menembus level psikologis 6.000. “Kalau level ini jebol, support berikutnya ada di 5.900,” ujarnya.
Tekanan terjadi di hampir seluruh sektor, termasuk teknologi, yang mengalami aksi ambil untung setelah reli dalam beberapa pekan terakhir. Namun, Audi menilai bahwa sektor keuangan masih berpotensi menjadi penopang utama IHSG. “Kalau saham-saham perbankan besar mengalami technical rebound, tekanan terhadap IHSG bisa sedikit mereda,” katanya.
Sumber: Tempo.co
Editor : Oksa Bachtiar Camsyah