Sukabumi Update

Miskonsepsi Calistung pada Pembelajaran Pra Sekolah Anak Usia Dini

Eli Maymunah, S.Ag., M.Pd.

Pendidikan saat ini dikenal dengan istilah pendidikan abad 21, pendidikan 4.0 atau pendidikan pada generasi Z. Seiring dengan adanya pandemi, kemajuan teknologi dan IT semakin berkembang, Begitu juga dengan penggunaannya didunia pendidikan. Setiap anak yang lahir diibaratkan sebagai sebuah kertas kosong sehingga keluarga, lingkungan dan sekolah adalah pengisi coretan dikertas tersebut. 

Keluarga adalah  lingkungan pertama bagi anak, usia 0-5 tahun  otak dan fisik berkembang dengan pesat. Sifat dan karakter yang diserap dan ditiru oleh anak tentu akan sesuai dengn perilaku dan karakter anggota keluarga. Perlakuan orang yang lebih besar kepada anak baik orangtua atau anggota keluarga lainnya akan mewarnai perilakunya. Ketika anak mulai mengenal dunia luar yaitu dilingkungan sekitar atau bermain dengan temannya maka karakter ini kemudian menjadi ciri khas anak tersebut. Setelah anak memasuki bangku sekolah maka bertambah pula karakter yang ditemuinya. Pada kenyataannya bahwa sekolah pada awalnya adalah tempat untuk menyesuaikan diri, bergabung dan bertenggang rasa dengan teman kemudian akan dipelajari oleh anak dan mungkin juga oleh orangtua. Perasaan aman, nyaman dan ego ketika bersama dengan keluarga ternyata tidak ditemukan ketika bersama teman. Perasaan tersebut berubah menjadi rasa senang dan belajar menekan ego dan bertenggang rasa dalam pergaulannya.

Saat ini banyak sekali pendidikan pra sekolah yang menawarkan berbagai keahlian dengan fasilitas yang menunjang.  Sekolah bagi anak usia mulai 0 tahun sudah menyebar keseluruh penjuru dan pelosok tanah air. Sebagai orangtua tentu berhak untuk memilih sekolah mana yang akan digunakan untuk menggali potensi dan juga kemampuan buah hati. Pendidikan anak usia dini yang tersebar tersebut ada yang merupakan pendidikan formal seperti sekolah TK atau RA dan yang non formal yaitu  seperti Kelompok Bermain, Penitipan anak dan masih banyak lagi yang secara luas sering dikenal sebagai PAUD. Semua lembaga diatas bertujuan untuk mempersiapkan anak sebelum belajar kesekolah dengan jenjang lebih tinggi pada bidang sosial, emosional, fisik dan kognitif.

Majunya perkembangan teknologi membawa pengaruh kepada cara berpikir orangtua. Pada awal tahun 2000 tidak semua keluarga mengirimkan anaknya untuk bersekolah ke pendidikan pra sekolah. Seiring perkembangannnya pada saat ini hampir setiap rumah tanggga membawa anak-anak balitanya untuk mendapatkan pendidikan pra sekolah baik formal ataupun non formal. Rata-rata 8 dari 10 orang tua yang ditanya tentang motivasinya  menyekolahkan anak-anaknya ke pendidikan pra sekolah adalah agar anak bisa membaca dan menulis sedini mungkin. Bahkan jika anak sulit membaca dan menulis selain sekolah anak tersebut juga diberi tambahan pelajaran atau les privat calistung yaitu membaca, menulis dan berhitung.

Menurut pakar psikologi pendidikan anak yaitu Elli Risman menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini harus dipersiapkan dan menjadi tanggung jawab orangtuanya akan tetapi tidak setiap orangtua merasa sanggup untuk mendidik buah hatinya. Sehingga mereka lebih memilih menitipkan anak kepada lembaga atau sekolah. Disinilah kemudian orangtua mulai memilih sekolah yang sesuai keinginan orangtua, bukan sesuai dengan kebutuhan anak.

