SUKABUMIUPDATE.com -Banten memiliki banyak pejuang yang berperan dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Salah satu tokoh yang dikenal adalah Nyimas Gamparan, yang memimpin Perang Cikande Udik pada tahun 1830-an.
Di Kampung Kadu Kacapi, Desa Tanjungsari, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang, terdapat sebuah petilasan yang menjadi tempat berkumpul dan merancang strategi perang melawan Belanda.
Petilasan ini merupakan peninggalan Nyimas Gamparan, seorang panglima perang wanita dari era Kesultanan Banten. Pada waktu-waktu tertentu, kampung ini ramai dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah.
Baca Juga: Watu Gilang: Batu Bersejarah Tempat Penasbihan Raja-raja Kesultanan Banten
Di tengah perkebunan, berdiri kokoh bangunan petilasan Nyimas Gamparan. Di dalamnya terdapat dua ruangan, satu untuk peziarah dan satu lagi yang ditutupi kain kafan.
Konon, di ruangan itulah Nyimas Gamparan dulu duduk menyebarkan ajaran Islam serta mengatur strategi perang bersama rakyat.
Menurut sesepuh Desa Tanjungsari, Abah Gozi, Nyimas Gamparan juga berpesan kepada rakyatnya agar tidak percaya pada Belanda dan tidak mudah diadu domba.
Baca Juga: Pangeran Sake: Ulama Keturunan Kesultanan Banten dan Pejuang Agama Islam di Tatar Sunda
Di dekat petilasan, terdapat sumur Ciwasiat yang berdiameter sekitar 30 cm dan berada di tengah bongkahan batu dekat aliran sungai.
Sumur ini diyakini memiliki karomah bagi siapa saja yang meminum airnya, berwudhu, atau mandi di sana. Konon, jika air sumur surut saat diambil, menandakan rezeki seseorang akan sulit.
Sebaliknya, jika airnya penuh, maka rezekinya akan melimpah. Banyak peziarah yang membawa air dari sumur ini dengan harapan memperoleh kesembuhan atau kesuksesan.
Baca Juga: Kramat Sumur Tujuh Banten: Dipercaya Berkhasiat dan Konon Sering Didatangi Pejabat
Nyimas Gamparan juga meninggalkan warisan berupa alat musik gamelan, yaitu gambang caning dan gong Suprayoga, yang dulu digunakan untuk mengumpulkan masyarakat di kediamannya.
Pasca penghapusan Kesultanan Banten pada tahun 1813 di masa Sultan Muhammad Syafiuddin, keluarga kesultanan mengalami diaspora ke berbagai wilayah Indonesia.
Dalam konteks ini, istilah diaspora juga merujuk pada pengasingan Nyimas Gamparan ke luar Pulau Jawa akibat kebijakan kolonial Belanda yang menghapus sistem kesultanan dan menindas anggota keluarga kesultanan. Selain itu, Belanda juga menyita aset-aset keluarga kesultanan di berbagai wilayah.
Baca Juga: Bendungan Pamarayan Banten: Dibangun Masa Kolonial dan Kisah Sosok Gaib Jahat Nyai Mujibah
Pada tahun 1836, Nyimas Gamparan kembali ke Banten dengan menyamar sebagai rakyat biasa dan diam-diam menggerakkan massa untuk melawan Belanda. Pemberontakan yang ia pimpin ini bahkan lebih besar dan masif dibandingkan pemberontakan Geger Cilegon.
Perjuangan Nyimas Gamparan dikenal sebagai Perang Cikande Udik, karena pusat gerakannya berada di wilayah timur Kecamatan Cikande.
Perlawanan ini sangat menyulitkan Belanda, bahkan menyebabkan kematian seorang tuan tanah Belanda beserta keluarganya yang menguasai lahan dari Cikande hingga Maja, Kabupaten Lebak.
Baca Juga: Gunung Santri Banten: Kisah Ulama Sakti Syekh Muhammad Sholeh dan Misteri Keranda Terbang
Amarah Nyimas Gamparan semakin membesar setelah melihat penderitaan rakyat akibat sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang diterapkan Belanda.
Sistem ini diberlakukan di masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, yang juga memaksakan pembangunan Jalan Raya Anyer-Panarukan dengan kerja paksa.
Karena tidak tahan melihat rakyat semakin menderita, Nyimas Gamparan bersama 30 milisi perempuan melancarkan perlawanan bersenjata terhadap Belanda.
Baca Juga: Urban Legend Misteri Gantarawang di Banten, Konon Pusat Kerajaan Siluman dan Jin
Perang terus berlanjut di berbagai wilayah Banten dengan skala yang besar. Puncaknya, pada tahun 1836, perang besar yang dikenal sebagai Pemberontakan Cikande Udik meletus, di mana pasukan Nyimas Gamparan berhasil mengalahkan Belanda.
Pasukan yang dipimpin Nyimas Gamparan dikenal tangguh, disiplin, dan militan. Selain menguasai ilmu bela diri dan kesaktian kanuragan, mereka juga mahir dalam strategi perang gerilya, membuat pergerakan mereka sulit ditebak oleh Belanda.
Pasukan ini dapat berpindah tempat dengan cepat dan memiliki basis persembunyian yang tidak terdeteksi, salah satunya di daerah Kubang, Kecamatan Sukamulya, Tangerang.
Baca Juga: Keraton Surosowan: Istana Sultan dan Pusat Pemerintahan Kerajaan Banten
Perlawanan Nyimas Gamparan menimbulkan kerugian besar bagi Belanda, baik secara militer maupun ekonomi. Tidak mampu menghadapi pasukan Nyimas Gamparan secara langsung, Belanda menerapkan strategi pecah belah dengan memanfaatkan kekuatan pribumi.
Belanda meminta bantuan Raden Tumenggung Karta Negara, seorang Demang di Jasinga, Bogor, untuk menumpas pasukan Nyimas Gamparan.
Sebagai imbalannya, Kartanegara dijanjikan kekuasaan di Rangkasbitung. Akhirnya, pasukan Tumenggung Karta Negara bergabung dengan Belanda dan menghadapi pasukan Nyimas Gamparan dalam pertempuran sengit.
Baca Juga: Wisata Gunung Pinang Banten dan Kisah Legenda Anak yang Durhaka Kepada Ibunya
Strategi Belanda terbukti efektif, dan pada akhirnya pasukan Nyimas Gamparan mengalami kekalahan. Dengan cara licik, Belanda berhasil menghentikan perlawanan ini.
Meskipun pemberontakan Nyimas Gamparan berhasil dipadamkan, kisah perjuangannya tetap membekas di hati masyarakat Banten.
Perjuangan Nyimas Gamparan menjadi simbol keberanian dalam melawan penjajahan Belanda. Hingga kini, masyarakat Banten tetap menghormatinya sebagai salah satu pejuang wanita yang berjasa membela rakyat.
Nyimas Gamparan adalah salah satu dari sedikit pendekar perempuan yang namanya tetap dikenang, terutama oleh masyarakat Banten.
Editor : Ikbal Juliansyah