Sukabumi Update

Pawey Obor: Karnaval Ruang Berkebudayaa

Oleh: Kang Warsa

Bayangkan, saat ini kita sedang berada di tahun1970-an dan mendiami sebuah perkampungan tanpa listrik. Bagaimana suasana malam hari di perkampungan tanpa lampupijar dan neon? Sebagai manusia modern yang telah sangat akrab dengan berbagaimacam lampu, pemandangan eksotik di malam hari akan kita rasakan diperkampungan tahun 70-an. 

Setiap rumah hanya diterangi oleh lampu centir atau petromaks. Di halaman rumah,sebuah obor (B. Sunda:coln)menerangi sekitar, apinya meliuk-liuk tertiup angin. Aroma bau minyak tanah danasap pada obor tercium begitu khas. Kita berangkat ke surau atau ke pengajianbersama anak-anak lainnya membawa obor dan lampu-lampu yang dinyalakan olehminyak tanah, menyusuri jalan setapak dan jalan berbatu.

Malam hari yang tenggelam dalam temaramcahaya lampu itu sangat hening. Sesekali terdengar lolongan suara anjing darikejauhan. Setiap keluarga berkumpul setelah isya di ruang utama rumah panggung.Waktu atau wanci benar-benarmengikuti alur hidup manusia sebab manusia juga benar-benar mengadaptasikandirinya dengan waktu dan wanci dalam tradisi Sunda.

Malam hari terasa merayap lebih lambat. Waktutidak ditentukan oleh suara detak jam dinding dan jarum yang menunjuk padaangka-angka. Waktu benar-benar berjalan secara alamiah saja. Saat purnama tiba,anak-anak bersama orangtua mereka bersenda gurau di halaman rumah sambilmenyanyikan lagu sederhana: bulantok..bulantok..bulan sagede batok! Mereka bermain disirami cahaya dari bulan dan lampu obor.

Keseharian manusia di era sebelum perkampungan dijamah oleh listrik berlindung di bawah temaram cahaya akanmengingatkan kita pada kebiasaan manusia purbakala menghangatkan diri mereka, mengelilingi apidi dalam goa. Mereka tidak sekadar mengahangatkan tubuh, daging-daging mentahyang mereka dapatkan dari hasil perburuan dipanggang di atas api sambiltersenyum-senyum, mengobrol dengan bahasa mereka. Persitiwa ini terjadi pada12.000 tahun lalu saat kehidupan manusia mulai memasuki jaman pertanian.Penemuan api oleh manusia pada jaman ini merupakan hal paling besar.

Sebetulnya, api telah digunakan oleh Neanderthal, spesies manusia yang menempati Eropadaratan terutama Jerman pada 50.000 tahun lalu. Setiap hari mereka berkerumunmengelilingi api untuk menghangatkan tubuh dari cuaca alam sub-tropis yangbeku. Penemuan api oleh Neanderthal diadopsi oleh sapiens penjelajah danpemburu, sebuah pengetahuan baru meskipun dalam pandangan kita sangat sederhanatetapi bagi manusia seperti Neanderthal dan Sapiens, penemuan api merupakan sebuah revolusi besar.

Kebiasaan manusia pada 50.000 hingga 12.000 tahun lalu itu diwariskan oleh mereka hinggagenerasi sekarang, manusia meskipun berbeda jaman dan waktu tetap tidak dapatdipisahkan dari api. Manusia purba memandang api hanya sebagai api, iadinyalakan atau ditemukan untuk menghangatkan tubuh dan memanggang daging.Perkembangan selanjutnya, bagi manusia pasca revolusi agrikultur, api tidakhanya dipandang sebagai sarana penghangat tubuh dan untuk memanggang daging. Dimasyarakat Persia Kuno, tahun 600 SM, api telah dijadikan totem yang harusdisembah. Api diyakini oleh para penganut Zoroaster sebagai media yang dapatmenyucikan dan menempa manusia. Mereka membangun kuil api. Api dibiarkan terus menyala di kuil tersebut.Keyakinan ini pada akhirnya tumbuh juga dalam agama-agama semit, Gehenna danJahannam dilukiskan sebagai gejolak api tempat penyucian manusia-manusiaberdosa.

Dua puluh empat abad setelah api dipindahkan dari goa ke kuil, pada tahun 1840,seorang fisikawan Inggris James Presscot Joule memindahkan api ke dalamlaboratorium pribadinya dan memerasnya menjadi - apa yang kita sebut energi panas atau kalor. Panas diteliti,empat tahun kemudian dia merumuskan hukum kekekalan energi, sebuah hukumpertama dalam termodinamika: energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan.

Transformasi Budaya

Penyambutan tahun baru hijriyah 1441 “jika saya bandingkan dengan beberapa tahun lalu“dapat dikatakan lebih meriah. Baik di masyarakat atau di pemerintahan.Penyambutannya bukan sekadar diisi oleh kegiatan keagamaan, juga dilakukanbeberapa kegiatan dengan format kebudayaan seperti paway Obor. Beberapa tahunsebelumnya, paway obor memang telah sering dilakukan oleh masyarakat terutamadi waktu malam takbiran. Tetapi akhir-akhir ini, kegiatan paway obor juga mulaidilakukan oleh pemerintah “ khususnya di Kota Sukabumi.

Apakah kegiatan semacam ini merupakan tradisi yang pernah berkembang di masyarakatSunda? Menjawab pertanyaan ini tentu saja masing-masing orang akan memilikipandangan berbeda. Jika melihat tradisi yang berkembang di masyarakat Sunda,paway obor tidak pernah dilakukan olehmasyarakat Sunda dalam menyambut hari-hari besar.

Walakin, masyarakat Sunda “sebelum listrik menjadi sumber energi utama“ telahmenggunakan obor sebagai alat penerang di malam hari, seperti telah sayasebutkan pada awal tulisan. Paway obordalam menyambut kedatangan hari-hari besar baik keagamaan atau kenegaraan dankebangsaan merupakan bentuk transformasi kebudayaan yang dikembangkan olehmasyarakat milenial dari tradisi pemakaian obor yang pernah dialami olehmasyarakat perkampungan.

Apakah kegiatan paway obor merupakan hal penting dan sebuah keharusan bagi manusiamilenial? Jika paway obor dikatakan sebagai bentuk tranformasi kebudayaan makahal ini menjadi penting dan harusdilakukan oleh manusia milenial. Penyelenggaraan paway obor dapat menciptakansebuah karnaval ruang berkebudayaan. Manusia modern sangat memerlukan ruangberkebudayaan ini.

Kelahiran  sebuah karnaval ruang berkebudayaan dapat membentuk khazanah baru tradisi.Lambat laun jika hal ini secara telaten dilakukan dapat menjadi pemantikkelahiran tranformasi kebudayaan lainnya. Bagi manusia milenial, sebuahkarnaval yang dapat menciptakan ruang merupakan hal urgen karena  - sebagai contoh paway obor “di dalampelaksanaannya tidak akan terpengaruh oleh muatan politis yang syarat dengankepentingan. Ia hanya akan melahirkan kemeriahan dan kesukacitaan. Dalam acara paway obor, orang-orang berteriak dan bersorak tanpa menyinggung perasaan siapapun.

Dapat kita bandingkan antara paway obor yang mewujud menjadi sebuah karnaval ruangberkebudayaan dengan demonstrasiatau unjuk rasa hingga berjilid-jilid. Harus diakui, unjuk rasa yang dilakukanoleh sekelompok manusia merupakan hak siapa pun tetapi unjuk rasa ataudemonstrasi sama sekali tidak akan menciptakan sebuah ruang berkebudayaan.

Demonstrasi hanya menciptakan sebuah wadah, orang-orang dipaksa memasuki wadah tersebut,berjejal-jejal, penuh luapan antara semangat dan emosi, teriakan hingga umpatan bergumul menjadi satu, sebuahwadah keberingasan. Wadah tersebut diciptakan oleh sebuah mesin yang penuhdengan kepentingan entah sektarian atau bagi kelompok tertentu. Wadah yangdapat memisahkan satu kelompok orang dengan kelompok lain yang tidak sejalanbaik pikiran juga pendapatnya.

Pada akhirnya karnaval ruang berkebudayaan melalui paway obor ini tidak hanyadiselenggarakan saat menyambut hari besar umat Islam saja. Sebagai sebuahruang, paway obor dapat diselenggarakan dan diikuti oleh siapa saja, olehsetiap penganut agama dan keyakinan. paway obor telah mewujud sebagai ruangyang dapat diisi oleh manusia dari berbagai latar belakang. Paway obor dancahaya serta kehangatan yang diciptakannya “sebagaimana yang dikatakan ThomasPresscot Joule“ merupakan energi hanya dapat dipindahkan dari satu bentuk kebentuk lainnya dapat terbukti dalam kehidupan.

Di era revolusi industri 4.0, transformasi tradisi dan budaya merupaka aset besaryang dimiliki oleh bangsa ini. Ketika telah ditransformasi, obor tidak hanyadinyalakan pada malam hari dan digunakan untuk acara paway obor saja. Ia akanbertransformasi dalam bentuk tradisi dan budaya pemersatu bangsa. Kita harusmengakui dengan jujur, saat ini kata persatuan begitu sangat mudah diucapkannamun kita masih mengalami kesulitan untuk bersatu.

|warsaway@gmail.com|

Editor : Yusuf

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI