Sukabumi Update

10 Onomatope Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Sukabumi: Ngahiliwir hingga Ngagebrét

10 Onomatope, Kearifan Lokal Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar Sukabumi (Sumber : Instagram/@ryco_arnaldo)

SUKABUMIUPDATE.com - Onomatope termasuk representasi kedekatan masyarakat Kampung Adat Ciptagelar Sukabumi dengan alam sekitar, sehingga menjadi budaya sekaligus ciri kearifan lokal masyarakat setempat.

Onomatope dalam bahasa Indonesia adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kata-kata yang terbentuk dari tiruan bunyi.

Onomatope adalah peniruan bunyi alam dan aktivitas dalam masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi.

Baca Juga: Jejak Ponpes Al Zaytun di Cisaat Sukabumi, Panji Gumilang Diduga Islamophobia

Contoh Onomatope yang umum dikenal  misalnya kata 'telolet' yang dahulu sempat viral adalah Onomatope yang dibentuk dari bunyi klakson. Meski begitu, Onomatope satu daerah belum tentu sama dengan daerah lainnya.

Onomatope di Ciptagelar sebelumnya pernah diteliti oleh Rahmawati & Supriyana (2022), bertajuk "Onomatope dalam Masyarakat Desa Adat Kasepuhan Ciptagelar Sukabumi Jawa Barat".

Onomatope berasal dari bahasa Yunani, onoma dan poieo, yang berarti memberi nama sebagaimana bunyinya, dikutip dari Balai Bahasa Jateng Kemdikbud. Onomatope dapat dibentuk dari bunyi benda-benda, bunyi binatang, dan bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia (suara) yang bukan merupakan kata (misalnya saat orang tertawa, menangis, mendengkur).

Di Kasepuhan Ciptagelar Kabupaten Sukabumi, Rahmawati & Supriyana (2022) berhasil mengidentifikasi 10 jenis Onomatope berupa suara alam/benda, diantaranya ngahiliwir, hiliwir, ngepris, ngagebrét, keclak, gumuruh, ngarekét, ngakeclak, pras-pris, keclak, cikaracak dan guludug. Berikut penjelasannya:

1. Guludug, dalam bahasa Sunda memiliki arti guruh petir.

Orang sunda biasa menyebut banyak petir atau gemuruh dengan kata guguludugan.

2. Ngahiliwir, merepresentasikan suara angin, tiupan lembut angin sepoi-sepoi yang menggoyangkan bunga-bunga, dedaunan dan ranting pohon.

4. Ngepris, adalah suara rintik-rintik hujan atau suara tetesan air hujan pertama kali turun.

Suaranya terdengar seperti “pras-pris”. Umumnya masyarakat Sunda biasa menggunakan kata pras-pris untuk mengekspresikan suara tetesan air hujan yang pertama kali turun. Kata yang bertaut dengan pras-pris adalah kata ngepris yang bermakna tetesan air hujan.

5. Ngagebrét, merupakan onomatope yang merepresentasikan hujan yang sangat deras, suara hujan yang besar sehingga air menyiprat kemana-mana.

6. Keclak, merupakan kata onomatope yang merepresentasikan suara air jatuh ke tanah.

Suaranya terdengar seperti “clak-clak”.

7. Gumuruh, berasal dari kata guruh, merupakan kata onomatope yang merepresentasikan suara gaduh, riuh, ramai, suara guntur, suara petir atau guntur ketika hujan.

8. Ngarekét, berasal dari kata rekét merupakan kata onomatope yang artinya suara gesekan kayu, bambu, dan engsel pintu.

9. Ngeclak, merupakan onomatope yang menginterpretasikan suara air jatuh dan air tersebut kembali memuncrat ke atas.

10. Keclak, memiliki arti dalam bahasa Sunda yaitu tetesan air yang jatuh ke tanah.

12. Cikaracak, termasuk sebuah kata onomatope yang memiliki makna tetesan air. 

Kampung Adat Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi

Dilansir dari disparbud.jabarprov.go.id dan sukabumikab.go.id, Desa Adat Kasepuhan Ciptagelar, merupakan salah satu kampung adat di Indonesia yang terletak di kawasan Pegunungan Halimun, tepatnya di Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Baca Juga: 10 Ucapan Selamat Idul Adha untuk Calon Mertua, Kirim di WhatsApp Yuk Mantu Idaman!

Ciptagelar merupakan salah satu kampung adat yang masuk dalam kesatuan adat Banten Kidul, mengutip dari laman resmi Kabupaten Sukabumi. Masyarakat Banten Kidul sendiri adalah masyarakat yang mendiami kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, tersebar meliputi 3 kabupaten, yaitu Lebak, Bogor dan Sukabumi.

Kasepuhan Adat Ciptagelar Sukabumi masih memegang kuat adat dan tradisi yang diturunkan sejak 640 tahun yang lalu.

Kasepuhan Ciptagelar dipimpin oleh seorang tetua adat (baca:abah) yang diangkat berdasarkan keturunan. Saat ini Kasepuhan Adat Ciptagelar dipimpin oleh abah ke-9 sejak tercatat di kasepuhan tahun 1368.

Tak hanya itu, Kasepuhan Ciptagelar diketahui masih memiliki keterikatan dengan kerajaan sunda Prabu Siliwangi.

Baca Juga: Mengenal Sindrom Asperger: Pengidap Disabilitas yang Cerdas, Termasuk Autis?

Penelitian Rahmawati & Supriyana (2022) menyebutkan ada beberapa tradisi yang dipegang teguh oleh masyarakat desa adat Ciptagelar. Diantaranya rumah khas Sunda yang dibangun semi permanen, sistem bercocok tanam (secara tradisional tanpa pupuk kimia, traktor dan tidak memakai varietas padi dari luar), dan larangan jual-beli padi.

Berkat cara hidup damai dengan alam ini mereka mampu mencapai swasembada pangan. Masyarakat Ciptagelar juga masih rutin menyelenggarakan upacara adat turun temurun seperti Ngaseuk (taman padi), Mipit (panen padi), Nganyaran (mencicipi hasil panen), Ponggokan (penyerahan/pembagian hasil panen) dan Seren taun (pesta panen).

Meski masih kental dengan kearifan lokalnya, mengutip dari Disparbud Jabar, masyarakat Kampung Adat Ciptagelar tidak menolak adanya modernisasi. Buktinya, ada aliran listrik bersumber dari PLTA yang dibangun secara swadaya, serta stasiun televisi dan radio yang dikelola oleh masyarakat sekitar.

Sumber: Berbagai Sumber.

Editor : Nida Salma

Tags :
BERITA TERKAIT