Sukabumi Update

20 Januari, 45 Tahun Silam: 7 Media Dilarang Terbit! Dianggap Ganggu Stabilitas Nasional

Ilustrasi. 20 Januari 1978, pemerintahan Soeharto (orde baru) melalui Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menginstruksikan pelarangan terbit kepada 7 media berita. (Sumber: istimewa)

SUKABUMIUPDATE.com - 45 tahun yang lalu, tepatnya pada 20 Januari 1978 terjadi kehebohan yang luar biasa di kalangan media di Indonesia, karena pemerintahan Soeharto (orde baru) melalui Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menginstruksikan pelarangan terbit kepada 7 media berita.

Ketujuh surat kabar tersebut adalah Majalah Tempo, Harian Kompas, koran Sinar Harapan, koran Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, dan Sinar Pagi.

Mulanya, ketika itu Jumat malam, 20 Januari 1978, Kantor Kompas yang ada di Palmerah, Jakarta Barat masih ramai wartawan yang sibuk menyelesaikan berita. Deadline menanti mereka.

Baca Juga: 7 Anggota LSM Ditangkap, Diduga Lakukan Pemerasan dalam Kasus Pemerkosaan Anak

Namun pada pukul 20.00 WIB, sebuah telepon berdering di meja redaksi. Kompas menerima telepon dari Letkol Anas Malik, Kepala Penerangan Laksusda Jaya yang menyatakan Kompas dilarang terbit.

Meski dilarang, Kompas dan koran lain tetap lanjut menulis, menyelesaikan berita sesuai deadline hari itu.

“Mereka tetap mengetik sekalipun tak boleh terbit esoknya. Untuk dokumentasi,” ujar P. Swantoro wakil pemred Tempo waktu itu.

Baca Juga: Umur 23 Tahun Orang Jarang Tertawa, Riset: Selera Humor Turun, Gak Suka Bercanda!

Dianggap Menghasut dan Mengganggu Stabilitas Nasional

Penyebab larangan terbit tersebut hanya karena pemberitaan mereka dianggap “menghasut” rakyat oleh rezim Orba.

Adapun pertimbangan Kopkamtib itu disebabkan karena, "pemberitaan dalam harian-harian itu dianggap telah menjurus kepada sifat-sifat menghasut, yang langsung maupun tidak langsung sudah merupakan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban." kutipan Majalah Tempo.

Baca Juga: Kepala BIN Bilang 2023 Tahun Gelap, Minta Seluruh Kepala Daerah Berhati-hati

Kepala Kopkamtib kala itu, Sudomo menyatakan, pelarangan tersebut demi menjaga masyarakat dari kabar menyesatkan. “Tindakan itu dilakukan untuk memelihara ketentraman umum dan menghindarkan tersebarnya berita-berita yang menyesatkan masyarakat,” ujarnya

Menurut Sudomo, pembredelan tersebut bukan untuk selamanya, melainkan hanya untuk sementara saja.

Namun sembari menunggu perkembangan, Kopkamtib tetap mempertimbangkan untuk melakukan pencabutan izin terbit majalah dan koran-koran tersebut.

Baca Juga: KPI Tanggapi Kritik Deddy Corbuzier Soal Fajar Sadboy yang Sering Masuk TV

“Itu memang berlaku untuk sementara, sambil menunggu proses lebih lanjut perlu tidaknya dilakukan pencabutan Surat Izin Terbit (SIT),” katanya.

Melansir kompas.com (21/06/2022) bahwa surat kabar Harian Kompas sempat ditutup sekitar dua minggu karena memberitakan isu aksi mahasiswa yang menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia.

Selain ditutup sementara, tambah kompas.com pihak Harian Kompas juga diminta menyampaikan permintaan maaf kepada Soeharto dan berjanji tidak akan mengangkat masalah Soeharto lagi, baik seputar militer atau pemerintahannya.

Baca Juga: Profil Cak Nun Emha Ainun Najib, Sastrawan yang Viral Usai Sebut Jokowi Seperti Firaun

Pelarangan terbit Kompas diberitahukan melalui telepon oleh Kepala Penerangan Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) Jaya berdasarkan instruksi nomor TR/TLX-036/Gal/I/1978. Yang bertanggung jawab atas pelarangan enam surat kabar dan satu mingguan berita itu adalah Kopkamtib.

Kartu Kuning Pencabutan SIT

Menteri Penerangan kala itu, Sudharmono menyatakan, bahwa larangan terbit itu sebagai peringatan awal atau "kartu kuning" agar tak terjadi pencabutan SIT.

Baca Juga: Ancaman Resesi Global, Stafsus Menkeu Optimis Ekonomi RI Bisa Capai 5%

Sudharmono mengklaim, pihaknya sebelumnya sudah berbicara dengan para pemimpin redaksi suratkabar. “Untuk untuk meminta pengertian mereka agar menghindari pemberitaan yang dianggapnya bisa mengganggu stabilitas nasional,” katanya.

Terkait nasib ribuan karyawan yang bergantung pada keberlanjutan surat kabar tersebut, pemerintah menyatakan demi keamanan nasional, pelarangan itu yang terbaik.

“Mana yang lebih penting: rakyat 120 juta atau 1.000 orang. Tentu yang 120 juta, dong." Sampai kapan? Inilah pertanyaan yang menggantung di benak banyak orang,” kata Kepala Puspen Hankam, Brigjen Daryono dalam Majalan Tempo.

Baca Juga: Info Lowongan Kerja untuk Lulusan SMA/SMK Sederajat, Simak Persyaratannya Disini

Meski sempat ada ancaman pencabutan izin terbit, akhirnya pelarangan itu hanya berlangsung dua pekan.

"Melunaknya sikap pemerintah terjadi setelah para pemimpin redaksi membuat kesepakatan untuk mau memelihara stabilitas nasional,"

Meski demikian, rezim Presiden Soeharto masih menganggap pers yang kritis ini sebagai hambatan serius dan sangat mengganggu. Tahun-tahun setelahnya, Orba baru masih terus mencoba memadamkan kritik dengan cara pembredelan.

Writer: Bah Rowi

 

Editor : Fitriansyah

Tags :
BERITA TERKAIT