Oleh: KH. Rizal Yusup Ramdhan, Wakil Katib Syuriyah PCNU Kota Sukabumi
Di tanah yang dahulu hijau, tempat angin berzikir dan pepohonan bersujud dalam diam, kini terbentang luka yang menganga. Hutan—rahim kehidupan—dikoyak oleh kerakusan kolonisasi ekonomi. Di antara batang-batang yang tumbang, ikut runtuh pula nyawa manusia yang bergantung pada keseimbangan alam.
Inilah tragedi besar zaman ini: ketika bumi dipreteli demi sawit, ketika keuntungan dimuliakan melebihi kehidupan, ketika tanah air dijadikan persembahan bagi rakusnya modal. Sungai keruh, tanah longsor, udara menjadi saksi derita, dan warga yang kehilangan ruang hidupnya dibiarkan menanggung resiko hingga maut.
Allah telah mengingatkan: “Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56). Namun kerusakan itu kini menampakkan wajahnya dengan sangat telanjang.
Dalam pandangan Islam, pemerintah adalah pemegang amanah yang berat: mereka wajib menjaga kehidupan rakyat, memastikan setiap kebijakan melindungi nyawa, bukan mempercepat kematian. Kemaslahatan harus diatur berdasarkan keselamatan manusia dan kelestarian lingkungan, bukan semata-mata angka investasi. Pemerintah juga diwajibkan menegakkan keadilan, menjadi perisai bagi rakyat ketika ekspansi perkebunan dan industri mengancam ruang hidup mereka, serta menjaga bumi sebagai titipan Allah — bukan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan sesuka hati.
Baca Juga: Jejak Ilegal Logging di Balik Bencana Sumatera Menguak Tabir Kayu Gelondongan Bernomor Merah
Namun amanah memperbaiki bumi tidak hanya dibebankan kepada pemerintah. Umat pun memikul tanggung jawab besar. Ketika hutan dijarah dan warga terbunuh, diam bukan pilihan, karena diam adalah bentuk persetujuan terhadap kemungkaran. Umat harus menyeru kebenaran, menegur kekuasaan dengan hikmah namun tegas, dan menghidupkan kembali kesadaran bahwa bumi adalah amanah Ilahi.
Merawat alam, menanam pohon, menjaga sungai, dan menolak kerusakan adalah bentuk ibadah. Membela warga yang kehilangan tanah dan ruang hidupnya adalah bentuk keimanan. Nabi mengajarkan untuk menolong saudara yang dizalimi, dan itu berarti berdiri bersama mereka yang menjadi korban kerakusan ekonomi. Umat juga berkewajiban mengawal kebijakan, mengawasi, memberi masukan, dan mendorong keadilan agar tidak hanya menjadi slogan tanpa makna.
Di sisi lain, setiap diri perlu bermuhasabah: apakah kita ikut menyumbang pada kerusakan melalui pola konsumsi dan pembiaran? Taubat sosial diperlukan agar bangsa kembali mendapatkan keberkahan. Kerusakan alam tidak hanya lahir dari penguasa, tetapi juga dari masyarakat yang terlalu lama menganggap bumi sebagai sesuatu yang tidak perlu dibela.
Baca Juga: 5 Kecamatan di Sukabumi Utara Dilanda Longsor Dan Cuaca Ekstrem, BPBD Minta Warga Waspada
Di tengah bumi yang meraung oleh ketamakan, umat dan pemerintah dipanggil untuk kembali pada amanah terdalam: menjaga kehidupan, mengokohkan keadilan, dan melindungi titipan Allah. Jangan sampai hutan menjadi nisan raksasa peradaban dan nyawa rakyat hanya menjadi angka di laporan ekonomi. Semoga kita menjadi bangsa yang tidak hanya mengutuk kegelapan, tetapi menyalakan cahaya, menegakkan keadilan, dan membela bumi sebagaimana ia telah membela kehidupan kita. (*)
Editor : Fitriansyah