Sukabumi Update

Cerita Relawan Kesehatan asal Sukabumi di Tengah Derita Bencana Aceh

dr. Fety Lies Priyanti, dokter dari RSUD Al-Mulk Kota Sukabumi, relawan kesehatan yang mendapat tugas di wilayah Pidie Jaya, Aceh | Foto : Ist

SUKABUMIUPDATE.com – Bencana yang melanda wilayah Sumatera menghadirkan duka mendalam bagi ribuan warga terdampak. Rumah-rumah porak-poranda, fasilitas umum lumpuh, dan sebagian besar masyarakat harus bertahan di pengungsian dengan segala keterbatasan.

Dalam situasi krisis itu, negara hadir melalui penguatan layanan kesehatan darurat dengan mengerahkan tenaga medis ke daerah terdampak. 

Kementerian Kesehatan RI memberangkatkan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Periode 1 pada Jumat, 19 Desember 2025 dan Sabtu, 20 Desember 2025. Mereka ditugaskan hingga 2 Januari 2025 untuk memperkuat penanganan dan pemulihan kesehatan masyarakat.

Salah satu relawan yang diterjunkan adalah dr. Fety Lies Priyanti, dokter dari RSUD Al-Mulk Kota Sukabumi, yang mendapat tugas di wilayah Pidie Jaya, Aceh. Di sana, ia bergabung bersama relawan Kementerian Kesehatan, tim HEOC, serta tenaga kesehatan dari berbagai daerah yang didatangkan untuk memperkuat layanan medis di lapangan.

Baca Juga: Penyebab Lambatnya Penanganan Bencana Aceh-Sumatera, Pemangkasan TKD Jadi Sorotan

Selama bertugas di posko pengungsian, dr. Fety menangani berbagai keluhan kesehatan warga. Ia menyebut stok obat dan logistik medis masih berada pada kategori cukup untuk kebutuhan tiga hari ke depan. Bantuan kesehatan yang terdistribusi juga membantu meringankan beban pelayanan di lapangan.

Namun, ada sejumlah obat yang mulai menipis, terutama salep untuk penyakit kulit, yang merupakan keluhan terbanyak akibat lingkungan lembap, minimnya air bersih, dan padatnya pengungsian. Obat lain seperti antibiotik topikal dan analgesik juga perlu diprioritaskan untuk penambahan.

Untuk memastikan pasokan tetap aman, ia menekankan perlunya: Inventarisasi harian obat dan alat medis di setiap posko, Penambahan cepat untuk obat yang menipis, Koordinasi distribusi dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan BNPB, Penyediaan buffer stock untuk kebutuhan emergensi

Melampaui Tugas Medis, Menyentuh Luka Psikologis Korban

Tugas kemanusiaan di area bencana memberi tantangan emosional tersendiri. “Perasaan saya tentu sedih,” ujar dr. Fety, namun tanggung jawab sebagai relawan membuatnya harus tetap tegar.

Ia menyebut pelayanan yang diberikan tak hanya berupa tindakan medis. Bersama tim, ia juga memberikan dukungan psikologis dan spiritual kepada para korban, karena kekuatan psikis sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik mereka. “Pelayanan yang kami tekankan adalah pelayanan holistik,” jelasnya.

Baca Juga: Niat Mulia Irfan, Warga Cibadak Pilih Jadi Relawan di Aceh Usai 2 Pekan Terjebak Bencana

Selain trauma, kendala bahasa menjadi tantangan tersendiri. Sebagian warga tidak fasih berbahasa Indonesia, sehingga informasi kesehatan harus disampaikan dengan lebih sabar dan jelas. Dalam kondisi tersebut, bantuan warga lokal dan penggunaan bahasa tubuh sangat membantu agar pesan tetap tersampaikan tanpa menambah beban emosional korban.

Anak-Anak Aceh: Keteguhan di Tengah Duka

Salah satu momen paling membekas bagi dr. Fety adalah interaksinya dengan anak-anak pengungsi. Meski mengalami trauma, mereka masih mampu tersenyum.

Ketika ditanya cita-cita, salah satu anak menjawab, “Saya hanya ingin makan ayam dengan kecap,” mengingat beberapa hari pertama mereka hampir tidak makan sama sekali.

Banyak dari anak-anak itu justru menanyakan, “Kapan kami bisa masuk sekolah lagi?” Pertanyaan yang menyesakkan dada, mengingat sekolah mereka kini tertimbun lumpur.

Menurut dr. Fety, dari anak-anak Aceh ia belajar tentang ketabahan, keikhlasan, dan rasa syukur di tengah keterbatasan.

Baca Juga: Cerita 12 Pekerja Terdampak Bencana Aceh Berhasil Pulang ke Sukabumi, Dibiayai KDM

Menjaga Kondisi Diri agar Tetap Siap Melayani

Di tengah tekanan tinggi, dr. Fety menyadari bahwa menjaga kesehatan diri menjadi bagian penting dari pelayanan. Ia memastikan makan dan minum teratur, mengatur waktu istirahat bergiliran, serta menggunakan APD untuk menghindari risiko sakit.

Secara mental, ia menguatkan diri dengan berbagi cerita dengan tim, memperkuat spiritualitas, serta fokus pada hal-hal kecil yang bisa ia bantu setiap hari.

Keterbatasan fasilitas dan tingginya kebutuhan layanan kesehatan membuat tugas relawan di lapangan tidak mudah. Namun kondisi itu justru memperkuat empati dan kerja sama antarrelawan.

Dengan segala hambatan, dr. Fety dan rekan-rekannya terus memberikan pelayanan terbaik. Kehadiran mereka menjadi simbol harapan bagi para penyintas, bahwa di tengah lumpur, trauma, dan kehilangan, ada tangan-tangan yang siap membantu memulihkan luka—baik fisik maupun batin.

Sumber : kdpsukabumikota

Editor : Syamsul Hidayat

Tags :
BERITA TERKAIT