Sukabumi Update

Isra Mi’raj dan Globalisasi Corona

Oleh : Syaefudin Simon (Independent Journalist)

Tuhan pulang ke rumah! Itulah kalimat majazi yang pas untuk  menggambarkan situasi Indonesia menghadapi pandemi virus corona (Covid-19) saat ini.

Betapa tidak! Di negeri relijius seperti  Indonesia tetiba masjid, langgar, gereja, vihara, candi, dan tempat peribadatan umat beragama lain sepi. Para pemimpin agama yang ada di  Indonesia sepakat: keselamatan jiwa lebih penting dari salat Jumat di masjid, salat berjamaah di musala ibadah di gereja, berdoa di vihara, bersemedi di candi dan lainnya.

Mereka umat beragama di Indonesia mengikuti anjuran pemerintah untuk menjauhi tempat-tempat  keramaian guna mencegah sebaran virus corona. Semua rakyat Indonesia atas anjuran pemerintah untuk meminimalisir pergerakan virus corona meninggalkan tempat-tempat ritual yang selama ini dianggap “rumah  Tuhan”.  

Para pemuka agama kini ramai-ramai menyampaikan pelajaran agama lebih mendalam: “Bahwa rumah Tuhan tidak hanya di masjid, gereja, vihara, dan pura. Tapi juga di setiap jengkal bumi. Di setiap arah mata angin. Tuhan tidak di barat, tidak di timur, tidak di Utara, tidak di Selatan. Tapi Tuhan ada di hati setiap manusia. Syaikh Jalaludin Rumi menyatakan dalam puisinya: Tak ada tempat yang mampu menampung Kebesaran Tuhan, kecuali hati manusia.  

Itulah sebabnya, ketika Covid-19 menjadi pandemi yang menakutkan, umat beragama melakukan ibadah di rumah. Tuhan kini ada di rumah masing-masing setiap manusia. Karena di rumah itulah, manusia berada. Rumah manusia bukan sekadar tempat manusia berteduh. Tapi juga tempat manusia meneguhkan eksistensinya secara utuh.

Pandemi Covid-19 memberi pelajaran kepada bangsa Indonesia bahwa kehidupan lebih penting  dari apa pun. Lebih penting dari simbol-simbol agama. Lebih penting dari simbol kesukuan. Lebih penting dari simbol  warna kulit. Kenapa? Nabiyullah Muhammad diturunkan Allah untuk menjadi “rahmat” bagi seluruh alam.

Rahmat adalah unconditional love. Cinta tanpa pretensi, Cinta tanpa syarat, Cinta altruis, Cinta demi cinta itu sendiri. Itulah sebabnya rahmat adalah gambaran sifat Sang Pecinta Yang Maha  Cinta. Dengan sifat RahmatNya Allah menciptakan alam semesta. Selanjutnya, Allah menurunkan Muhammad juga Rasul-Rasul sebelumnya untuk menyempurnakan RahmatNYA.

Siapa itu Muhammad? Muhammad bukan hanya sosok putra Abdullah. Tapi juga  manifestasi pribadi mulia, jujur, amanah, tabligh, dan fathanah. Setiap  manusia, jika hidupnya mengikuti kriteria sifat-sifat tersebut, maka ia adalah Muhammad.

Emha Ainun Najib dalam sebuah bait puisinya minta kepada Tuhan:

Muhammadkan hamba Ya Rabbi Muhammadkan 

Di rumah, di tempat kerja serta di perjalanan

Agar setiap ucapan, keputusan dan gerakan

Menjadi ayat-Mu yang indah dan menaburkan keindahan

Manusia adalah ciptaan Allah terindah dan termulia. Manusia adalah ciptaan Allah satu-satunya yang diberi mandat sebagai khalifah di muka bumi.  Demikian berharganya nilai manusia, sehingga Tuhan tidak melihat manusia dalam hitungan parsil. Tapi dalam satu kesatuan. Dalam surah Surat Al Maidah 32, Allah mengumumkan:  Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”

Itulah cinta Allah kepada manusia. Jika pun Allah menindak tegas manusia yang membunuh manusia lain yang tanpa salah, itu pun dalam rangka menyelamatkan manusia secara keseluruhan. Dalam perspektif ini, ketika seseorang menyelamatkan satu orang saja dari  terjangan corona sehingga ia bisa survive, nilainya di mata Allah sama dengan menyelamatkan seluruh umat manusia.

