Sukabumi Update

Kondisi Pendidikan di Tengah-tengah Covid-19, Sangat Menguntungkan Borjuis

Oleh: Rizqi Tauoiq Hidayat

Kita semua mengetahui bahwa pendidikan diciptakan sebagai usaha untuk mencerdasakan kehidupan bangsa, sesuai apa yang terkandung dalam pembukaan UUD 45. Namun yang kadang-kadang sering terlintas dipikran kita apakah konsepsi seperti itu sudah benar-benar dilaksanakan dalam konteks realitas yang terajdi pada saat ini didunia pendidikan dan dalam kondisi adanya coronavirus disease 2019 (Covid-19).

Dihari pendidikan Nasional ini, saya ingin memberikan pandangan saya tentang kondisi pendidikan kita ditengan wabah ini. 

Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian.

Secara kelembagaan atau secara formal pendidikan di indonesia dimulai sejak kemunculan politik etis yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda pada saat tahun 1902, yaitu sebagai politik balas budi kepada rakyat indonesia. Dimana politik etis sendiri terdiri dari tiga program dasar yaitu berupa irigasi, imigrasi dan juga edukasi. Dari poltik etis ini pulalah yang pada akhirnya menajdi awal bagi kemunculan pergerakan kaum muda yang terdidik yang berasal dari beberapa kaum muda yang telah merasakan pendidikan tinggi diluar negeri, seperti  Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan lain sebagainya. Tapi kita bukan sedang membahas itu, masalah kita sekarang dan menjadi pertanyaan. Apakah pendidikan yang diberikan pemerintah sudah relevan dengan keadaan sekarang?

Dalam hal ini, pemerintah sudah mengambil langka-langka dalam penanganan dan pencegahan covid-19 di Indonesia.

Internet sangat membantu dalam hal ini. Namun dalam dunia pendidikan beda halnya.

Era neoliberalisme yang selama ini menjadikan pendidikan sebagai komoditi bisnis pun kabarnya sedang diambang keruntuhan. Lihat saja, kebijakan pembatasan sosial (social distance) di Indonesia mengharuskan para pelajar hingga mahasiswa untuk tidak datang ke sekolah. Mulai bermunculan nada-nada protes untuk pengembalian SPP/UKT, penghapusan UN (pada akhirnya dikabulkan), penghapusan Skripsi, dsb. Selama ini, SPP/UKT, UN dan Skripsi menjadi wujud nyata dari komersialisasi di sektor pendidikan.

Namun, ditengah wabah virus Corona ini nyatanya praktik pendidikan di Indonesia tak juga menyenangkan. KBM hanya sekedar dipindahkan dari yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka di kelas nyata, sekarang bertatap muka via gawai di kelas maya dengan jumlah murid yang sama.

Banyak keluhan dari mahasiswa, yang sudah membayar SPP/UKT. namun tak bisa merasakan fasilitas kampus. Banyak protes diajukan di kampus-kampus agar anggaran SPP yang sudah dikeluarkan diAlokasikan untuk membeli kuota internet. Namun banyak yang mengajukan tapi ditolak.

Belum lagi tenaga honorer yang tidak dibayarkan gajinya disekolah, karna alasan hanay guru tetap yang dibayarkan gajinya. Sungguh ini masalah baru ditengan Pendidikan Indonesia.

Apa lagi persoalan inprastruktur dan listrik yang berbeda diberbagai daerah dan bahkan ada daerah yang tak memiliki jaringan internet yang membuat mahasiswa maupun siswa ditempat itu, tak bisa mengikuti proses belajar online. Ketika ini tidak diselesaikan dengan segera maka ketimpangan kualitas pendidikan akan semakin tinggi dan liberalisasi di sektor pendidikan semakin ugal-ugalan.

Ketika Mendikbud menerbitkan Surat Edaran tentang Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari Rumah untuk Mencegah Penyebaran Covid-19 kemarin saja, coba pikirkan bagaimana ekspresi kebingungan yang tampak dari saudara-saudara kita di ujung Papua sana? Atau bagaimana dengan mereka yang berada di pedalaman Sumatera dan Kalimantan, yang listrik pun jarang hidup apalagi internet? Kenapa didalam Surat Edaran tersebut.

tidak menyinggung sedikitpun tentang alternatif pembelajaran seperti apa yang dapat mereka lakukan ditengah wabah ini?

Kondisi semacam ini jelas tidak menguntungkan kita smaa sekali. Justru disatu sisi para borjuis sedang berpesta karna pundi-pundi uangnya bertambah.

Forbes mencatat ada 178 orang yang kini menjadi miliarder akibat pandemi ini. Salah satunya adalah Eric Yuan, pendiri aplikasi telekonferensi Zoom Video Communications.

Saya akan menyebut yang selanjut ini adalah kemerdekaan berpendidikan

Dalam kondisi semacam ini, sebenarnya bisa menjadi momentum untuk mewujudkan cita-cita "semua orang itu guru, alam raya sekolahku". Seperti yang dinyayikam para musisi maupun pendidik berhaluan sosialis. Dengan daring seharunya pendidikan bisa diakses semua lapisan masyarkat dari tatana sosial yang berbeda. Bayangkan, anak petani, anak tukang becak, anak pemulung, anak pengamen, semuanya bisa mengakses pendidikan dari para guru dan tenaga pendidik profesional secara bebas selagi mereka punya gawai dan terhubung jaringan internet.

Dari situ yakin dan percaya, nantinya kita bisa mencetak generasi bangsa yang mencerdaskan. Dan menjadi penerus bangsa yang dapat bersaing dengan negara lain. Setidaknya dapat menjadi tongak dalam pembangunan ekonomi secara mandiri.

Kuliah/Sekolah Online karena Corona seharusnya bisa merealisasikan konsep Merdeka Belajar secara seutuhnya. Gagasan untuk mewujudkan sistem pendidikan nasional yang demokratis dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia akan menemukan titik terangnya.

Nantinya dalam konsep merdeka belajar akan termuat tiga unsur, yakni "gratis, ilmiah, dan demokratis (tidak diskriminatif)".

Konsep yang telah disusun pemerintah kedepannya memang terlihat akan memerdekakan proses berpikir, para siswa senang karena UN dihapuskan. Namun konsep itu bukanlah merdeka belajar dalam mengenyam pendidikan. Tetap saja orang miskin dilarang sekolah.

Apa bila secara konvensional pendidikan hanya bisa diakses segelintir orang dibangku pendidikan. Dengan sistem daring seharusnya semua lapisan anak bangsa bisa mengakses pendidikan tanpa diskriminasi. Inilah konsep pendidikan yang dicita-citakan kau tertindas.

|rtaupiq899@gmail.com|netizen

Editor : Budiono

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI