SUKABUMIUPDATE.com - Sebuah klip video berdurasi 17 detik yang menampilkan seorang pendakwah muda, Gus Elham dari Kediri, mencium bibir anak perempuan kecil di panggung pengajian telah mengguncang jagat dakwah Indonesia. Sejak menjadi viral pada 9 November 2025, rekaman tersebut sontak memicu gelombang amarah dan kecaman dari publik dengan berbagai ekspresi umpatan.
Namun, terlepas dari kebencian yang meluas, insiden ini justru menjadi katalisator yang mempercepat lahirnya Gerakan Pesantren Ramah Anak (PRA) sebuah revolusi kecil yang krusial untuk melindungi sekitar 4,8 juta santri di seluruh negeri. Sebagaimana ditegaskan oleh Menteri Agama, Nasaruddin Umar, pada 12 November 2025, “Anak adalah amanah. Jika kita gagal menjaga, kita gagal jadi manusia.”
Ciuman yang Menyulut Api Perubahan
Menanggapi kemarahan publik, Gus Elham menyampaikan permohonan maaf pada 11 November, mengakui tindakannya sebagai kekhilafan dan ketidakpantasan, sambil memohon doa agar ia dapat lebih berhati-hati dalam berinteraksi dengan anak-anak.Sayangnya, permintaan maaf saja tidak cukup untuk meredam isu sensitif ini. Wakil Menteri Agama, Romo Muhammad Syafi’i, langsung memberikan respons tegas dari Senayan, menyatakan, “Kita sepakat dengan publik itu tidak pantas! Ada aturan Dirjen Pendis 1262/2024 tentang pesantren ramah anak.
Baca Juga: Kampung Kemajuan: Huntap untuk Korban Tanah Bergerak di Pabuaran Sukabumi Mulai Dibangun
Anak harus dapat haknya jauh dari kekerasan, termasuk sentuhan yang salah.” Pernyataan Wamenag secara langsung menautkan kasus viral Gus Elham dengan Gerakan PRA, sebuah inisiatif Kementerian Agama yang telah diluncurkan pada 2025 namun kini mendapatkan momentum dan akselerasi besar berkat "dorongan viral" yang menyadarkan urgensi perlindungan anak di lingkungan pendidikan Islam.
Tiga Fase Menuju Pesantren Nol Kekerasan
Gerakan Pesantren Ramah Anak (PRA) telah dirancang melalui tiga fase terstruktur untuk memastikan pesantren bertransformasi menjadi lingkungan yang aman dan mendukung. Fase Fondasi (2025–2026) berfokus pada pelatihan 512 pesantren sebagai pilot project. Di fase ini, para ustaz tidak hanya dilatih tentang ilmu agama, tetapi juga tentang trauma psikologis. Kasus Gus Elham bahkan dimasukkan sebagai modul pelatihan untuk mendemonstrasikan “ruang gelap” yang harus dihindari.
Selanjutnya, Fase Akselerasi (2027–2028) mewajibkan setiap pesantren membentuk Gugus Tugas PRA dan mengadopsi aplikasi Telepontren, yang memungkinkan santri untuk melaporkan masalah atau kekerasan selama 24 jam penuh tanpa rasa takut.
Baca Juga: Legislator Gerindra Sukabumi Nilai Gelar Pahlawan untuk Soeharto Sudah Tepat, Ini Alasannya
Puncaknya adalah Fase Kemandirian (2029), di mana pesantren yang lulus audit ketat akan menerima sertifikat Ramah Anak. Sertifikat ini bukan sekadar stempel, melainkan sebuah jaminan nyata bahwa pesantren tersebut telah terbukti menjadi tempat yang aman bagi anak untuk belajar dan tumbuh.
Cerita dari Lapangan Adanya Bukti Perubahan Nyata
Perubahan ini telah dirasakan di tingkat akar rumput. Aisyah (12), seorang santriwati di Jombang, menceritakan, “Dulu takut ngomong kalau diganggu kakak kelas. Sekarang ada kotak curhat di masjid putri. Besok pagi sudah ditangani Bu Nyai.” Ini menunjukkan adanya saluran komunikasi dan perlindungan yang efektif. Di Banyuwangi, Kiai Mukhlas awalnya menganggap aturan baru PRA akan membuat santri manja.
Namun, setelah mengikuti pelatihan, ia mengganti hukuman fisik tradisional menjadi tadabbur alam. “Santri nakal saya ajak duduk di bawah pohon kelapa sampai sadar. Hasilnya? Nol bullying sejak Ramadan,” ungkap Kiai Mukhlas, membuktikan bahwa pendekatan edukatif dan non-kekerasan menghasilkan karakter yang lebih matang.
Baca Juga: Dari Dewi sampai Gunung: 30 Inspirasi Nama Anak Sunda dari Alam dan Legenda
Pesan Kritis untuk Orang Tua
Orang tua dan calon santri kini harus mengubah fokus pertanyaan mereka saat memilih pesantren. Jangan hanya bertanya, “Anakku hafal berapa juz?” Tetapi, tanyakanlah pertanyaan-pertanyaan yang berfokus pada keselamatan dan kesehatan mental anak. Pertanyaan yang krusial antara lain: “Apakah pesantren punya Satgas PRA?”, “Ada psikolog pendamping?”, atau yang paling mendasar, “Anak boleh pulang kapan saja kalau tak nyaman?” Kesadaran orang tua adalah kunci dalam mengawal gerakan ini.
Dari Viral ke Viral Kebaikan
Kasus Gus Elham sesungguhnya bukanlah akhir, melainkan titik balik sejarah. Dari sentuhan yang salah dan memicu kemarahan, kini lahir sebuah gerakan yang berjuang untuk "ciuman" kasih sayang yang benar: berupa pelukan guru yang hangat, tepukan bahu yang mendidik, dan senyum yang menenangkan.
Pesantren harus diyakini bukan sebagai penjara moral, tetapi sebagai taman belajar tempat anak-anak tumbuh menjadi manusia utuh, cerdas, berakhlak, dan yang terpenting, aman. Mendukung satu pesantren ramah anak berarti mempercepat lahirnya satu generasi emas yang lebih dekat. Mari kita dukung gerakan ini, bukan dengan amarah yang sesaat, melainkan dengan tindakan pengawasan dan partisipasi yang berkelanjutan.
Baca Juga: Prihatin! Satu Keluarga di Cikundul Kota Sukabumi Tinggal di Bedeng dan Derita Sakit Berat
Implementasi dan Sebaran Program Pesantren Ramah Anak (PRA) di Indonesia
Gerakan Pesantren Ramah Anak (PRA) yang diinisiasi oleh Kementerian Agama (Kemenag) telah memasuki fase implementasi intensif di seluruh Indonesia. Secara nasional, Kemenag telah menetapkan 512 pesantren sebagai pilot project (percontohan) pada tahun 2025, yang tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 1541 Tahun 2025. Keseluruhan dari 512 pesantren percontohan ini diwajibkan membentuk Gugus Tugas PRA internal dan mengadopsi sistem pelaporan digital terpadu Kemenag, yaitu Telepontren (WhatsApp: 0822-2666-1854), untuk menjamin kerahasiaan dan kecepatan penanganan aduan kekerasan.
Selain itu, pilar utama implementasi mencakup penguatan sumber daya manusia melalui pelatihan bagi ustaz dan ustazah mengenai psikologi anak dan disiplin positif, serta penggantian sanksi fisik dengan metode pendidikan yang lebih reflektif, seperti tadabbur alam.
Implementasi di Pulau Jawa dan Sumatera
Di Pulau Jawa, implementasi menunjukkan variasi yang signifikan. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sebanyak 15 pesantren, termasuk Pesantren Hamalatul Qur'an, telah mendeklarasikan diri sebagai PRA, dengan fokus pada pembentukan Satuan Tugas Perlindungan Anak dan penerapan prinsip asuh dan asih. Jawa Timur juga aktif dengan studi kasus di Pesantren Darul Ulum Jombang, dan Pesantren Al-Khoirot Malang yang dikenal memiliki kebijakan ketat melawan bullying.