Saat ini, di seluruh  dunia, Tuhan tengah “meguji” manusia, apakah mampu bersatu melawan virus  corona. Selama ini yang terlihat, manusia lebih menonjolkan keegoannya ketimbang ketauhidannya. Benar apa kata tarekat Daudiyah, bahwa Tauhid bukan semata Keesaan Tuhan. Tapi juga Keesaan Kemanusiaan.

Agama mengggambarkan Adam sebagai bapak seluruh umat manusia. Bapak dari satu kemanusiaan. Konsekwensiya, adalah manusia harus menghormati semua umat manusia tanpa reserve, karena semua manusia adalah bersaudara.

Dalam menghadapi pandemi corona, kini manusia tengah diuji apakah mampu merealisasikan persaudaraan dan satu kemanusiaan itu. Dalam hadist Qudsi Allah menyatakan, AKU bersama orang yang sakit, orang yang  kelaparan, dan orang  yang terpinggirkan. Para penderita corona; juga  paramedis dan dokter yang menangani wabah corona; serta relawan yang  membantu pencegahan dan pengobatan corona mereka sesungguhnya tidak hanya bekerja dalam dimensi kemanusiaan, tapi juga  keilahian.

Perjalanan Isra Mi’raj dari Masjidil Haram Mekah ke Masjidil Aqsa Palestina; lalu dari Masjid Aqsa  ke Sidratul Muntaha digambarkan sebagai satu kasatuan. Gambaran tersebut merupakan simbolisme bahwa bumi dan langit adalah satu kesatuan. Secara astronomis planet bumi  adalah satu noktah kecil dari benda-benda angkasa di universe yang jumlahnya berdimensi trilyun trilyunan dengan luas berdimensi jutaan tahun cahaya.

Sekarang bayangkan apa yang dinyatakan Sayyidina Ali: jika seseorang mengurangi timbangan di pasar, itu sama artinya dengan merobohkan langit. Dalam bahasa Isac Newton, siapa pun yang merusak timbangan, sama artinya menghancurkan parameter gravitasi. Jika gravitasi di jagad raya dikorupsi, maka hancurlah seluruh alam semesta.

Itulah makna perjalanan darat dan langit dari Isra Mi’raj. Itu pula di balik makna kehadiran pandemi corona.

Globalissasi virus, globalisasi penyakit, gobalisasi manipulasi, globalisasi kerusakan hutan, dan globalisasi polusi menjadikan virus corona yang diam, kemudian bangkit. Karena lingkungan hidupnya rusak.  Keberadaannya dalam “kepompong yang nyaman” di perut kelelawar dan  binatang liar tertentu, terusik keserakahan dan keangkaramurkaan manusia. Itulah sebabnya, road map pencegahan corona, tidak cukup dengan  pendekatan fisik dan medical tapi juga pendekatan jiwa dan spiritual.

Di Tegalgubug Lor, Arjawinangun, Cirebon seperti ditayangkan SCTV ada arak-arakan warga desa membaca salawat thoun. Yaitu salawat  untuk meminta penghentian penularan wabah dan penyakit kepada Allah. Arak-arakan salawat thoun itu adalah upaya menghambat penularan corona secara spiritual. Sementara secara fisikal jauhi keramaian, hati-hati  kontak badan, dan perkuat  kesehatan. Tanpa gabungan keduanya, niscaya tak banyak artinya dalam upaya pecegahan wabah corona. Karena virus corona sebagaimana ciptaan Tuhan yang lain adalah makhluk fisikal dan spiritual.

Editor : Muhammad Gumilang Gumilang

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI