Sukabumi Update

Argumen Tak Tepat Tentang si Jalur Cepat

Oleh: Heni Andriani (Anggota Akademi Menulis Kreatif)

Menjelang pilpres serentak suasana terasa semakin memanas, berbagai upaya meraih suara dari rakyat terus dilakukan. Dari mulai turun ke sawah, mengunjungi pesantren - pesantren, UKM-UKM hingga yang tidak terlewati, adalah blusukan ke pasar-pasar tradisional.

Tentu hal ini bukan sesuatu hal yang asing, karena sejatinya bagi para calon dua pemimpin negara ini merupakan agenda rutin kertika menjelang Pemilu. Berbagai kegiatan ini bukan tanpa maksud dan tujuan. Kegiatan ini merupakan salah satu cara dalam mendulang suara dan simpati, bahkan ada yang mengatakan sebagai pencitraan.

Apapun untuk meraih simpati rakyat akan jor-joran dilakukan tanpa mempedulikan apakah sesuai dengan norma yang ada ataupun agama. Saling lempar tudingan satu sama lain bukan merupakan hal yang asing.

Sebagai contoh tentang pernyataan kontroversial walikota Semarang tentang pembangunan infrastruktur jalan tol yang dinilai diskriminatif. Namun harga tarif masuk jalan tol yang terus melangit. Seperti yang dilansir dari sebuah media On Line: "Pengusaha logistik membenarkan alasan para supir yang truk mengalihkan lajunya kembali ke jalur Pantura daripada tol Trans jawa karena tarif yang mahal tarif tol dinilai terlalu tinggi bagi para pengemudi truk."

Bahkan Hendrar Pribadi selaku walikota Semarang mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dimana disebutkan dalam pernyataannya Hendrar soal jalan tol ini disampaikan saat gladi resik silaturahmi Jokowi dengan paguyuban pengusaha Jawa Tengah. Ia mengatakan masyarakat yang yang tidak mendukung Jokowi di Pilpres 2019 tidak boleh menggunakan jalan tol. Hal ini karena hasil kerja keras Jokowi 4 tahun selama memimpin. Sebab itu, Hendrar meminta masyarakat yang tidak mendukung tidak perlu menggunakan jalan tol.

Pernyataan ini sangat tidak etis karena terkesan melampaui batas kewenangannya dengan melarang lewat jalan tol ketika berbeda pilihan di Pilpres 2019.

Infrastruktur jalan tol yang menjadi jargon justru menimbulkan persoalan baru di tengah masyarakat. Tertutupnya warung makanan yang menawarkan kepada para supir truk yang gulung tikar dalam mengais rezeki.

Rezim saat ini yang mengadopsi sistem sekuler kapitalis yang jauh dari mensejahterakan rakyat berbagai infrastruktur dibangun justru hanya menguntungkan bagi kalangan tertentu saja bukan untuk seluruh masyarakat. Karakter sistem neoliberalis yakni tidak tulus dalam berkarya, kasih sayang dan empati ke masyarakat sangat kurang adalah karakter yang paling menonjol.

Berbeda dengan sistem islam berbagai pembanguna infrastruktur di berikan secara tulus dan merata ke seluruh masyarakat. Bukan hanya di wilayah kota saja seharusnya tetapi daerah terpencil terkena imbas kesejahteraan. Seperti tindakan Khalifah umar bin Khattab "seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad karena jalan yang rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah Swt, "Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?".

Sungguh pernyataan yang didasari takut kepada Alloh sehingga ketika memimpin akan bersungguh - sungguh tidak seperti rezim saat ini infrastruktur hanya dipakai untuk alat kampanye bukan sebagai kewajiban dalam mensejahterakan rakyat.

|sukabumi.belajarnulis@gmail.com|

 

Editor : Ardi Yakub

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI