SUKABUMIUPDATE.com – Amnesty International Indonesia menilai tahun 2025 sebagai tahun malapetaka nasional hak asasi manusia (HAM). Penilaian tersebut disampaikan dalam catatan akhir tahun yang diluncurkan hari ini, Selasa (30/12/2025).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, situasi HAM dari Januari hingga Desember 2025 mengalami erosi terparah selama era reformasi. Indonesia semakin melangkah mundur dalam bidang hak asasi manusia akibat kebijakan memprioritaskan ekonomi, bahkan hingga berbasis deforestasi, yang merampas ruang hidup masyarakat adat dan menolak partisipasi warga yang bermakna.
Sepanjang tahun, malapetaka juga ditandai oleh maraknya pelanggaran hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk efisiensi anggaran yang mengganggu ekonomi masyarakat. Situasi ini juga akibat dari berbagai penyalahgunaan kekuasaan dan kebijakan yang menjauhkan Indonesia dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
“Tahun ini pun ditutup oleh buruknya reaksi penanganan bencana ekologis di Sumatra yang mempertontonkan ketidakmampuan pemerintah menghadapi krisis kemanusiaan, bahkan mencerminkan watak represif seperti terlihat dalam kekerasan militer di Aceh baru-baru ini,” kata Usman dalam rilis yang diterima sukabumiupdate.com.
Saat ada protes, para pejabat negara bukannya fokus menyerap aspirasi dan menyelamatkan warga, justru jalan terus dengan kebijakannya, mengabaikan partisipasi bermakna, melontarkan pernyataan gegabah serta melakukan penangkapan dan penahanan massal.
Negara gagal menjalankan fungsi konstitusionalnya baik dalam kondisi normal maupun krisis, mengabaikan kewajibannya melindungi hak asasi manusia. Tahun ini penuh kekerasan negara, ketimpangan sosial dan kebijakan pro-deforestasi yang mengorbankan rakyat.
“Malapetaka ini adalah akibat pemerintah saat ini yang anti-kritik, senang melontarkan narasi kontroversial, dan membungkam aspirasi yang berkembang di masyarakat,” tambah Usman.
Baca Juga: Wajah Sukabumi Paling Hits 2025
Tahun merebaknya kekerasan negara
Negara menunjukkan sikap anti-kritik atas berbagai gelombang protes terkait revisi UU TNI, hak buruh, PSN, dan tunjangan DPR sejak Maret, Mei, dan hingga Agustus 2025. Alih-alih dialog dan menyelesaikan masalah rakyat seperti PHK massal, efek kebijakan efisiensi dan melesunya ekonomi, negara justru meremehkan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan dan akibatnya aparat pun represif.
Kebijakan paling bermasalah tahun ini ialah kenaikan pajak awal tahun, pengesahan UU Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) akhir kwartal pertama hingga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) saat memasuki kwartal akhir tahun. Banyak pasal yang berpotensi menjustifikasi pelanggaran hak-hak warga dan membuka celah penyalahgunaan kewenangan penegak hukum dalam KUHAP yang baru.
“Watak otoriter pemerintah dan DPR terlihat dalam proses penyusunan kebijakan yang tanpa hikmah musyawarah seperti RUU TNI dan RKUHAP ini. Yang lebih mengerikan ke depan adalah implementasi dari KUHAP baru ini yang mengancam hak asasi manusia,” kata Usman.
Jika tidak dikoreksi, bukan mustahil ke depan semakin marak penangkapan yang semena-mena dan upaya paksa lainnya.
“Tahun ini saja, 5.538 orang ditangkap semena-mena, disiksa dan terkena gas air mata hanya karena berdemonstrasi,” kata Usman.
Bahkan Amnesty Internasional Indonesia mengidentifikasi penggunaan granat gas air mata yang mengandung bahan peledak dan dapat mengakibatkan cacat permanen saat aksi demonstrasi pada akhir Agustus 2025. Bukannya melakukan koreksi, Kapolri malah menerbitkan Perkapolri 4/2025 yang melonggarkan aturan penggunaan senjata api.
Alih-alih membentuk Tim Pencari Fakta dan melepaskan warga yang ditangkap, negara memproduksi stigma ‘anarkis,’ ‘penghasut’ dan ‘teroris’ ke para demonstran, mengadili Delpedro, Muzaffar, Syahdan Husein, Khariq Anhar.
“Ini taktik klasik meredam kritik. Mereka yang bersuara kritis dipenjarakan dan disalahkan atas kerusuhan akhir Agustus. Sementara negara gagal mengusut siapa sesungguhnya pelaku kerusuhan tersebut,” tambah Usman.
Represi ini berlanjut secara sistematis terhadap aktivis dan pembela HAM. Amnesty Internasional Indonesia mencatat sebanyak 283 pembela HAM mengalami serangan karena kerja-kerja mereka selama 2025 seperti, diantaranya, kriminalisasi, penangkapan, pelaporan ke polisi dan percobaan pembunuhan. Mayoritas dari pembela HAM yang mengalami serangan adalah jurnalis dan masyarakat adat, masing-masing sebanyak 106 dan 74 orang.
Kasus-kasus yang terjadi menjelang penghujung tahun menunjukkan pola yang sama: serangan terhadap 33 orang masyarakat adat Sihaporas, Simalungun yang melukai 18 perempuan, 15 laki-laki, dan anak penyandang disabilitas, (22/9), lalu penangkapan dua aktivis Walhi dan Kamisan, Adetya Pramandira dan Fathul Munif (27/11), hingga penangkapan Ketua Adat Dusun Lelayang Tarsisius Fendy Sesupi usai mengritik deforestasi dan kegiatan korporasi di Kalimantan Barat, (9/12).
Baca Juga: Aspal Jalan Provinsi Ruas Jampangtengah Sukabumi Mengelupas Usai Terendam Banjir
Pejabat dan aparat juga melarang bedah buku Reset Indonesia di Desa Gunungsari, Madiun, Jawa Timur, Sabtu (20/12). Mobil mereka juga diteror pada pukul 03.05 WIB dini hari (21/12).
“Mereka yang lantang membela lingkungan dan tanah ulayat dibungkam lewat intimidasi dan kriminalisasi. Ini adalah upaya sistematis untuk menutupi kegagalan negara dalam mengelola kekayaan alam berlandaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya,” kata Usman.
Kebijakan malapetaka lainnya adalah pengangkatan mantan presiden Suharto sebagai pahlawan nasional dan penulisan ulang sejarah nasional. Kebijakan ini menegasikan fakta pelanggaran HAM masa lalu, khususnya sejak Tragedi 1965, Petrus 1980an, Priok 1984, Lampung 1989, hingga Tragedi Trisakti-Semanggi 1998-1999.
Tahun 2025 juga menjadi tahun perluasan peran militer di luar pertahanan. Revisi UU TNI memperluas peran militer mengurus pertanian, proyek strategis nasional, makan siang gratis, hingga penugasan perwira aktif di jabatan sipil. Kabar baik putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 13 November yang membatasi “penugasan” anggota Polri di luar kepolisian berujung dengan terbitnya Perpol 10/2025.
“Penyimpangan peran, fungsi dan wewenang dua alat negara itu berpotensi mengembalikan mereka sebagai alat represi seperti yang terlihat di sepanjang 2025,” kata Usman.
Hak kelompok ragam gender dan seksualitas (LGBTQIA+) juga masih terancam pada 2025. Pada bulan Februari dan Juni aparat kepolisian secara diskriminatif menangkap lebih dari 100 orang dalam apa yang mereka sebut sebagai “pesta seks” di Jakarta dan di Megamendung, Jawa Barat. Penangkapan dilakukan secara sewenang-wenang, disertai pelanggaran etik seperti pengambilan dan penyebaran foto para peserta tanpa izin. Bahkan, beberapa peserta menjalani tes HIV secara paksa, dan barang-barang pribadi disita meski kasus belum naik ke tahap penyidikan.
Baca Juga: 3 Tokoh Ini Minta Pemda Bijak Sikapi Dua Kepengurusan KNPI Kabupaten Sukabumi
Tahun ketimpangan sosial ekonomi
Ketimpangan sosial ekonomi tetap mengkhawatirkan. Data dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia pada tahun 2024.
Di tengah ketimpangan ekonomi ini, hak atas pekerjaan juga semakin tergerus dengan meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja di tahun 2025 yaitu mencapai 79 ribu hingga September 2025 berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan.
Selain itu kebijakan yang sekilas terkesan seperti pemenuhan hak atas pangan seperti MBG, yang juga digadang sebagai solusi gizi nasional untuk hak atas kesehatan, berubah menjadi bencana kesehatan publik dengan ribuan siswa mengalami keracunan massal.
Badan Gizi Nasional (BGN) dan Kementerian Kesehatan per 12 November mengungkap ada lebih dari 11 ribu jumlah anak penerima MBG yang keracunan. Sebelumnya, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), koalisi beberapa lembaga masyarakat sipil yang fokus pada akses dan kualitas pendidikan di Indonesia, mencatat jumlah lebih besar yakni 16.109 anak.
“Insiden keracunan MBG ini mencerminkan watak otoriter, tergesa-gesa tanpa riset mendalam serta pengawasan memadai. Seharusnya program ini dievaluasi menyeluruh,” kata Usman.
Sementara itu, Proyek Strategis Nasional (PSN) terus menggusur masyarakat adat di kawasan timur Indonesia. Seperti PSN Lumbung Padi Nasional di Merauke, Papua, yang membongkar hutan dan menyerobot lahan masyarakat adat tanpa dialog.
Begitu pula proyek jalan Trans Kieraha dan ekspansi tambang nikel di Halmahera, telah mendesak ruang hidup komunitas adat. Hutan tempat mereka hidup beralih menjadi tambang. Masyarakat adat tidak diberi ruang untuk memutuskan.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa atas nama pembangunan dan investasi, hak ulayat dirampas, sehingga memperdalam ketimpangan ekonomi dan memicu konflik agraria yang berkepanjangan.
