Sukabumi Update

Masa Depan Jurnalis di Tengah Pandemi dan Ancaman Kekerasan

SUKABUMIUPDATE.com - Jurnalis menjadi profesi yang terjerembab dalam ketidakpastian masa depan dan ancaman kekerasan. Dekadensi ini kian diperparah dengan adanya Pandemi Covid-19 yang memaksa cara-cara baru dalam menjalankan pekerjaan tersebut.

Pandemi Covid-19 telah mendorong peningkatan yang signifikan dalam perubahan pola konsumsi berita. Gejolak ekonomi yang mengguncang dunia, termasuk Indonesia, telah mempercepat perpindahan bisnis media ke arah digital. Pandemi mempercepat semuanya.

Dalam laporan The Reuters Institute yang diterbitkan pada Juni 2020 lalu, Pandemi Covid-19 telah meningkatkan penayangan televisi dan berita online secara global. Meskipun kekhawatiran soal beredarnya informasi yang salah tetap tinggi. Facebook dan WhatsApp pun dinilai sebagai saluran utama dalam menyebarkan informasi salah tersebut.

Di tengah ketakutan yang luar biasa terhadap virus mematikan ini, jurnalis tetap dituntut untuk dapat menyanggah informasi salah yang kadung tersebar di masyarakat itu. Bahkan persoalan ini mendapat sorotan organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan dunia UNESCO, sehingga mereka meluncurkan program yang disiapkan untuk membantu para jurnalis dalam mengatasi krisis kesehatan global tersebut.

Masa depan profesi jurnalis semakin dipertaruhkan ketika cara-cara kerja di masa pandemi berbeda dengan pola sebelumnya.

Melansir laporan media Jerman Deutsche Welle, editor The Indian Express, Amitabh Sinha mengungkapkan bahwa para jurnalisnya diminta untuk bekerja dari rumah sesering mungkin.

Kendati demikian, proses pencarian berita tetap mengharuskan para jurnalis berada di lapangan, tentu dengan perlindungan yang lebih ketat dari sebelum adanya pandemi. 

Namun dalam memperoleh berita seputar pandemi ini, kata Sinha, jurnalis hanya mengandalkan informasi pemerintah, seperti penghitungan kasus atau jumlah kematian. Pasalnya, tidak ada cara untuk memverifikasi informasi dari sumber lain, kecuali mencari sumber baru, misalnya dengan mengunjungi sejumlah lokasi pemakaman untuk memeriksa berapa banyak mayat yang dikebumikan untuk membandingkan dengan data yang diberikan pemerintah. Kondisi ini membuat risiko terhadap pekerjaan wartawan semakin berlipat ganda.

Meskipun begitu, para jurnalis pada umumnya telah memberikan pertanggungjawaban yang baik untuk profesi ini. Di tengah kehilangan pekerjaan, pemotongan gaji, dan risiko pribadi yang besar bagi diri mereka sendiri, mereka keluar dan menceritakan kisah-kisah penting tentang pandemi kepada publik.

Sinha yang telah 20 tahun menjadi jurnalis dan pernah bergabung dengan media Reuters dan BBC ini menuturkan, Pandemi Covid-19 sendiri telah membatasi pengiriman surat kabar di banyak negara, sehingga pihaknya mendorong untuk mendistribusikan surat kabar tersebut melalui aplikasi WhatsApp dan email.

Tantangan Jurnalis di Indonesia

Sejak diumumkan secara resmi masuk ke Indonesia pada Maret 2020 lalu, Covid-19 telah berdampak luas bagi media dan jurnalis. Pemerintah berusaha mengatasi penyebaran pandemi ini dengan melakukan sejumlah pembatasan wilayah, yang itu berdampak kepada ekonomi. Bagi media, dampak itulah yang mengakibatkan perusahaan melakukan PHK, efisiensi, dan tindakan penghematan lainnya.

Mengutip dari laman resmi Aliansi Jurnalis Independen atau AJI, Pandemi Covid-19 memiliki dampak yang sangat serius bagi pers saat ini dan juga masa depan. Dampak nyata dari pandemi ini tentu saja yang utama bagi bisnis media itu sendiri, di mana juga akan berakibat langsung pada kesejahteraan jurnalis. Sementara dampak lainnya adalah pada kualitas jurnalisme karena banyaknya proses news gathering dengan cara daring.

Ketua Umum AJI Abdul Manan mengatakan, situasi tersebut menjadi sorotan serius bagi AJI yang memiliki concern soal kebebasan pers, profesionalisme, dan kesejahteraan jurnalis. Situasi sulit media sekarang ini tentu berdampak langsung pada tiga hal tersebut.

"AJI berharap media bisa menghadapi masa-masa sulit ini, dengan tetap menjaga nilai utama profesi ini, yaitu bekerja untuk menemukan kebenaran dan memprioritaskan kepentingan publik," kata Abdul Manan, Jumat, 7 Agustus 2020.

Segendang sepenarian dengan situasi di atas, tingkat kekerasan terhadap jurnalis selama masa Pandemi Covid-19 ini juga dinilai masih sangat besar. Selama tahun 2020, AJI menerima 40 laporan kekerasan, di mana 18 di antaranya terjadi pada bulan Oktober.

Laporan kekerasan tersebut juga terdiri dari beragam jenis, antara lain ancaman kekerasan atau teror (8), gugatan perdata (1), intimidasi lisan oleh pejabat publik (12), kekerasan fisik (7), mobilisasi massa/penyerangan kantor redaksi (2), pemidanaan/kriminalisasi (2), pengusiran/pelarangan liputan (1), perusakan alat dan/atau data hasil peliputan (5), dan sensor/pelarangan pemberitaan (2).

Dari 40 laporan yang ada, kekerasaan paling banyak dilakukan oleh polisi, yakni sebanyak 17 kasus. Hal itu berkaitan dengan meledaknya aksi massa menolak UU Cipta Kerja pada Oktober 2020 lalu.

Sementara dari data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers yang dikutip melalui Tirto, selama 1 Januari hingga 10 Desember 2020, ada 117 kasus yang berkaitan dengan iklim kebebasan pers dan konflik ketenagakerjaan di bidang media. Angka itu disebut meningkat sekitar 32 persen dibandingkan tahun 2019 yang hanya 79 kasus.

Menurut LBH Pers, pada 2020 juga ditemukan data bahwa jurnalis tidak hanya berisiko terhadap tindakan kekerasan, namun juga berisiko cukup tinggi mendapatkan kecelakaan kerja saat meliput aksi demonstrasi.

Dalam temuan LBH Pers tersebut, Kepolisian RI menjadi institusi negara yang mendominasi melakukan kekerasan terhadap jurnalis dengan kasus terbanyak, yaitu 76 kasus. Tindakan represif oleh aparat banyak terjadi ketika aksi protes terhadap pengesahan UU Cipta Kerja pada Oktober 2020. Pelaku lain yang melakukan kekerasan dan pelanggaran pers adalah militer sebanyak dua kasus. 

Sedangkan untuk pelaku anonim alias tidak diketahui, menempati posisi kedua, yakni sebanyak 12 kasus. Serangan yang dilakukan juga tidak hanya secara konvensional, namun beberapa pelaku melakukan serangan siber terhadap jurnalis atau perusahaan media dengan identitas anonim.

Selama 2020, LBH Pers mencatat ada 99 jurnalis yang mengalami kekerasan, baik berupa penganiayaan, intimidasi, penangkapan, penghapusan data liputan, hingga serangan siber. Aksi protes pengesahan Omnibus Law menjadi salah satu faktor meningkatnya serangan terhadap jurnalis, setidaknya ada 71 kasus.

Editor : Oksa Bachtiar Camsyah

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI