SUKABUMIUPDATE.com - Di era media sosial, gaya hidup seseorang tidak hanya dinilai dari pencapaiannya, tetapi juga dari cara mereka menampilkan diri di dunia maya. Beberapa orang memilih untuk tampil sederhana dengan barang berkualitas tinggi tanpa mencolok, sementara yang lain lebih suka menunjukkan kekayaan mereka dengan barang mewah dan logo besar. Dua tren yang muncul dari perbedaan ini adalah quiet luxury dan flexing.
Tren quiet luxury menekankan kualitas dan kesederhanaan tanpa perlu validasi sosial, sementara flexing mengutamakan pamer kemewahan sebagai simbol status sosial. Di Indonesia, kedua tren ini sama-sama memiliki pengaruh besar, tetapi mana yang lebih dominan? Apakah masyarakat kita mulai beralih ke konsumsi cerdas, atau masih terjebak dalam budaya pamer?
Baca Juga: Flexing atau Sering Pamer Kekayaan Tanda Orang Kurang Percaya Diri?
Apa Itu Quiet Luxury dan Flexing?
Di era modern ini, gaya hidup mewah tidak hanya ditunjukkan oleh kekayaan yang dimiliki, tetapi juga cara orang memamerkannya. Dua tren gaya hidup yang semakin mencuri perhatian adalah quiet luxury dan flexing. Keduanya berbeda secara signifikan dalam cara mereka mendefinisikan kekayaan dan status sosial.
Quiet Luxury: Kesederhanaan yang Berkelas
Quiet luxury adalah konsep di mana kemewahan ditampilkan dengan cara yang sangat subtel. Alih-alih memamerkan barang mewah dengan logo yang mencolok, individu yang mengadopsi gaya hidup ini memilih barang berkualitas tinggi yang tidak terlalu terlihat di luar. Merek-merek seperti Loro Piana, The Row, dan Brunello Cucinelli menggambarkan quiet luxury, di mana kualitas dan desain yang minimalis menjadi pusat perhatian.
Pada dasarnya, quiet luxury lebih menekankan pada kualitas dan ketenangan dalam menikmati kemewahan. Pemilik gaya hidup ini cenderung lebih memilih untuk menikmati keindahan yang elegan tanpa perlu validasi sosial. Gaya hidup ini mencerminkan nilai pribadi yang lebih mendalam, seperti keanggunan, kepercayaan diri, dan pengendalian diri.
Flexing: Pamer Kekayaan di Media Sosial
Di sisi lain, flexing adalah pamer kekayaan secara terang-terangan. Tren ini semakin populer di kalangan generasi muda, terutama dengan adanya media sosial sebagai sarana untuk menunjukkan status sosial. Barang-barang bermerek seperti Louis Vuitton, Gucci, atau Rolex sering digunakan sebagai simbol kekayaan dan status di dunia maya. Flexing lebih mengutamakan citra sosial dan mendapatkan pengakuan dari orang lain.
Tren ini banyak dipengaruhi oleh influencer dan selebgram yang memamerkan gaya hidup mewah mereka di media sosial. Bagi sebagian orang, flexing adalah cara untuk menunjukkan pencapaian finansial dan mendapatkan status di masyarakat. Namun, fenomena ini juga memunculkan masalah baru, seperti tekanan sosial untuk memenuhi ekspektasi gaya hidup tertentu, meskipun itu melibatkan pengeluaran yang tidak bijak.
Baca Juga: 6 Ciri Orang yang Hedon, Gaya Hidupnya Konsumtif dan Haus Pujian
Mana yang Lebih Berpengaruh di Indonesia?
-
Dominasi Media Sosial
Di Indonesia, flexing masih lebih mendominasi, terutama karena pengaruh besar media sosial. Influencer dan selebriti dengan gaya hidup mewah sering kali menjadi panutan bagi banyak orang, terutama bagi generasi muda yang merasa terhubung dengan mereka melalui platform seperti Instagram dan TikTok. -
Kesadaran Finansial yang Meningkat
Namun, dengan meningkatnya kesadaran tentang pentingnya investasi dan perencanaan keuangan, gaya hidup quiet luxury mulai mendapatkan tempat di hati beberapa kalangan. Generasi muda yang lebih melek finansial mulai menyadari bahwa konsumsi berlebihan dan pamer kekayaan tidak akan membawa kebahagiaan jangka panjang. -
Perubahan Ekonomi
Kenaikan harga barang mewah, ditambah dengan tren investasi seperti saham dan properti, membuat orang mulai berpikir ulang tentang pentingnya konsumsi berlebihan. Sementara itu, semakin banyak orang yang lebih memilih untuk berinvestasi dalam barang yang memiliki nilai jangka panjang, alih-alih sekadar memamerkan kemewahan.
Baca Juga: Fenomena Generasi Sandwich: Tantangan Keuangan Anak Muda di Tengah Beban Keluarga
Meskipun flexing masih dominan di kalangan generasi muda Indonesia, gaya hidup quiet luxury mulai menunjukkan eksistensinya, terutama di kalangan profesional muda dan eksekutif. Pilihan antara keduanya bergantung pada nilai dan tujuan pribadi masing-masing individu. Quiet luxury lebih menekankan pada pencapaian diri dan kestabilan finansial, sementara flexing lebih mengutamakan pengakuan sosial dan kepuasan instan. Yang pasti, pilihan gaya hidup ini mencerminkan cara pandang seseorang terhadap kekayaan dan status sosial.
Sumber : ResearchGate
Editor : Maya Santika