Pemberian materi calistung kepada anak-anak pra sekolah sebaiknya ditinjau kembali sebab hal ini bisa menimbulkan mental hectic pada anak. Apakah mental hectic itu ? dalam bahasa psikologi bahwa mental hectic adalah kondisi ketidakseimbangan seseorang dikarenakan adanya tekanan dan tuntutan yang ditujukan untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan .  Hal ini bisa terjadi bukan hanya ketika anak tersebut dalam usia anak-anak, akan tetapi mental hectic secara jangka panjang dapat menyerang seseorang bahkan ketika ia telah dewasa. Apa yang diserang oleh mental hectic ? yaitu bahwa dalam kehidupannya seseorang ini kemudian akan merasa bingung, stress, depresi atau terintimidasi yang akan mengakibatkan adanya tindakan-tindakan pada penderitanya seperti tidak patuh, pemberontak dan mengabaikan lingkungannya. Kadang-kadang tanpa kita sadari  hal seperti ini kemudian secara luas kita sebut sebagai kenakalan anak.

Kenapa orangtua menginginkan anaknya dapat belajar calistung sedini mungkin ? sebagian jawaban orangtua adalah bahwa ketika memasuki pembelajaran di jenjang  Sekolah dasar maka anak kelas 1 SD sudah disuguhkan tentang cerita sederhana, menulis nama-nama organ tubuh dan berhitung. Ada juga yang menjawab bahwa anak yang tidak sekolah TK atau PAUD sebelum SD maka anaknya akan dipisahkan dengan yang pernah sekolah di lembaga tersebut sehingga hal ini memacu orangtua untuk menyamakan pendidikan anaknya. Guru Sekolah Dasar sudah tidak lagi mengajar  cara mengenal huruf dan angka sehingga siswa menjadi beban bagi orangtua dalam mengejar ketertinggalannya. 

Dalam menghadapi keinginan orangtua agar anak mampu menulis, membaca dan berhitung sedini mungkin maka orang tua akan memilih pendidikan pra sekolah yang gurunya mengajarkan calistung sehingga ketika anak masuk Sekolah Dasar sudah dapat menyelesaikan lembar kerja yang telah disajikan oleh guru. Hal ini dianggap cukup membantu orangtua terutama Ibu.  Maka dengan sendirinya sekolah yang hanya bermain dan tidak mengajarkan calistung tidak akan diminati oleh masyarakat. Dalam hal ini tuntutan kurikulum di sekolah dasar juga menjadi kebijakan orangtua mengapa mengambil keputusan untuk putra-putrinya.

Dimasa pandemi ini keluhan belajar sudah bukan hal yang aneh lagi. Dengan alasan kesibukan orangtua, anak yang membutuhkan bimbingan bahkan sebagian orangtua mengeluhkan bahwa tidak memahami atau mengerti tentang materi yang harus dikerjakan anaknya. Tujuan pembelajaran di masa pandemi menjadikan alasan bahwa belajar itu harus tuntas, yaitu tuntas mengerjakan tugas, tidak terkecuali pada pendidikan pra sekolah yang menerapkan  pembelajaran daring yaitu dengan mengerjakan tugas. Jika tugas dikerjakan maka selesai atau tuntas, jika tugas tidak dikerjakan maka anak tersebut tidak tuntas. Sungguh suatu konsep dengan penerapan yang salah tapi merata dalam pelaksanaannnya. Kurangnya literasi pada pihak guru dan juga kemampuan SDM dalam mengelola pembelajaran daring sebagian guru tidak membuat mereka belajar ataupun menambah wawasan pengetahuan bagaimana mengajar secara daring yang benar.

Ajakan menteri pendidikan untuk merdeka belajar, merdeka mengajar atau lebih lanjut lagi adalah adanya kampus merdeka secara konsep sangat bagus dan menjadi target guru dan siswa dalam belajar mengajar. Akan tetapi dalam kenyataannya di lapangan maka dilaksanakan sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia yang ada didalamnya yaitu guru. Tidak setiap guru suka rela untuk mengikuti bimbingan teknis mengenai pembelajaran yang disediakan oleh pemerintah seperti misalnya SIMPKB, karena pada kenyataannya gurupun masih berkutat dengan kebutuhan primernya yaitu sandang, pangan  dan papan. Sarana prasarana guru yang masih terbatas tentu menjadi kendala utama. Lingkaran antara pemerintah dengan produknya kurikulum, dilaksanakan oleh guru dengan unjuk kerjanya dilapangan atau sekolah, orangtua sebagai pengambil kebijakan bagi anaknya dalam memutuskan pendidikan semuanya belum sinkron dengan tujuan utama pendidikan itu sendiri. Kemudian tugas siapa untuk membuat semua komponen tersebut saling berhubungan ?

Penulis: Eli Maymunah, S.Ag., M.Pd

Editor : Oksa Bachtiar Camsyah

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI