SUKABUMIUPDATE.com - Perpustakaan Kabupaten Sukabumi mereview salah satu koleksi buku klasik, novel berjudul Max Havelaar. Tampilan fisiknya mulai menguning. Cetakan terakhir terbaca pada tahun 1991.
Max Havelaar adalah sebuah karya sastra klasik yang tidak hanya memiliki nilai sastra tinggi, tetapi juga menjadi dokumen sejarah penting dalam memahami kolonialisme di Indonesia. Ingin memahami bagaimana sistem kolonial menindas rakyat dan bagaimana individu berusaha melawannya, novel ini sangat menarik.
Judul: Max Havelaar, atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda
Penulis: Multatuli (Eduard Douwes Dekker)
Tahun Terbit: 1860
Genre: Novel Sosial, Satire Politik
Baca Juga: Cicurug Juaranya! 10 Kecamatan dengan Jumlah Penduduk Paling Banyak di Kabupaten Sukabumi
Sinopsis
Max Havelaar adalah novel yang mengungkap praktik kolonialisme dan eksploitasi rakyat pribumi di Hindia Belanda (kini Indonesia) pada abad ke-19. Kisah ini diceritakan melalui sudut pandang Batavus Droogstoppel, seorang pedagang kopi yang serakah dan tidak peduli dengan penderitaan rakyat. Ia menerima manuskrip dari seorang pria bernama Sjaalman, yang mengisahkan pengalaman Max Havelaar, seorang pejabat kolonial yang idealis dan berusaha melawan ketidakadilan yang dilakukan para penguasa lokal serta sistem kolonial Belanda.
Max Havelaar diangkat menjadi asisten residen di Lebak, Banten. Di sana, ia menyaksikan penderitaan rakyat akibat penindasan para bupati yang bersekongkol dengan sistem pemerintahan kolonial. Ia mencoba melakukan reformasi dan membela kaum pribumi, tetapi justru menghadapi perlawanan dari atasannya yang lebih mementingkan stabilitas dan keuntungan perdagangan. Novel ini diakhiri dengan seruan langsung kepada Raja Belanda, mendesak agar sistem kolonial yang menindas dihentikan.
Tema dan Kritik Sosial
Max Havelaar adalah novel yang tidak hanya menyajikan kisah seorang pejabat kolonial yang berjuang untuk keadilan, tetapi juga merupakan kritik tajam terhadap sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Sistem ini memaksa petani pribumi untuk menanam tanaman ekspor seperti kopi dan tebu demi keuntungan Belanda, sementara mereka sendiri hidup dalam kemiskinan.
Baca Juga: Viral Kendaraan Bayar Rp100 Ribu untuk Melintas Jembatan Amblas Bojongkopo Sukabumi
Multatuli menggunakan satire dalam menggambarkan sikap hipokrit orang-orang Belanda, terutama melalui tokoh Droogstoppel, yang mencerminkan para pengusaha yang hanya peduli pada keuntungan tanpa peduli pada penderitaan rakyat.
Gaya Bahasa dan Struktur
Novel ini memiliki struktur yang unik, dengan perubahan sudut pandang yang tajam antara Droogstoppel yang membosankan dan penuh perhitungan, serta Havelaar yang penuh emosi dan idealisme. Bahasa yang digunakan tajam, penuh ironi, dan mengandung unsur otobiografi, karena Multatuli sendiri pernah bertugas sebagai pejabat kolonial di Hindia Belanda.
Dampak dan Relevansi
Setelah terbit, Max Havelaar mengguncang opini publik di Belanda dan memicu perdebatan tentang sistem kolonial. Buku ini menjadi salah satu pemicu lahirnya kebijakan Politik Etis pada awal abad ke-20, yang bertujuan memperbaiki kondisi rakyat di Hindia Belanda.
Baca Juga: Membaca Legenda Pantai Minajaya Sukabumi: Antara Asmara dan Benteng Pertahanan
Hingga kini, Max Havelaar masih relevan karena membahas eksploitasi, ketidakadilan sosial, dan moralitas birokrasi. Novel ini juga menginspirasi gerakan anti kolonialisme di Indonesia.
Saijah dan Adinda: Tragedi Akibat Kolonialisme
Bagian Saijah dan Adinda adalah salah satu segmen paling emosional dalam Max Havelaar. Kisah ini menggambarkan penderitaan rakyat pribumi yang terjepit dalam sistem kolonial dan kebijakan tanam paksa.
Saijah adalah seorang pemuda dari desa Badur (di daerah Lebak, Banten). Ayahnya memiliki seekor kerbau yang digunakan untuk membajak sawah, tetapi kerbau itu dirampas oleh para priyayi (penguasa pribumi yang bekerja sama dengan Belanda). Tanpa kerbau, ayah Saijah tak bisa bercocok tanam dan akhirnya jatuh miskin.
Baca Juga: Sejarah Sarung di Indonesia: Dibawa Pedagang Gujarat India Sejak Abad ke-14
Karena kemiskinan yang semakin parah, keluarga Saijah mencoba mencari kehidupan baru, tetapi akhirnya dihancurkan oleh penindasan. Ayah dan ibunya tewas akibat perlakuan kejam penguasa lokal. Saijah sendiri akhirnya memutuskan pergi ke Batavia (Jakarta) untuk mencari kehidupan yang lebih baik dan berjanji akan kembali menemui Adinda, gadis yang dicintainya, setelah tiga tahun.
Sementara menunggu, Adinda setia menantikan kepulangan Saijah. Namun, ketika saat itu tiba, desa mereka justru dihancurkan oleh pemerintah kolonial. Adinda dan keluarganya melarikan diri, tetapi akhirnya Adinda dan saudara perempuannya diperkosa dan dibunuh oleh serdadu kolonial.
Saijah, yang kembali dari perantauan dan mengetahui tragedi itu, memutuskan melawan dengan caranya sendiri. Ia bergabung dengan perlawanan rakyat terhadap Belanda, tetapi akhirnya ia tewas ditembak serdadu kolonial.
Baca Juga: Sejarah Tunjangan Hari Raya, THR Ramadan Jelang Lebaran Idulfitri Bermula Dari PNS
Eduard Douwes Dekker, penulis novel Max Havelaar (1860), yang mengkritik kolonialisme Belanda di Hindia Belanda. Ada nama yang mirip dengannya, yaitu Ernest Douwes Dekker, yang kemudian dikenal sebagai Setiabudi. Ia adalah salah satu pendiri Indische Partij pada tahun 1912 bersama Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Cek koleksi bacaan lainnya di perpustakaan daerah unit Cisaat, Komplek Gelanggang Olahraga Cisaat Kabupaten Sukabumi.
Editor : Fitriansyah