Sukabumi Update

Lengkap! Begini Peran 9 Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Pertamax Oplosan

Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Pertamax oplosan. | Foto: Kejagung/SU/Asep Awaludin

SUKABUMIUPDATE.com - Kejaksaan Agung menetapkan sembilan tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak di Pertamina dengan kerugian negara setidaknya Rp 193,7 triliun. Dua tersangka baru ditetapkan pada 26 Februari 2025, menyusul tujuh tersangka lain.

Mengutip tempo.co, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, mengatakan dua tersangka baru adalah Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne.

Tersangka yang sebelumnya ditetapkan Kejagung adalah empat petinggi Pertamina yakni Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, dan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono.

Sementara tiga tersangka dari pihak swasta adalah Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) sebagai Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Kejaksaan Agung mengatakan dugaan korupsi terjadi pada lima komponen yang menyebabkan kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp 2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp 9 triliun, kerugian pemberian kompensasi tahun 2023 sekitar Rp 126 triliun, dan kerugian pemberian subsidi tahun 2023 sekitar Rp 21 triliun.

Kejaksaan Agung menyatakan dugaan korupsi yang dilakukan di antaranya menyatakan kilang milik Pertamina tak bisa mengolah minyak mentah dalam negeri sehingga harus impor dengan harga dilambungkan. Selain itu, mengimpor bensin RON 90 dengan harga RON 92 dan menjadikannya bensin RON 92 dengan dioplos. Tindakan ini berlangsung dalam kurun 2018-2023.

Baca Juga: Usai Bongkar Kecurangan SPBU di Sukabumi, Riva Siahaan Ditangkap di Kasus Korupsi Rp193,7 Triliun

Lantas apa peran masing-masing tersangka?

Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan

Ada ketentuan, pemenuhan BBM dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri. PT Pertamina (Persero) pun wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum memutuskan impor.

Hal itu diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.

Menurut Qohar, Riva Siahaan bersama Sani Dinar Saifuddin dan Agus Purwono dalam rapat optimalisasi hilir menciptakan kondisi yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya. Pengkondisian tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor.

Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin

Dipaparkan oleh Qohar bahwa pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan tidak memenuhi nilai ekonomis. Maka, secara otomatis bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional mengimpor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang.

“Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” katanya.

Ia mengatakan, dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, diperoleh fakta adanya perbuatan jahat antara penyelenggara negara, yakni subholding Pertamina dengan broker.

“Tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” ucapnya.

Direktur PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi.

Yoki Firnandi melakukan pengadaan impor minyak bumi dan produk minyak dengan cara mark up yang menyebabkan negara mengeluarkan pembayaran 13% - 15% dari harga asli.

Komisaris PT Navigator Khatulistiwa/ Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim/ Dirut PT Orbit Terminal Merak

Tersangka Dimas Werhaspati (DW) dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) berkomunikasi dengan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono untuk mengatur harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka Sani Dinar (SDS) untuk impor minyak mentah serta dari tersangka Riva Siahaan untuk produk kilang.

Akibat kecurangan tersebut, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi lebih tinggi. HIP tersebut dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui APBN.

Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa

Kerry Andrianto adalah anak juragan minyak Riza Chalid. Qohar mengatakan Kerry mendapat keuntungan dari mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh Direktur PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi. Yoki melakukan pengadaan impor dengan cara mark up yang menyebabkan negara mengeluarkan pembayaran 13% - 15% dari harga asli.

Sebagai broker, Kerry mendulang keuntungan dari sana. “Tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” ujar Qohar.

Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne.

Kejaksaan Agung mengungkapkan, Maya Kusmaya dan Edward Corne dengan persetujuan tersangka Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, membeli bahan bakar minyak (BBM) RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92 sehingga menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak sesuai dengan kualitas barang.

“Kemudian tersangka Maya Kusmaya memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Edward Corne untuk melakukan blending produk kilang pada jenis RON 88 dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92,” ucapnya.

Proses blending tersebut, kata dia, dilakukan di terminal atau storage PT Orbit Terminal Merak milik tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa dan milik Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Perbuatan tersebut menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi tidak sesuai kualitas barang.

Selain itu, tersangka Maya Kusmaya dan Edward Corne membayar impor produk kilang dengan menggunakan metode spot atau penunjukan langsung harga saat itu sehingga PT Pertamina Patra Niaga membayar impor kilang dengan harga yang tinggi ke mitra usaha.

Padahal, ujar Qohar, seharusnya pembayaran dilakukan dengan metode term atau pemilihan langsung dengan waktu berjangka sehingga diperoleh harga yang wajar.

Kedua tersangka mengetahui dan menyetujui adanya mark up dalam kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee 13–15 persen secara melawan hukum

“Fee tersebut diberikan kepada tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa dan tersangka Dimas Werhaspati (DW) selaku komisaris PT Navigator Khatulistiwa,” ujarnya.

Sumber: Tempo.co

Editor : Oksa Bachtiar Camsyah

Tags :
BERITA TERKAIT