Sukabumi Update

Gerakan di Persimpangan Jalan

Oleh : Oksa Bachtiar Camsyah/ Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Sukabumi 

Jatuhnya rezim orde baru dan bergeser kepada orde reformasi menandakan sebuah babak baru perjalanan bangsa ini akan dimulai. Transisi tersebut menjadi gerbang kebebasan bagi seluruh elemen bangsa ini dalam mengekspresikan rasa dan karsa yang sebelumnya tidak cukup bebas untuk disuarakan.

Reformasi bukanlah sebuah proses yang sekedar mengeluarkan diri dari masa kediktatoran orde baru, namun juga harus membawa satu buah visi, kemanakah selanjutnya bangsa ini akan dimuarakan.

Maka, pada momentum itulah banyak organisasi pergerakan yang mulai berani menunjukkan dirinya kepada publik dan menawarkan berbagai platform perjuangan yang dikemas secara apik, sehingga publik merasa yakin untuk ikut terlibat dalam perjuangannya dengan mengikutsertakan sebuah harapan bersama, mewujudkan cita-cita reformasi dan bahkan cita-cita negara dan bangsa ini.

Ada satu hal menarik ketika hampir semua organisasi pergerakan turut memposisikan publik sebagai basis kekuatan utama dalam perjuangannya. Karena, mereka dan kita semua menyadari bahwa tidak akan pernah ada suatu pergerakan tanpa adanya sumberdaya manusia. Dan publik menjadi basis utama dalam penyediaan sumberdaya manusia tersebut.

Namun, hari-hari ini saya merasakan suatu kondisi yang mungkin sangat tidak seharusnya dirasakan dalam suatu organisasi pergerakan manapun. Ya, sifat elitis para penggerak dalam gerakan apapun itu.

Memang, setiap gerakan pasti memiliki karakteristik dan _culture_ yang berbeda dalam mengelola gerakannya. Namun tidak dengan yang satu ini, bahwa setiap gerakan pasti menjadikan aktivitas keterlibatan di dalam kehidupan masyarakat menjadi salah satu agenda prioritasnya. Yang kemudian kita kenal dengan istilah gerakan kultural.

Maka, rasa untuk terus terlibat dan _aware_ terhadap persoalan masyarakat harus terus dimiliki oleh semua kader dalam gerakan apapun. Karena, apabila kita dan gerakan apapun itu sudah kehilangan gairah akan hal tersebut, maka kita akan mengalami delegitimasi perjuangan.

Sikap elitis dari setiap kader penggerakan harus dimsunahkan secara tuntas sampai ke-akar akarnya. Karena, kita menjadi bagian dari suatu pergerakan atau mungkin kita menjadi tokoh dalam pergerakan tersebut bukanlah untuk dijadikan _barrier_ dengan pergaulan masyarakat.

Jangan sampai, aktivis gerakan apapun itu tidak mengenal siapa saja tetangga rumahnya, atau siapa saja orang-orang yang selalu ada disekeliling kehidupannya. Jangan sampai, aktivis pergerakan manapun tidak mengetahui dan memahami apa permasalahan yang dihadapi di lingkungan Rukun Tetangga atau Desanya. Karena, apabila semua itu terjadi, bagaimana kita semua dapat menawarkan gagasan penyelesaian terhadap permasalahan masyarakat tersebut ?

Entah ini hanya perasaan saya saja atau bukan. Namun, hati saya menggerakan tangan ini untuk menulis hal tersebut. Sebelum semuanya terlambat, dan sebelum masyarakat semakin "ogah" untuk ikut terlibat dalam berbagai tawaran perjuangan yang selama ini diperjuangkan, marilah kita selamatkan gerakan perjuangan kita dari kebingungan di persimpangan jalan ini. Mari kita menjadi manusia populis bukan manusia elitis.

Sukabumi, 2019.

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI