SUKABUMIUPDATE.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah yang melibatkan seorang direktur utama anak usaha Pertamina dengan kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun. Tujuh orang ditetapkan jadi tersangka dalam kasus ini.
Penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung memeriksa sedikitnya 96 saksi dan meminta keterangan dua saksi dalam perkara tersebut.
Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, ketujuh orang tersangka itu empat diantaranya merupakan pegawai Pertamina dan tiga dari pihak swasta.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan dikaitkan dengan alat bukti yang telah kami peroleh selama penyidikan maka tim Jampidsus memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan tujuh tersangka," ujarnya dalam konferensi pers yang disiarkan secara langsung di YouTube Kejaksaan RI, Senin (24/2/2025).
Baca Juga: Ditutup Sementara Gegara Kurangi Takaran, Pertamina Ambil Alih SPBU Baros Kota Sukabumi
Ketujuh tersangka itu yakni Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga RS (Riva Siahaan), Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional SDS (Sani Dinar Saifuddin), serta CEO PT Pertamina International Shipping YF (Yoko Firnandi).
Tersangka lain adalah AP (Agus Purwono) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, MKAR (Muhammad Kerry Andrianto Riza) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Ketujuh tersangka itu juga langsung ditahan hingga 20 hari mendatang mulai 24 Februari. Mereka disangkakan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Rugikan Negara Hampir Rp200 Triliun
Lebih lanjut Qohar mengungkapkan bahwa dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) periode 2018-2023 ini mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun. Jumlah tersebut adalah nilai perkiraan sementara dari penyidik.
“Beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun,” kata Qohar.
Kerugian bersumber dari berbagai komponen, seperti kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri serta impor minyak mentah melalui broker.
"Impor BBM melalui broker, juga pemberian kompensasi dan pemberian subsidi karena harga minyak tadi menjadi tinggi," jelasnya.
Modus Korupsi: Menolak Produk Dalam Negeri
Qohar mengatakan, kasus ini terjadi pada periode tahun 2018–2023, ketika ada ketentuan pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.
PT Pertamina (Persero) pun wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.
Akan tetapi, ujar Qohar, tersangka RS, SDS dan AP melakukan pengondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.
Baca Juga: RSJ Marzoeki Mahdi Sebut Samson dari Sukabumi Dipulangkan dalam Kondisi Pulih
Pengondisian tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor.
Dipaparkan oleh Qohar bahwa pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan tidak memenuhi nilai ekonomis. Maka, secara otomatis bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.
Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional mengimpor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang.
“Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” katanya.
Ia mengatakan, dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, diperoleh fakta adanya perbuatan jahat antara penyelenggara negara, yakni subholding Pertamina, dengan broker.
“Tersangka RS, SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” ucapnya.
Baca Juga: Polri Sebut Direktur SPBU yang Curang di Sukabumi Telah Ditetapkan Jadi Tersangka
Selain itu, tersangka DW dan tersangka GRJ berkomunikasi dengan tersangka AP agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah serta dari tersangka RS untuk produk kilang.
Akibat kecurangan tersebut, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi lebih tinggi. HIP tersebut dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui APBN.
Respons Pertamina
VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso buka suara mengenai penetapan tersangka tersebut. Ia mengatakan Pertamina menghormati keputusan tersebut dan siap bekerja sama.
Ia juga menekankan Pertamina Grup menjalankan bisnis dengan berpegang pada komitmen sebagai perusahaan yang menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Good Corporate Governance (GCG) serta peraturan berlaku.
"Pertamina menghormati Kejaksaan Agung dalam menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan," kata Fadjar melalui keterangan tertulis yang diterima.
"Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah," tuturnya.
Sumber: YouTube Kejaksaan RI/Tempo.co
Editor : Denis Febrian