Tahun bencana nasional dan krisis ekologis
Tahun 2025 ditutup dengan bencana nasional di Sumatra akibat deforestasi. Banjir bandang yang membawa kayu gelondongan dan tanah longsor merenggut lebih dari 1,000 jiwa, tujuh ribu orang luka-luka, 192 warga hilang, 147 ribu rumah rusak, dan hampir setengah juta warga mengungsi menurut data BNPB. Banjir membawa kayu gelondongan dan lumpur.
Ini bukan hanya bencana alam, ini adalah produk kebijakan ekonomi pro-deforestasi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, deforestasi di Aceh, Sumut, dan Sumbar mencapai 1,4 juta hektar sejak 2016 akibat aktivitas 631 perusahaan di berbagai sektor industri.
“Sulit membayangkan bagaimana negara bisa mengizinkan penghancuran hutan dengan skala sebesar ini tanpa mengantisipasi kemungkinan bencana, kecuali kalau memang negara jauh mengutamakan keuntungan ekonomi daripada menjaga ekosistem,” tambah Usman
Publik dan pemerhati lingkungan telah sering memperingatkan pemerintah akan bahaya deforestasi. Tapi peringatan mereka tidak pernah diindahkan. Bahkan Presiden meremehkan ancaman deforestasi.
“Kita harus tambah tanam kelapa sawit. Enggak usah takut apa itu … deforestation,” kata Presiden Prabowo, (30/12/2024).
Seakan tidak belajar dari bencana ekologis di Sumatra, Presiden bahkan meminta Papua juga harus ditanam kelapa sawit saat rapat dengan pejabat Papua, (16/12).
Ketika bencana terjadi, negara gagal memenuhi kewajibannya melindungi warga. Menggelar rapat tiga hari pasca kejadian menunjukkan Pemerintah pusat lamban. Tiga pekan pasca kejadian, masih ada wilayah terisolasi dan sulit bantuan, seperti di Bener Meriah dan Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Di tengah sulitnya situasi di lapangan, pemerintah juga menolak bantuan kemanusiaan dari negara lain dengan alasan Indonesia masih ‘mampu’. Pemerintah bahkan tidak mau menetapkan banjir dan longsor di Sumatra sebagai bencana nasional.
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) juga mengungkap adanya upaya secara masif dan sistematis untuk membatasi pemberitaan bencara Sumatra. Ini sangat berbahaya. Mulai dari intimidasi aparat TNI terhadap jurnalis Kompas yang meliput bantuan internasional, penghapusan total pemberitaan bencana di detik.com, hingga penghentian siaran dan praktik sensor diri oleh CNN Indonesia TV terhadap laporan langsung dari lokasi bencana.
Bahkan muncul laporan kekerasan aparat terhadap warga sipil pembawa bantuan, seperti yang terjadi di Krueng Mane, Aceh, pada 25 Desember lalu. Lima warga yang membawa bantuan dengan truk untuk korban bencana di Aceh Tamiang dilaporkan luka-luka saat bentrok dengan aparat yang berdalih merazia bendera bulan bintang.
“Malapetaka ekologis ini berasal dari kebijakan pro-deforestasi, kelambanan dan kegagapan pemerintah dalam bertindak, serta diperparah oleh lontaran pernyataan gegabah dan upaya pembatasan informasi,” kata Usman.
Sebelum banjir dan longsor Sumatra terjadi, BMKG telah mengeluarkan peringatan kuat namun terkesan diabaikan.
“Kelalaian negara ini berujung pada malapetaka HAM,” kata Usman.
Baca Juga: Penyebab Lambatnya Penanganan Bencana Aceh-Sumatera, Pemangkasan TKD Jadi Sorotan
Pernyataan para pejabat juga memperparah situasi. Direktur Jenderal Kemenhut menyebut kayu gelondongan yang tersapu banjir sebagai "kayu lapuk.” Kepala BNPB menyebut situasi "mencekam hanya berseliweran di media sosial.” Ini menunjukkan arogansi dan nir-empati di tengah krisis kemanusiaan.
Bencana Sumatera menunjukkan bagaimana kebijakan pembangunan yang mengabaikan lingkungan dan HAM mengancam hak atas kehidupan, keselamatan, dan ruang hidup. Selama negara terus mengizinkan proyek bisnis berbasis deforestasi masif maka malapetaka serupa terancam akan terus berulang.
“Malapetaka ekologis bisa terus berlanjut di tahun 2026 jika pemerintah masih terus menjalankan kebijakan pro-deforestasi yang diamankan dengan praktik-praktik otoriter,” kata Usman.
“Hutan dan ekosistem lingkungan di banyak wilayah Sumatra, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara hingga Papua telah rusak. Jangan sampai hutan Indonesia yang merupakan satu dari hutan terbesar yang tersisa di dunia juga rusak dengan adanya instruksi Presiden untuk melakukan ekspansi penanaman sawit. Kebijakan ekonomi berbasis deforestasi harus dihentikan jika Indonesia ingin mencegah bencana ekologis lebih besar ke depan,” tutup Usman.
Editor : Denis Febrian