Baca Juga: Manfaatkan Promo Power Hero dari PLN, Listrik Cukup dan Aktivitas Makin Lancar
Sementara itu, di Jawa Barat, implementasi bervariasi; Pondok Pesantren Al-Hamidiyah Depok telah menjadi model dan meraih penghargaan sebagai PRA, sementara pesantren lain seperti Muthmainnatul Qulub Cibinong masih dalam tahap evaluasi untuk menyempurnakan prosedur pencegahan kekerasan.
Di luar Jawa, Sumatera Barat menunjukkan aktivitas tinggi, di mana Perguruan Islam Ar Risalah Padang menjadi pusat evaluasi piloting program PRA se-Sumbar, dan di Jambi, Pesantren Al-Kautsar Tanjung Jabung Timur termasuk dalam daftar pilot project yang fokus pada kepemimpinan adaptif.
Implementasi di Sulawesi
Di wilayah Timur, khususnya Sulawesi Selatan, implementasi PRA sangat didukung melalui kolaborasi antara Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Alauddin Makassar, pemerintah daerah, dan UNICEF. Pesantren Nahdlatul Ulum Maros telah menjadi model regional sejak 2019. Selain itu, Pesantren Pondok Madinah Makassar dan Pesantren Sultan Hasanuddin Gowa terpilih sebagai pesantren piloting awal program pendampingan.
Kemudian, di Sulawesi Utara, Pondok Pesantren Arafah Bitung fokus pada penanaman akhlakul karimah (akhlak mulia) sambil memastikan hak dan perlindungan setiap santri terpenuhi, menciptakan lingkungan yang aman dari segala bentuk kekerasan.
Secara keseluruhan, Gerakan PRA adalah upaya multi-pihak yang meluas, ditandai dengan kerjasama antara Kemenag, Kementerian PPPA, akademisi, dan organisasi internasional, yang menunjukkan komitmen serius untuk menjadikan pesantren sebagai rumah aman bagi generasi emas Indonesia.
Baca Juga: Mayangsari Bersyukur Soeharto Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Bukan Carmuk
Dari Ancaman Menjadi Peluang, Sanksi Non-Fisik untuk Karakter yang Kuat
Gerakan Pesantren Ramah Anak (PRA) adalah upaya transformatif yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari Kemenag hingga kolaborasi dengan UNICEF di daerah seperti Sulawesi Selatan. Program ini telah disebarkan secara intensif, dibuktikan dengan penetapan 512 pesantren sebagai pilot project nasional di tahun 2025.
Pesantren-pesantren ini, termasuk Hamalatul Qur'an di DIY, Ar Risalah di Sumatera Barat, dan Al-Hamidiyah di Jawa Barat, diwajibkan membentuk Satuan Tugas Perlindungan Anak dan menggunakan saluran pelaporan digital Telepontren (WhatsApp: 0822-2666-1854) untuk menjamin keamanan santri.
Titik balik utama dari revolusi ini terletak pada penghapusan hukuman fisik dan penggantiannya dengan sanksi edukatif (non-fisik) yang berorientasi pada pembentukan karakter.
Baca Juga: Santri Kalong vs Kobong: Rahasia Hidup Santri Baheula Tanpa Uang Saku, Cuma Modal Badan dan Niat
Contoh nyata dari praktik sanksi non-fisik yang berhasil diterapkan di berbagai pesantren ramah anak meliputi:
- Sistem Poin dan Akumulasi: Banyak pesantren, seperti Yayasan Al Ma'soem Bandung, menerapkan sistem poin untuk pelanggaran. Pelanggaran ringan diberi poin, dan jika poin mencapai batas tertentu, sanksi yang diberikan adalah tugas yang mendidik, seperti membersihkan fasilitas umum pesantren, mencuci piring selama satu pekan, atau membayar denda yang dananya dialokasikan untuk kegiatan sosial santri.
- Tugas Akademik atau Keterampilan Tambahan: Mengganti hukuman fisik dengan tugas membaca Al-Qur'an (misalnya membaca Surat Yasin atau 15 menit tilawah Al-Qur'an), menulis esai reflektif mengenai kesalahan yang dilakukan, atau mengemban tanggung jawab tambahan di perpustakaan atau asrama.
- Tadabbur Alam dan Refleksi: Seperti contoh yang disebutkan sebelumnya, beberapa kiai mengganti hukuman fisik dengan mengajak santri nakal untuk duduk di bawah pohon kelapa hingga mereka menyadari kesalahan sebuah bentuk isolasi non-menghina yang mendorong refleksi diri dan kesadaran spiritual, bukan trauma.
- Pencabutan Hak Istimewa dan Isolasi Positif: Sanksi dapat berupa pencabutan hak istimewa (seperti larangan menggunakan fasilitas tertentu selama waktu tertentu), atau isolasi positif di mana santri diwajibkan menghabiskan waktu di ruangan khusus untuk membaca dan beribadah.
Kasus Gus Elham memang merupakan peringatan pahit. Namun, respons cepat pemerintah dan pesantren dengan memperkuat PRA dan mengganti kekerasan dengan sanksi yang mendidik membuktikan komitmen untuk melindungi santri. Pesantren tidak lagi sekadar tempat menimba ilmu, tetapi harus menjadi rumah aman yang mengajarkan disiplin tanpa menyakiti, dan membentuk manusia utuh yang cerdas, berakhlak, dan terlindungi.
Baca Juga: Sudah Jual Sawah dan Sapi, Calon Jemaah Haji Sukabumi Berharap Kuota Tak Dikurangi di 2026
Sumber Rujukan Artikel:
- Regulasi dan Peta Jalan Program Pesantren Ramah Anak (PRA):
- Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 91 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Program Pengembangan Pesantren Ramah Anak. (Mengatur tiga fase implementasi: Penguatan Dasar (2025–2026), Akselerasi (2027–2028), dan Kemandirian (2029)).
- Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (SK Dirjen Pendis) Nomor 1541 Tahun 2025 tentang Pilot Pendampingan Program Pesantren Ramah Anak. (Menetapkan 512 pesantren sebagai pilot project/percontohan dan menjadi rujukan Kemenag dalam respons kasus viral).
- Kanal Pengaduan Resmi Kemenag: "Telepontren" (sebagai inovasi layanan aduan kekerasan khusus berbasis WhatsApp di nomor 0822-2666-1854).
- Implementasi dan Kolaborasi Nasional/Regional:
- Informasi mengenai konsolidasi lintas kementerian (termasuk KemenPPPA dan UNICEF) untuk menyukseskan piloting PRA.
- Pemberitaan mengenai penetapan 512 pesantren sebagai pilot project dan pernyataan dari Dirjen Pendidikan Islam dan Ketua Satgas Pesantren Ramah Anak terkait tujuan program PRA.
- Informasi mengenai Pesantren Ramah Anak di Jawa Barat (BQ Islamic Boarding School, Pondok Pesantren Al-Hamidiyah) dan Sulawesi Selatan (kolaborasi dengan UIN Alauddin Makassar).
III. Penerapan Sanksi Edukatif Non-Fisik:
- Pesantren Al-Muhajirin 3 & Yayasan Al Ma'soem Bandung: Penerapan sistem poin pelanggaran sebagai alternatif hukuman, termasuk sanksi berupa denda sosial, tugas kebersihan, membaca istighfar/shalawat, dan menulis surat pernyataan sebagai bentuk refleksi diri.
(Catatan: SK Dirjen Pendis Nomor 1541 Tahun 2025 dan KMA Nomor 91 Tahun 2025 adalah dokumen kunci yang menjadi dasar utama (sehingga sering dikutip) dalam menggerakkan program Pesantren Ramah Anak.)
Editor : Danang Hamid