Sukabumi Update

Efektivitas Dakwah dan Pemegang Kunci Surga

Oleh: Didim Dimyati (Anggota Research and Literacy Institute).

Pengetahuan tentang keagamaan tentunya sangat penting. Yaitu untuk mengetahui benar atau tidaknya dalam menjalankan Agama yang dianut, tentang hukum, cara menjalani hidup dst, paling utama adalah kita sampai pada-Nya (wushul). Tentunya ini penting bagi agama manapun. Pengetahuan tentang ke agamaan pada hari ini bisa didapat melalui jalur sekolah, informasi dari bacaan, tontotonan atau pengajian yang disampaikan oleh Ustadz-ustadz dst.

Dakwah yang selama ini kita lihat dan dengar merupakan bentuk penyampaian informasi keagamaan yang kita terima, hari ini pengetahuan tentang keagamaan begitu mudah, ditunjang dengan teknologi yang makin canggih. Seperti para jamaah tidak lagi harus datang kepengajian kalau ada halangan cukup mendengarkan dirumah saja melalui youtube atau live streaming yang disajikan, dan hal-hal yang dibuat begitu mudah bagi masyarakat.

Ada hal yang unik ketika saya ngobrol dengan beberapa masyarakat yang beragama Islam, meskipun hal ini tidak bisa dijadikan sebagai hasil mutlak dari sebuah penelitian tetapi paling tidak bisa menggambarkan, berefek apa tidaknya dakwah hari ini. Wawancara dilakukan pada masyarakat menengah kebawah dari sisi ekonomi dan pendidikan (lihat Ukuran ekonomi atau pendidikan).

Umumnya masyarakat ternyata, ketika ditanya "soal tujuan hidup", menganggap hidupnya untuk bekerja.

Fungsi kerja itu umumnya mereka rumuskan sebagai mencari nafkah. Mencari nafkah, sedikit banyak, dikaitkan dengan pertimbangan antar generasional, untuk kepentingan anak cucu, dan memaknai hidupnya dengan bekerja sampai menunggu mati.

Kecil sekali orang yang menjawab bahwa hidup ini untuk beramal dan mengabdi. Cukup mengejutkan. Bukankah itu berarti kecilnya peranan agama dalam kehidupan?

Kenyataan itu juga wajar, kalau ditafsirkan dari sudut lain perhatian warga masyarakat masih terpusat pada upaya bertahan sekadar hidup.

Harus dimaklumi masih banyak yang berada pada tahap hidup di bawah garis kemiskinan entah itu ekonomi atau pendidikan. Dalam pengamatan lahiriah tampak muncul kebutuhan kepada ritus keagamaan dalam skala massif, seperti terbukti dari digemborkannya "back to mosque".

Tetapi lalu muncul pertanyaan, Apakah 'kebangkitan Islam' yang seperti itu sebenarnya bukan pelarian dari derita hidup atau bisa disebut untuk melupakan persoalan nyata dengan mencari pelepasan spiritual? Masih harus diteliti kembali korelasi antara banyaknya orang ke masjid, dan kesadaran beragama yang memiliki kedalaman Iman serta keterlibatan yang lebih bermakna.

Bukti paling nyata dari sikap memisahkan agama dari hidup, seperti terbukti dari hasil penelitian yang kita bicarakan di sini, adalah tidak bertautnya sama sekali antara moralitas kemasyarakatan kita dan ajaran Agama. Agama mengajarkan kesetiakawanan.

Namun pada nyatanya sebaliknya, masyarakat kita justru terungkap, menunjukan lajunya proses individualisasi, rumah-rumah kian padat namun tak kenal satu sama lain, gotong royong sudah hilang, perbedaan pandangan menyoal Agama semakin kuat akibatnya klaim kebenaran masing-masing juga belum terbuka menghargai pendapat lain. Selanjutnya Kesenjangan semakin besar antara si kaya dan si miskin adalah bukti paling kongkret yang bisa kita lihat dan rasakan hari ini.

Juga masih ditemukan para pendakwah yang belum bisa membaca keadaan kaum yang akan disampaikan pesannya, bahasa yang kurang difahami dan belum bisa disederhanakan merupakan faktor penghambat juga. karena harusnya berbicara kepada jamaah sesuai dengan kemampuan akal mereka. Sebuah pesan yang kedalaman isinya tidak pernah dicoba mengerti secara tuntas oleh para juru dakwah.

Bukankah diktum Nabi itu justru mangharuskan kita meneliti pelapisan masyarakat tempat mereka hidup, untuk memungkinkan penyampaian pesan keagamaan secara tuntas? Bukan dalam bentuk luarnya seperti gaya pidato yang penuh lelucon, yang mampu menyajikan hiburan bagi para jamaahnya. Tetapi dalam bentuknya yang hakiki, membicarakan persoalan kongkret yang sedang dihadapi.

Sekarang terasa kuat sekali, dakwah masih berwatak penciptaan solidaritas di permukaan. Sekadar melecut manusia agar berakhlak pribadi yang terpuji, mengikuti kerangka ritus yang ditetapkan faham masing-masing, dan menjanjikan hadiah surga atau siksa neraka. Ditambah acara-acara seremoni,dakwah dengan cara menakuti ini yang paling banyak ditemukan dan belum efektif pula.

Hasil penelitian melalui pengamatan di atas, tentang sedikitnya warga masyarakat yang menyatakan hidup bertujuan amal dan Ibadah merupakan bentuk dari belum berhasilnya dakwah konvensional atau modern hari ini.

Artinya perlu adanya perbaikan, agar dakwah tidak hanya sekedar gugur kewajiban untuk saling mengingatkan saja lalu tidak dimaknai, atau menjadi bisnis yang menjual kunci Surga dan Neraka, atau guyonan yang tidak ada pesan yang disampaikan, selain ketawa-ketiwi.

Salam literasi

|didimkokexs@gmail.com|didim dimyati

 

Editor : Ardi Yakub

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI