SUKABUMIUPDATE.com - Sebelum berakhirnya Jogjarockarta 2025, energi veteran rock asal Surabaya, Andromedha, meledak di panggung hari perdana JogjaROCKarta Festival 2025 di Stadion Kridosono, Yogyakarta. Di tengah dinginnya malam, band yang kini diperkuat oleh Denny Irenk (Vokal), Teddy Sumarya (Gitar), dan Didik Sucahyo (Bass) ini berhasil memanaskan ribuan penonton yang mulai memadati area, siap menyaksikan para idola rock lintas generasi.
"Trinitas Classic Rock yang menolak tua. Andromedha Rolland, dan Kaisar, membuktikan bahwa taring mereka masih tajam. Vokal melengking, riff gitar menyayat, dan aura bintang yang tak luntur zaman. Salut setinggi-tingginya untuk para penjaga api rock tanah air!" demikian bunyi caption beberapa foto yang menggambarkan keseruan Jogjarockarta di akun sosmed-nya, mengenang era keemasan Rock Festival 90-an (6/12).
Dibentuk pada era 80-an, Andromedha adalah pilar penting dalam skena rock progresif dan heavy metal Indonesia. Bersama dengan band-band seangkatannya, mereka membentuk identitas musik keras dari Jawa Timur. Formasi awal Andromedha sering mengalami perubahan, namun esensi musikal mereka, yang menggabungkan riff gitar teknikal dengan lirik introspektif, tetap terjaga. Mereka adalah representasi otentik dari kegigihan musisi daerah yang berani membawa sound yang berbeda di tengah dominasi pop saat itu. Kehadiran mereka di JogjaROCKarta bukan sekadar gigs, melainkan pernyataan bahwa sejarah musik rock Indonesia masih hidup dan bernafas.
Perjalanan Andromedha di skena musik nasional tidak instan, melainkan ditempa melalui serangkaian kompetisi rock yang ketat di era 80-an. Kompetisi legendaris seperti Festival Rock Indonesia V besutan Log Zhelebour menjadi ajang pembuktian paling krusial. Dalam atmosfer persaingan yang panas, Andromedha menunjukkan kedewasaan musikal yang jauh melampaui usia mereka, dikenal berkat komposisi lagu yang kompleks dan kemampuan teknikal para personelnya. Keberhasilan di festival-festival ini bukan hanya membawa nama mereka ke Jakarta, tetapi juga mematenkan Surabaya sebagai salah satu kantong heavy metal paling vital di Indonesia.
Anyong Anton Andromedha (Foto Credit: @Jogjarockarta)
Namun, seperti banyak band rock murni di akhir 80-an dan awal 90-an, Andromedha harus berhadapan dengan dilema komersial. Era itu menuntut musisi untuk beradaptasi dengan sound yang lebih friendly atau meredup. Andromedha memilih jalur tengah yang kritis: menjaga integritas sound progresif mereka sambil tetap menciptakan melodi yang mudah diingat, seperti pada lagu 'Emosi'. Keputusan ini membuat diskografi mereka menjadi artefak penting dalam studi adaptasi musisi rock terhadap pasar, menunjukkan bahwa idealisme dan popularitas bisa berjalan beriringan dengan kompromi artistik yang cerdas.
Setelah sempat vakum seiring pergantian milenium, kini Andromedha kembali dengan energi yang terkonsolidasi, membawa misi untuk merevitalisasi sound yang sempat terabaikan. Kembalinya mereka ke panggung-panggung besar, puncaknya di JogjaROCKarta 2025, bukan hanya sekadar comeback nostalgia, tetapi sebuah manifesto. Mereka membuktikan bahwa heavy metal progresif Indonesia memiliki DNA yang kuat untuk diwariskan kepada generasi berikutnya, menjadi jembatan antara akar rock klasik dan inovasi musik keras kontemporer. Inilah esensi dari gigihnya musisi rock sejati.
Baca Juga: Bos BP BUMN Ungkap Jalur KRL Akan Diperpanjang hingga Sukabumi dan Cikampek
Meskipun kerap hadir di kompilasi-kompilasi rock legendaris, Andromedha memiliki beberapa karya penting yang menjadi penanda evolusi musik mereka:
- Album Perdana (1989): Ini adalah tonggak awal yang memperkenalkan sound khas mereka. Meskipun detail judulnya sering hilang dalam arsip, album ini menancapkan nama mereka sebagai kekuatan rock progresif.
- Bintang dan Harapan (1992): Album ini sering dianggap sebagai puncak musikalitas Andromedha, yang menelurkan banyak hit termasuk lagu yang paling ikonik.
- Kompilasi Rock Terbaik (Era 90-an): Kontribusi mereka di album-album kompilasi seperti serial Indonesian Rock Legend atau Rock Metal Fivers menunjukkan konsistensi mereka di tengah gempuran tren musik yang silih berganti.
Andromedha tak hanya sekadar tampil; mereka memberikan sajian nostalgia yang eksplosif. Penampilan mereka malam itu mencapai puncaknya saat membawakan nomor lawas andalan, 'Emosi'. Melodi gitar yang tajam dari Teddy Sumarya berpadu dengan vokal melengking khas rock 80-an. Energi yang dilepaskan 'Emosi' membuktikan bahwa kekuatan dan relevansi rock klasik Indonesia tak pernah pudar. Penonton, dari generasi veteran hingga muda, bernyanyi bersama, menciptakan koor masif yang membalas setiap riff gitar. Ini adalah momen krusial yang menunjukkan bagaimana sound klasik mampu melintasi zaman.
Aksi panggung Andromedha menjadi penanda penting bahwa rock domestik memiliki kualitas yang mampu berdiri sejajar dengan headliner internasional. Kehadiran mereka di panggung ikonik ini juga memperkuat narasi "Mataram Is Rock", menyatukan persaudaraan musisi dari Surabaya hingga Yogyakarta. Sebuah pembuktian kritis bahwa rock tak mengenal usia, hanya energi murni yang membakar panggung. Konser ini bukan sekadar reuni, melainkan revitalisasi semangat rock sejati.
Baca Juga: Kaleidoskop 2025: Erupsi Gunung Api Gejolak Cincin Api Indonesia
Masa keemasan Andromedha di akhir 80-an hingga awal 90-an tak bisa dipisahkan dari gemuruh Balai Pemuda di Surabaya, di mana rocker berambut gondrong berkumpul menyimak setiap riff dan solo yang dilantunkan. Bukan hanya sekadar panggung, tempat itu adalah episentrum budaya tanding (counter-culture) yang mengukuhkan identitas rock Surabaya yang keras dan teknikal. Pada masa itu, sebelum dominasi media visual, kekuatan sebuah band diukur dari performa langsung dan riuh rendahnya penjualan kaset pita. Album-album mereka, yang direkam dengan peralatan sederhana namun sarat semangat, beredar dari tangan ke tangan, sering kali hanya bermodalkan cover fotokopian, tetapi kualitas musikalnya tak terbantahkan. Nostalgia ini bukan sekadar mengingat lagu, tapi mengingat era di mana musik rock adalah ritual komunal, bukan konsumsi instan.
Puncak keemasan Andromedha juga ditandai dengan fenomena 'Emosi' yang menjadi anthem wajib di setiap sudut kota, dari radio swasta hingga warung kopi. Lagu ini merangkum keresahan generasi muda dengan lirik yang puitis namun tajam, dibungkus melodi heavy metal yang menantang. Inilah masa ketika rocker di Indonesia tidak hanya dipandang sebagai penghibur, melainkan sebagai juru bicara yang berani menyuarakan kejujuran lewat distorsi gitar. Kehadiran mereka di panggung-panggung besar, berinteraksi langsung dengan fans yang rela menempuh jarak demi sebuah konser, menunjukkan ikatan otentik yang dibangun Andromedha. Masa itu mengajarkan bahwa dampak musik sejati tercipta dari koneksi emosional yang mendalam, jauh melampaui statistik penjualan, menjadikannya periode yang kini direspons sebagai nostalgic rock idealis Indonesia.
Di balik sound keras dan heavy metal yang mendominasi diskografi Andromedha, terdapat komposisi yang menyentuh sisi reflektif pendengar, yakni lagu "Lamunan". Lagu ini menampilkan sisi rock progresif yang lebih melankolis dan introspektif, membuktikan fleksibilitas dan kedalaman musikalitas band. "Lamunan" adalah pengecualian yang kuat; alih-alih meledak dengan riff yang agresif, lagu ini mengalir lambat, didorong oleh aransemen gitar yang bertekstur dan vokal yang menuntut penghayatan emosional. Ia berbicara tentang kerentanan manusia dan proses berpikir yang mendalam sebuah cerminan kritis bahwa bahkan dalam genre rock yang paling keras pun, ada ruang untuk kepekaan liris dan komposisi yang kompleks, menjadikannya salah satu lagu yang paling dicintai karena resonansi filosofisnya, bukan hanya karena kekuatannya.
Saat ini, energi Andromedha di atas panggung diwakili oleh formasi yang solid dan berpengalaman, dengan Anyong Anton sebagai vokalis yang memegang kendali emosional. Vokalnya yang melengking dan kuat bukan sekadar teknik, tetapi resonansi dari pengalaman panjang di dunia rock, mampu mengkomunikasikan 'Emosi' dengan ketulusan yang menusuk. Di lini gitar, Teddy Sumarya adalah arsitek riff yang menjaga sound progresif Andromedha tetap tajam dan relevan, menjadi penerus penting yang menyambungkan warisan sound gitar rock 80-an dengan panggung modern. Sementara itu, irama yang kokoh disumbang oleh Didik Sucahyo pada bass. Kekuatan kolektif para personel ini adalah sebuah studi kasus tentang bagaimana musisi veteran mampu mempertahankan intensitas artistik mereka, membuktikan bahwa identitas band rock sejati terbentuk dari sinergi individu yang berdedikasi tinggi pada sound dan filosofi musik keras.
Editor : Danang Hamid