Sukabumi Update

Asa Petani Penggarap di Kabupaten Sukabumi Tergerus HGU

SUKABUMIUPDATE.COM - Hidup segan mati tak mau, itulah kondisi yang dialami para petani berstatus penggarap di lahan perkebunan di Kabupaten Sukabumi saat ini. Status lahan garapan memaksa para petani “berebut” lahan produktif dengan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) baik perkebunan maupun lainnya yang merasa lebih berhak memakai lahan tersebut.

“Kita berkebun di lahan garapan perkebunan, tanaman pokok perusahaan sudah berusia dua tahun atau lebih akan berpengrauh kepada produktivitas panen petani. Kita berbagi lahan tumpang sari di sela tanaman pokok perkebunan yang lebih berhak menggunakan tanah, kita dapat sisanya,” ungkap Jejen (42) warga Kampung Pasir Nagrak, Desa Bojongtipar, Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi yang tumpangsari dilahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Artana.

Jejen membandingkan, jika bercocok tanam padi darat di lahan kosong dengan luasan satu patok (400m2) bisa menghasilkan 100 kilogram gabah per patok. Sementara kalau tumpangsari dengan tanaman perkebunan terutama jenis tanaman keras (kayu) maka hasil panen paling maksimal 60-70 kilogram per patok.

Selain hasil panen tidak maksimal, biaya produksi petani pun bertambah. “Tumpangsari itu butuh pupuk dan perawatan tanaman yang lebih banyak dibandingan menanam di lahan kosong,” pungkas Jejen.

Hal senada juga diungkapkan Asep Setiawan (37), warga Kampung Cikiwul, Desa Cijulang, Kecamatan Jampang Tengah, ia menggarap di HGU PT Bumiloka Swakarya. Menurut Asep untuk tanaman singkong di lahan kosong minimal bisa sampai 5 kg per pohon, beda dengan tumpang sari perkebunan, hasil kurang maksimal di kisaran 3 kg per pohon, itupun dengan catatan pupuk harus lebih banyak.

Selain masalah kemampuan produksi tanaman. Masalah lain petani penggarap di lahan yang sudah dikuasai perkebunan menurut Asep adalah perjanjian masa tanam tumpang sari. “Biasanya setelah tiga tahun ditanami perusahaan, maka warga petani penggarap akan dilarang tumpangsari karena akan menganggu pertumbuhan tanaman komoditas perusahan."

“Masalahnya tidak semua petani penggarap bekerja di perusahaan tersebut. Berapa sih upah jadi pekerja perkebunan. Kami minta pemerintah lebih peduli, bukan hanya nasib petani tapi juga nasib produksi tanaman pangan lokal dan nasional, katanya kita nggak mau impor, tapi lahan pertanian terus digusur,” pungkas Asep.

Editor : Administrator

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI