Sukabumi Update

Putusan Kebablasan Kasus Century

SUKABUMIUPDATE.com - Ketukan palu hakim Effendi Mukhtar memicu lagi kontroversi kasus Bank Century. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini memutus secara berlebihan permohonan praperadilan. Ia memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi melanjutkan penyidikan kasus Century serta menetapkan bekas Gubernur Bank Indonesia, Boediono, dan kawan-kawan sebagai tersangka.

Putusan hakim tunggal itu jelas di luar obyek praperadilan. Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, wewenang hakim praperadilan memutus antara lain soal keabsahan penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan atau penuntutan. Belakangan, Mahkamah Konstitusi menambahkan soal keabsahan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan.

Hakim semestinya menolak permohonan praperadilan yang diajukan Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia. Pemohon, yang diwakili Boyamin Saiman, menyamakan berlarut-larutnya kasus Century dengan "penghentian penyidikan secara materiil". Dalil yang aneh ini seharusnya ditolak. KPK pun tak pernah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan perkara Century. Undang-undang memang melarang komisi antikorupsi menghentikan penyidikan.

Boyamin sebelumnya tiga kali mengajukan praperadilan setelah bekas Deputi Gubernur BI, Budi Mulya, divonis bersalah. Semua gugatan itu ditolak hakim. Alasannya, permohonan tersebut tak masuk obyek praperadilan karena KPK tak pernah menghentikan penyidikan kasus Century. Anehnya, permohonan keempat dikabulkan hakim Effendi. Bahkan ia memerintahkan KPK menetapkan Boediono dan dua pejabat BI lainnya sebagai tersangka atau melimpahkan kasus tersebut ke penegak hukum lain. Putusan Effendi ini jelas kebablasan.

Boediono dan kawan-kawan memang disebut dalam dakwaan kasus Budi Mulya. Tapi, sekalipun putusan Budi sudah berkekuatan hukum tetap, mereka tidaklah otomatis menjadi tersangka. Harus ada proses penyelidikan dan penyidikan lebih dulu terhadap Boediono dan kawan-kawan. Proses penegakan hukum yang menjadi wilayah KPK, kepolisian, atau kejaksaan ini semestinya tidak bisa didikte hakim.

Pengusutan kasus Bank Century selama ini pun penuh kontroversi dan diliputi tekanan politik. Bank ini diselamatkan melalui Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) BI pada 2008, sebelum akhirnya ditangani lebih jauh oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Pada pemberian FPJP senilai Rp 689 miliar itulah ada peran Budi. Tapi sebenarnya itu tindak pidana yang berdiri sendiri.

Temuan KPK memperlihatkan bahwa salah satu alasan Budi mendorong penyelamatan Century dalam rapat Dewan Gubernur BI adalah hubungannya dengan Robert Tantular, pemilik Century. Dalam dakwaan Budi Mulya, KPK menyatakan Robert pernah meminjami Budi duit Rp 1 miliar menjelang Century diselamatkan. Tapi motivasi yang menunjukkan adanya iktikad buruk di balik kebijakan penyelamatan bank ini belum tentu berlaku bagi pejabat BI yang lain.

Mahkamah Agung semestinya ikut bertanggung jawab atas kekacauan hukum akibat putusan hakim Effendi. Mahkamah sebelumnya masih membuka peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan dengan syarat ada "penyelundupan hukum". Tapi, sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016, pintu peninjauan kembali untuk putusan praperadilan telah ditutup sama sekali.

Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus memeriksa hakim Effendi, yang membuat putusan berlebihan. Mahkamah juga tak boleh membiarkan putusan praperadilan yang kebablasan itu tanpa memberikan solusi.

Sumber: Tempo

Editor : Andri Somantri

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI