Sukabumi Update

Refleksi Otoritarianisme Menghasilkan Raperda KIP Semu

Oleh : M Tahsin Roy

(Ketua Pegiat Literasy Sukabumi)

Kejenuhan kita pada rezim orde baru kala itu dikarenakan haluan pemerintahannya bercorak otoritarianisme. Rakyat dipaksa untuk tunduk patuh terhadap aturan penguasa yang tak sedikitpun memberi ruang sostifikasi untuk menyuarakan keadilan. Peralihan sistem pemerintahan itu tentu tidak semudah mebalikan telapak tangan, melainkan ditebus dengan darah dan nyawa para pejuang reformasi. Masih terngiang di ingatan kita tentang rentetan peristiwa bersejarah di tahun 1998.

Jika diajukan pertanyaan, apakah kita mau bertahan dengan corak demokrasi seperti hari ini. Atau justru sebaliknya kita kembali pada sistem lama. Tentu kita tidak mengnginkan nya bukan. Karena perbedaannya sungguh nyata dibandingkan era sebelumnya yang ditandai oleh politik yang otoriter, demokratisasi menyediakan harapan dan ruang baru bagi masyarakat untuk berkiprah.Pun demikian dengan kebebasan pers post-Orde Baru terjadi perubahan yang luar biasa, ibarat burung yang dipelihara dalam sangkar kemudian dilepas secara bebas ke alam terbuka, itulah kehidupan pers kita saat ini. Peranan pers dalam masyarakat sesungguhnya sangat besar.

Semakin besar peranannya, berarti semakin maju demokrasi di suatu Negara tersebut.Oleh karena itu, kita mencoba merefleksikan sejarah pada sistem pemerintahan kita hari ini. Dilayar lokal misalnya, peranan pers kita perlahan terbelenggu dengan pembatasan ketat dari pemerintah, ini menunjukkan demokrasi tidak berjalan baik.

Munculnya draf penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) KIP Kabupaten Sukabumi Tahun 2018 misalnya, hal ini juga menunjukkan sistem politik modern dan sistem pemerintahan kita tidak tumbuh di dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena kepentingan elitis individual. Para elite mencoba memutuskan hubungan historisnya dengan rakyat dan mulai berpikir untuk menjadi "Tuan Pembesar".

Saya tidak ingin mengatakan pemerintah yang sekarang otoriter, tapi indikasinya terbaca oleh publik. Saudara, di dalam kultur feodalistik, percakapan politik tidak mungkin berlangsung demokratis. Bukan saja karena ada hirarki kebenaran di dalam diskursus, tetapi bahkan diskursus itu sendiri harus menyesuaikan diri dengan aturan politik feodal.

Oleh sebab itu tanggung jawab warganegara melampaui lintas politik, lintas komunal. Realisasinya memerlukan pemahaman fundamental tentang etika berdemokrasi yaitu bahwa kedaulatan rakyat tidak pernah diberikan pada penguasa. Gamblangnya, kematian demokrasi bisa bermula dari pemimpin politik hasil dari sarana lembaga yang legal. Kemudian, pemimpin itu membajak demokrasi dengan mengubah halauannya bercorak otoritarian.

Sekali lagi argumen ini harus kita ajukan agar pemerintah bisa menimbang-nimbang dampaknya. Terutama mengenai percalonan politik petahana pada Pilkada di Tahun 2020 mendatang. Kutipan saya. "Seribu kali rakyat mengkritisi penguasa, maka seribu kali pula Ia dibenarkan dalam demokrasi. Akan tetapi satu kali saja si penguasa mengintervensi pikiran rakyatnya, maka Ia telah menjadi "pemimpin yang otoriter dan tirani".

|roybarat4@gmail.com|

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI