Sukabumi Update

Ngabodor itu Ngawadul? Ngabobodo Batur! Seni Memilih Kata Bohong dalam Budaya Sunda

Pelajari seni memilih kata "bohong" yang tepat dalam bahasa Sunda - ngabohong, ngabobodo, atau ngawadul. (Sumber: Canva)

SUKABUMIUPDATE.com  - “Nyangkarak dina basa Sunda saenyana kawas leumpang ngaliwatan lapisan tatakrama. Hiji kecap bisa robah wanda jeung rasa nurutkeun ka saha, jeung dina situasi kumaha urang nyarita. Salah sawiji conto anu panghadéna nyaéta kecap pikeun nyaritakeun “bohong”. Ulah salah, nya! Sabab aya sababaraha cara pikeun nyebut hiji hal anu sarua, tapi kalayan adab anu béda-béda.”

Sebagai penutur bahasa Sunda sehari-hari, kita seringkali dihadapkan pada pilihan leksikal yang memengaruhi nuansa percakapan. Meskipun secara tata krama (Undak Usuk Basa) 'ngabohong' adalah kata yang paling netral dan sopan untuk 'berbohong', dalam pergaulan yang santai dan akrab di kalangan teman sebaya atau di lingkungan informal, kata 'ngawadul' jauh lebih sering terucap dan populer.

Kenapa begitu? Musabab 'ngawadul' memiliki daya ekspresi yang kuat tidak hanya bermakna 'berbohong' tetapi juga 'omong kosong' atau 'melebih-lebihkan' sehingga kata ini menjadi pilihan utama dalam candaan, keluh kesah, atau obrolan ringan yang tidak serius, sejalan dengan filosofi "Macangkrama bari Ngawadul."

Dan, menyelami bahasa Sunda sebenarnya seperti berjalan melalui lapisan budaya dan tata krama. Satu kata bisa berubah bentuk, rasa, dan fungsinya tergantung kepada siapa dan dalam situasi apa kita berbicara. Ini adalah cerminan dari filosofi Undak Usuk Basa (tingkatan bahasa) Sunda yang menekankan pada nilai kesopanan dan penghormatan.

Baca Juga: Jalan Rusak di Ruas Jampangkulon Sukabumi Dikeluhkan Warga, Mobilitas Warga Terganggu

Baca Juga: Bagaimana Jadinya Bila Gigi Bisa Tumbuh dengan Obat? Jepang Mulai Uji Coba pada Manusia!

Salah satu contoh terbaiknya adalah kata untuk menyebut "bohong". Dalam bahasa Sunda, ada beberapa cara untuk menyebut hal yang sama, tetapi dengan nuansa kesopanan dan keakraban yang berbeda-beda.

Tingkatan Kata "Bohong" dalam Konteks Sosial

  1. Ngawadul: Ekspresi Kasar dan Paling Akrab 

Kata dasar "Wadul" adalah bentuk paling lugas dan seringkali dianggap kasar atau tidak sopan untuk "bohong/dusta". "Ngawadul" adalah kata kerjanya, yang berarti "berbohong".

Secara khusus, dalam bahasa gaul atau ekspresi kemarahan yang kuat, kata "Wadul" (atau sering juga diucapkan "Waduk") dapat diartikan sebagai kotoran atau omong kosong, kemungkinan ada unsur serapan dari “Bullshit” yang sering dilontarkan anak-anak muda gaul. Ketika seseorang berbohong dan tidak dipercaya, ekspresi yang sangat akrab atau kasar sering muncul: "Ngawaduk manéh!" yang berarti "Bohong/Omong kosong lu!".

Perlu dicatat, kata "Waduk" (Bendungan/Tampungan air) dan kata "Wadul" (Bohong/Dusta) atau kata slang (maaf!) "Waduk" (Kotoran) adalah tiga entitas yang berbeda, meskipun terlihat mirip. Namun, penggunaan ngawadul atau ngawaduk secara sinis merujuk pada kebohongan/omong kosong. Kata ini umumnya digunakan:

  • Dalam situasi sangat akrab atau santai antarsesama teman dekat.
  • Sebagai ekspresi kemarahan atau kejengkelan yang kuat.
  • Digunakan kepada yang lebih muda usianya (anak kecil).
  • Contoh: "Ih, sia mah ngawadul waé!" (Kamu mah berbohong terus!)
  1. Ngabohong: Pilihan Netral yang Lebih Sopan

Kata "Ngabohong" merupakan bentuk kata kerja yang lebih netral, umum, dan berada di tingkat kesopanan yang lebih tinggi dibandingkan ngawadul. Kata ini digunakan secara luas dalam percakapan sehari-hari, termasuk:

  • Kepada orang yang sebaya atau lebih tua, tetapi dalam suasana tidak terlalu formal.
  • Sebagai bentuk teguran yang lebih halus dan menjaga etika komunikasi.
  • Dalam konteks Undak Usuk Basa, ia lebih sering ditempatkan sebagai Basa Loma (bahasa akrab/biasa) tetapi dapat diterima secara umum.
  • Contoh: "Punten, Bapa ngabohong ka abdi?" (Maaf, Bapak berbohong kepada saya?)
  1. Ngabobodo: Menipu atau Membujuk dengan Tipuan

Kata "Ngabobodo" memiliki makna yang sedikit berbeda, yaitu "menipu" atau "mengakali", sering kali dengan niat jahil atau bercanda. Fokusnya bukan hanya pada menyampaikan dusta, tetapi juga pada tindakan mempengaruhi atau membujuk seseorang dengan tipuan.

  • Kata ini sering digunakan untuk situasi yang melibatkan lelucon, prank, atau tipuan kecil.
  • Meskipun tidak sehalus ngabohong, ia jauh lebih halus daripada ngawadul dan sering digunakan di antara sesama teman atau keluarga.
  • Contoh: "Tong ngabobodo atuh, da abdi mah tos terang." (Jangan menipu/membujuk begitu, karena saya sudah tahu.)

Baca Juga: Tambahan Bansos Rp 300 Ribu Cair, Kemensos: Untuk 35 Juta Keluarga

Baca Juga: 60 Persen Anak Sekolah Berisiko Obesitas, Kemenkes: Kurang Aktivitas Fisik

Filsafat "Macangkrama Bari Ngawadul"

Dalam kekayaan bahasa Sunda, terdapat frasa indah "Macangkrama bari ngawadul" yang secara harfiah berarti "bercengkerama sambil berbohong" atau "bercengkerama sambil berkeluh kesah". Dalam konteks ini, "ngawadul" tidak selalu bermakna negatif (dusta), tetapi lebih sering diinterpretasikan sebagai:

  • Berbincang santai (ngobrol ngalor ngidul).
  • Berbagi cerita ringan atau keluh kesah (curhat) yang mungkin dilebih-lebihkan untuk hiburan.

Frasa ini melambangkan proses kebersamaan dan membangun keakraban (macangkrama), di mana setiap orang bebas mengeluarkan unek-uneknya (ngawadul) tanpa perlu dianggap sebagai kebohongan serius. Ini menunjukkan kekayaan budaya Sunda yang mampu mengubah makna kata kasar menjadi ekspresi keakraban.

Ngabodor Adalah Bohong dalam Balutan Humor

Menariknya, bahasa Sunda juga mengenal "ngabodor" yang berarti berbohong dalam konteks candaan atau gurauan. Kata ini berasal dari "bodor" yang artinya lucu atau pelawak. Berbeda dengan jenis bohong lainnya, "ngabodor" justru dilakukan untuk menghibur dan menciptakan tawa.

Fenomena ini bahkan diwadahi dalam grup lawak Sunda terkenal D'Bodor yang sangat populer di kalangan masyarakat Sunda. Ketika seseorang "ngabodor", kebohongan yang diucapkan tidak dimaksudkan untuk menipu, melainkan sebagai bagian dari seni berhumor khas Sunda.

Baca Juga: Ketua DPRD Dukung Hasil Maksimal IPSI Kabupaten Sukabumi di BK Porprov Jabar 2025

Pentingnya Memahami Konteks Sosial

Memahami empat tingkatan ini – ngabohong, ngabobodo, ngabodor dan ngawadul – bukan hanya tentang kemampuan berbicara. Ini adalah tentang kemampuan menghargai orang lain, yang merupakan inti dari Undak Usuk Basa. Salah memilih kata (misalnya menggunakan 'ngawadul' kepada atasan) bisa membuat lawan bicara merasa direndahkan atau bahkan menjadi sebab perselisihan. Oleh karena itu, memilih kata yang tepat merupakan bentuk pelaksanaan dari kearifan lokal orang Sunda dalam menjaga hubungan sosial.

Berbeda dengan bentuk kebohongan lainnya, "ngabodor" justru tidak dimaksudkan untuk dipercaya. Seperti layaknya seorang stand-up comedian di atas panggung, pelaku "ngabodor" sebenarnya sedang memainkan peran sebagai storyteller yang sengaja melebih-lebihkan cerita atau menciptakan kisah fiktif untuk tujuan hiburan semata. Dalam konteks ini, audiens atau lawan bicara secara implisit memahami bahwa yang disampaikan adalah humor dan bukan fakta, sehingga reaksi yang diharapkan adalah tawa dan gelak kebersamaan, bukan kemarahan atau kekecewaan. Fenomena "ngabodor" ini menunjukkan kedewasaan budaya Sunda dalam membedakan antara penipuan yang merugikan dan seni bercerita yang menghibur, dimana kebohongan justru dimaklumi dan dihargai ketika disampaikan dengan timing dan kreativitas yang tepat.

Dengan adanya variasi seperti ini, bahasa Sunda menjadi lebih luas dari sekadar alat untuk menyampaikan informasi. Ia adalah alat untuk mengukur dan menyampaikan rasa hormat, keakraban, atau kemarahan hanya dengan cara memilih satu kata. Bahasa Sunda mengajarkan kita untuk saling memperhatikan, tidak hanya dalam isi pembicaraan, tetapi juga dalam caranya berbicara. Ini adalah kearifan lokal yang menggunakan bahasa sebagai cermin dari nilai-nilai hidup masyarakatnya.

Setelah menyelami empat  tingkatan ekspresi kebohongan dalam bahasa Sunda Ngabohong (netral/sopan), Ngabobodo (menipu/mengakali), dan Ngawadul (kasar/akrab) Anda pasti semakin menyadari betapa dalam nilai tata krama dalam budaya Sunda. Pertanyaannya sekarang, dalam kehidupan Anda sehari-hari, mana dari ketiga kata ini yang paling sering Anda dengar atau gunakan, dan menurut Anda, apakah masyarakat Sunda modern masih teguh menerapkan Undak Usuk Basa (tingkatan bahasa) ini, ataukah batas antara ngabohong dan ngawadul kini mulai kabur, terutama saat bercengkerama santai ala "Macangkrama bari Ngawadul"?

Editor : Danang Hamid

Tags :
BERITA TERKAIT