Sukabumi Update

Mengenal Brain Rot atau Pembusukan Otak dan Penyebabnya, Apakah Berbahaya?

Brain Rot adalah Fenomena baru yang dinobatkan sebagai word of the year 2024 oleh Oxford University. (Sumber : Freepik.com).

SUKABUMIUPDATE.com - "Brain rot" dinobatkan sebagai Word of The Year 2024 oleh Oxford University Press. Istilah ini dianggap mencerminkan fenomena sosial yang sedang marak saat ini. Brain rot, atau secara harfiah berarti "pembusukan otak," merujuk pada penurunan kemampuan intelektual akibat terlalu sering mengonsumsi konten digital dengan kualitas rendah.

Brain rot, yang berarti kelelahan mental, merupakan istilah internet untuk menggambarkan dampak negatif dari aktivitas seperti menggulir media sosial tanpa tujuan, doomscrolling, atau menonton video pendek secara terus-menerus. Kebiasaan ini dapat memengaruhi cara seseorang berpikir, berbicara, dan menyebabkan kelelahan mental akibat kelebihan informasi.

Meskipun sering dianggap sebagai hiburan, kebiasaan tersebut dapat mengakibatkan penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi, rentang perhatian yang lebih pendek, serta melemahnya keterampilan berpikir kritis.

Apa itu Brain Rot?

Istilah brain rot menggambarkan penurunan kognitif dan emosional akibat penggunaan internet dan media sosial secara berlebihan, terutama pada platform seperti TikTok. Popularitas istilah ini semakin meluas hingga Oxford University Press memilihnya sebagai Word of The Year 2024.

Fenomena brain rot terkait dengan konsumsi konten pendek yang terus-menerus, membebani otak sehingga rentang perhatian berkurang, kelelahan mental meningkat, dan kemampuan untuk terlibat dalam aktivitas bermakna menjadi terganggu. Misalnya, waktu berkualitas dengan orang-orang terdekat menjadi sulit dijalani tanpa gangguan.

Konten digital yang adiktif juga dapat menciptakan ketergantungan, membuat individu kesulitan melepaskan diri dari dunia online dan melibatkan diri dalam aktivitas di luar jaringan.

Studi tahun 2019 bahkan menunjukkan bahwa sekitar 9,4% remaja di Amerika Serikat mengalami Problematic Interactive Media Use (PIMU), kondisi baru yang diduga memiliki hubungan dengan fenomena brain rot.

Ilustrasi. Smartphone dan Media Sosial atau medsos. (Sumber Foto: Pexels/Tracy Le Blanc)Ilustrasi. Smartphone dan Media Sosial atau medsos. (Sumber Foto: Pexels/Tracy Le Blanc)

Brain Rot (Pembusukan Otak) vs Penurunan Kognitif

Brain rot berbeda dari bentuk penurunan kognitif lainnya. Penurunan kognitif terkait usia adalah proses alami di mana fungsi otak melambat atau menjadi kurang efisien seiring bertambahnya usia.

Sementara itu, penyakit seperti Alzheimer dan demensia merupakan kondisi neurologis yang melibatkan penurunan kemampuan kognitif secara progresif akibat masalah medis. Kondisi ini sering kali memerlukan perawatan medis dan tidak sepenuhnya dapat disembuhkan.

Sebaliknya, brain rot adalah hasil dari gaya hidup dan perilaku. Meskipun dapat diatasi dengan perubahan sadar, banyak orang yang memilih mempertahankan kebiasaan ini sebagai cara untuk menenangkan diri, sehingga sulit untuk melepaskan diri dari konsumsi konten digital yang berlebihan.

Apa Penyebab Brain Rot?

Anda mungkin sudah memahami bahwa segala sesuatu yang berlebihan bisa berdampak buruk, termasuk waktu yang dihabiskan di depan layar. Namun, brain rot tidak hanya dipengaruhi oleh durasi penggunaan perangkat digital, melainkan juga oleh jenis konten yang Anda konsumsi.

1. Waktu bermain didepan layar yang berlebihan:

Ketika ponsel selalu ada di dekat Anda, kebiasaan mengecek pesan teks atau media sosial dengan frekuensi tinggi menjadi sulit dihindari. Bahkan, Anda mungkin melakukannya tanpa sadar. Aktivitas ini menggantikan bentuk stimulasi mental lain, seperti membaca, berolahraga, atau melamun.

Selain itu, paparan konten baru yang terus-menerus membuat otak Anda kesulitan untuk memproses informasi dengan baik. Ini serupa dengan mengonsumsi junk food sepanjang hari; meskipun menyenangkan, itu tidak memberikan nutrisi yang diperlukan untuk fungsi optimal, baik bagi tubuh maupun otak Anda.

2. Konsumsi media sosial yang berlebihan:

Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Twitter dirancang untuk menciptakan ketergantungan. Ketika Anda terlalu fokus pada layar, otak Anda terjebak dalam pola interaksi dangkal yang menyulitkan fokus pada tugas-tugas yang memerlukan konsentrasi mendalam.

Selain itu, notifikasi, likes, dan komentar memberikan dorongan dopamin instan yang justru mengurangi motivasi untuk melakukan aktivitas yang lebih bermakna secara mental. Akibatnya, paparan konten yang terus-menerus membuat Anda sulit berkonsentrasi pada satu hal lebih dari beberapa menit.

3. Kurangnya Tantangan Mental:

Meskipun sesekali menikmati video lucu atau meme itu wajar, jika hal ini menjadi kebiasaan utama, otak Anda kehilangan kesempatan untuk dilatih. Seperti otot lain di tubuh Anda, otak membutuhkan tantangan untuk tetap kuat dan tajam. Ketika hanya diberi konten ringan dan repetitif, otak tidak mendapatkan stimulasi yang dibutuhkan untuk berkembang.

Jika seluruh waktu Anda habis di dunia digital, Anda mungkin melewatkan aktivitas yang benar-benar merangsang pikiran, seperti mempelajari keterampilan baru atau membaca buku.

Aktivitas baru memaksa otak untuk bekerja secara berbeda, menjaga daya pikir tetap aktif dan sehat. Namun, kebiasaan mendapatkan kepuasan instan dari konten online bisa membuat Anda kehilangan motivasi untuk menghadapi tantangan yang lebih besar dan bermakna.

Sumber: Oxford University/Calm

Editor : Ikbal Juliansyah

Tags :
BERITA TERKAIT