Sukabumi Update

Penyebab Aktivis Tolak Penasihat KPK dari Partai Politik

SUKABUMIUPDATE.com - Aktivis antikorupsi dengan tegas menolak calon pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan kader partai politik. Jika ada kader partai politik yang menduduki jabatan, khususnya di KPK, akan muncul konflik kepentingan meskipun sudah keluar dari partai.

”Meskipun jika terpilih sudah tidak menjadi bagian dari partai politik, sangat rentan konflik kepentingan dan akan menimbulkan persoalan di lingkup internal KPK,” kata Baharuddin Kamba, Kepala Divisi Pengaduan Masyarakat Jogja Corruption Watch, Selasa (28/3).

Ia mencontohkan kasus hakim Mahkamah Konstitusi yang terjerat kasus hukum, seperti Akil Muchtar dan Patrialis Akbar. Keduanya, sebelum menjadi hakim, merupakan politikus. Tindakan mereka justru mengotori institusi.

Panitia seleksi calon penasihat KPK telah melakukan wawancara tahap akhir dari 13 calon. Tes wawancara nantinya menyaring delapan nama yang akan diserahkan ke pemimpin KPK untuk dipilih menjadi empat nama. 

Tiga belas calon penasihat KPK itu adalah Antonius D.R. Manurung, Budi Santoso, Burhanudin, Edi Sutarto, Edward Efendi Silalahi, Johanes Ibrahim Kosasih, Moh. Tsani Annafari, Muhammad Arief, Nindya Nazara, Robi Arya Brata, Sarwono Sutikno, Vicensius Manahan Silalahi, dan Wahyu Sardjono. 

Salah satu di antara 13 nama itu merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, yakni Antonius Manurung, meskipun ia menyatakan akan mengundurkan diri dari partai tersebut seandainya terpilih.

”Panitia seleksi harus mempertimbangkan itu,” ucapnya.

Kamba kembali mengusik orang partai politik yang menduduki jabatan dalam permasalahan hukum. Patrialis, misalnya, sejak menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sudah bermasalah. Meskipun tidak semua orang partai seperti para mantan politikus yang busuk ini, tetap saja sangat rentan terhadap kepentingan politis.

”Rekam jejak para calon penasihat KPK harus dicermati. Jangan sampai ada orang partai politik yang jadi,” kata Kamba.

Peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Hifdzil Alim juga mewanti-wanti kepada panitia seleksi untuk tidak memilih kader partai politik. Berkaca dari kasus-kasus korupsi yang melibatkan orang politik, penasihat KPK harus bersih dari politik.

KPK harus menjadi institusi yang independen dalam pemberantasan dan pencegahan korupsi. Sebab, kasus korupsi banyak terjadi di lingkup politik.

”Ojo ngasi (jangan sampai),” kata dia serius.

 

Sumber: Tempo

Editor : Administrator

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI