SUKABUMIUPDATE.com - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak mengenal gender atau status sosial. Hal ini dialami oleh seorang ASN golongan III yang bekerja di @disporakbb dan juga bagian dari @swj.ambassador. Kisah ini mencuat setelah keluarganya membagikan pengalaman tragis adik mereka yang menjadi korban KDRT oleh istrinya melalui media sosial.
Menurut pengakuan dari kakaknya yang diunggah ke Instagram @adityaarthaz pernikahan pasangan ini bermula dari perkenalan di sebuah aplikasi kencan. Meski keluarga korban sejak awal kurang merestui karena proses yang tergesa-gesa, pernikahan tetap dilangsungkan. Namun, tak lama setelah itu, berbagai kejanggalan mulai terlihat.
Baca Juga: Apa yang Harus Dilakukan Saat Pasangan KDRT? Pertimbangkan 8 Cara Ini!
Jarak dengan Keluarga
Setelah menikah, korban tidak pernah mengunjungi rumah orang tuanya hingga saat ini. Bahkan, keluarga tidak diberi tahu alamat tempat tinggal pasangan tersebut, yang belakangan diketahui berada di Tagog Padalarang, tak jauh dari rumah orang tua korban.
Komunikasi Terputus
Korban jarang membalas pesan keluarga, bahkan hingga berhari-hari. Orang tua korban sering menanyakan kabar, namun hanya mendapat jawaban singkat atau diabaikan sama sekali. Beberapa kali korban juga keluar dari grup keluarga di aplikasi pesan, meskipun selalu diundang kembali oleh kakaknya.
Baca Juga: KDRT di Jabar Tinggi, di Sukabumi Kang Jae Bahas Perda Pemberdayaan Perempuan
Pemblokiran Kontak
Setelah beberapa waktu, seluruh keluarga korban diblokir di WhatsApp dan telepon oleh korban maupun istrinya. Ini membuat komunikasi terputus sepenuhnya, hingga akhirnya kakak korban harus mendatangi kantornya untuk memberikan ponsel baru agar tetap bisa berkomunikasi.
Tanda-tanda Tekanan Psikologis
Menurut keluarga, korban terlihat berada di bawah tekanan dan ketakutan untuk membuka blokir kontak keluarganya. Perasaan ini semakin diperkuat dengan pengakuan rekan kerja korban di Dispora KBB, yang mengatakan bahwa korban kerap datang terlambat, terlihat memiliki luka lebam, dan cakaran di tubuhnya.
Baca Juga: KDRT Penyiraman Air Keras di Sukabumi: Ibu Meninggal, Dua Anaknya Kini Butuh Biaya Operasi
Istri korban, menurut pengakuan keluarga, sering memainkan peran sebagai korban (playing victim). Ia bahkan beberapa kali merendahkan orang tua korban meskipun tidak pernah berkomunikasi langsung. Sikap ini memperburuk hubungan antara korban dan keluarganya.
Selama terputusnya hubungan dengan keluarga, korban mendapatkan dukungan dari rekan-rekannya di Dispora KBB. Mereka yang menyadari kondisi korban berusaha memberikan bantuan, termasuk melaporkan kondisi korban kepada keluarganya. Keluarga korban sangat berterima kasih atas bantuan dan perhatian yang diberikan oleh rekan-rekan kerja korban.
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa KDRT tidak hanya dapat menimpa perempuan, tetapi juga laki-laki. Dukungan dari lingkungan kerja dan keluarga sangat penting untuk membantu korban keluar dari situasi sulit seperti ini. Keberanian korban atau orang-orang di sekitarnya untuk berbicara adalah langkah awal untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan. Semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua untuk lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan dalam rumah tangga.
Sumber: Instagram/@infojawabarat
Editor : Maya Santika