Sukabumi Update

Sejarah Mudik di Sukabumi: Masyhur Zaman Belanda, Kini Hilang karena Corona

SUKABUMIUPDATE.com - Keputusan pemerintah meniadakan mudik lebaran Idul Fitri 1442 Hijriah menuai polemik. Kebijakan tersebut mendapat penolakan dari sejumlah masyarakat. Namun memutus penyebaran Covid-19 atau Virus Corona, menjadi dalih ditetapkannya keputusan itu. Di Sukabumi sendiri mudik bukanlah fenomena baru.

Sejak dahulu, Sukabumi memiliki diaspora yang relatif banyak di luar kota, provinsi, bahkan luar negeri. Situasi tersebut menyebabkan mudik menjadi fenomena sosio-kultural sekaligus semacam ritual wajib bagi warga Sukabumi di perantauan.

Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan pada masa kolonial, ada ungkapan berbahasa Belanda yang berbunyi "Wees voor zichtig met Soekaboemi, Wnt An Klaene A Komtvan Soekaboemi, wordt angrote A in Bandoeng. Artinya, kata Irman, hati-hati dengan Sukabumi, sebab A kecil yang datang dari Sukabumi bisa menjadi A besar di Bandung.

"Ungkapan orang-orang Belanda itu menunjukkan bahwa orang Sukabumi yang merantau ke kota besar seperti Bandung, Batavia, dan lain-lain, rata-rata berhasil dan harus diwaspadai," kata Irman kepada sukabumiupdate.com, Senin, 3 Mei 2021.

Irman yang juga penulis buku Soekaboemi the Untold Story menuturkan orang-orang Belanda menyebut Sukabumi sebagai Nizza Van Java, dikonotasikan dengan salah satu kota di Prancis yang terkenal dengan produksi anggurnya.

"Seolah Sukabumi memabukkan dan bikin mabuk kepayang, sehingga orang senang kembali ke Sukabumi," ujar Irman yang kini aktif sebagai Kepala Riset dan Kesejarahan Soekaboemi Heritages. Kota Sukabumi sering pula disebut sebagai kota pensiunan alias kota tempat kembali di masa tua.

Fenomena mudik semakin marak pada tahun 1970-an. Ini disebabkan gencarnya pembangunan di wilayah perkotaan pada masa awal pemerintahan orde baru. Pembangunan tersebut memunculkan industri padat karya yang memerlukan karyawan dalam jumlah banyak.

Irman berujar saat itu orang-orang desa banyak yang bekerja di kota. Sementara warga kota juga banyak yang mengadu nasib di kota yang lebih besar, bahkan hingga ke ibu kota. Kondisi tersebut mengakibatkan banyaknya warga yang merantau ke kota lain seperti Bandung dan Jakarta.

"Sementara sebagian yang bekerja di sektor formal juga terkadang ditempatkan di luar provinsi. Mereka ada yang mengontrak rumah atau indekos, bahkan ada yang kemudian tinggal dan menikah di perantauan," katanya.

Situasi seperti itu kerap menimbulkan suasana rindu ke kampung halaman dan memicu hasrat untuk pulang kampung. Waktu yang tepat untuk pulang kampung atau mudik adalah saat hari raya keagamaan seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Idul Fitri seolah menjadi waktu wajib untuk pulang kampung, di mana warga perantauan bisa melepas rindu dengan sanak saudaranya.

"Bahkan tak jarang menjadi ajang memamerkan kesuksesannya di perantaun. Kebiasaan unik saat hari raya di lembur adalah nguyang, yaitu kebiasaan memberikan sesuatu (biasanya palawija) dengan ungkapan basa basi hatur lumayan," ujar Irman. "Sebagai balasan, si penerima juga memberikan sesuatu yang nilainya lebih besar. Kebiasaan saling berkirim ini masih dilanjutkan di beberapa tempat di Sukabumi."

Irman mengatakan kebiasaan tersebut sedikit berbeda dengan fenomena mudik di masa kerajaan Padjadjaran, misalnya. Sebab, ketika perayaan hari keagamaan saat itu, orang-orang Sukabumi justru yang berbondong-bondong ke Pakuan (Bogor) untuk mengikuti ritual hari raya keagamaan.

Menurut keterangan beberapa penduduk di Cibadak dan Ubrug, sambung Irman, Cicatih adalah jalur para para peziarah dari Muara Ratu (Palabuhanratu) ke Pakuan.

Mereka ngabugbrug (berkumpul) di sekitar Ubrug sekarang, sebagai jalur transit, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Pakuan. "Sesudah mengikuti kegiatan ritual di Pakuan kemudian para peziarah itu pulang kampung ke desa-desa di Sukabumi," ujarnya.

Ada istilah bengkung ngariung bengkok ngaronyok yang menunjukkan kekeluargaan yang kuat pada masyarakat Sunda, termasuk Sukabumi.

Hal itu merepresentasikan keterikatan yang kuat dengan tanah kelahirannya tanah tumpah darahnya. "Maka tak heran ke mana pun mencari nafkah, orang Sunda tetap mempunyai keinginan untuk dikuburkan di tanah sendiri. Ibarat filosofi hidup, di mana suatu saat pasti akan mencari jalan pulang untuk kembali kepada Yang Maha Kuasa," jelasnya.

photoSejumlah orang sedang mudik - (Istimewa via CNN)

Larangan Mudik dan Rindu yang Tak Terbalaskan

Tahun ini pemerintah resmi menetapkan kebijakan pengetatan dan peniadaan mudik lebaran Idul Fitri 2021. Aturan ini berlaku mulai 22 April hingga 24 Mei. Ketentuan tersebut dibagi dalam tiga tahap: pra-mudik, mudik, dan pasca-mudik.

Tahap pertama alias pra-mudik ini berlaku mulai 22 April hingga 5 Mei 2021 (pengetatan pertama). Di periode tersebut semua orang masih bisa tetap mudik ke kampung halaman. Namun ada sejumlah persyaratan yang harus dibawa seperti hasil negatif polymerase chain reaction alias PCR atau rapid test antigen maksimal 24 jam. Bisa pula hasil negatif Genose C-19 sebelum keberangkatan.

Dalam tahap kedua alias peniadaan mudik, yakni periode 6 hingga 17 Mei 2021, masyarakat sama sekali tidak boleh mudik ke kampung halaman. Tetapi ada beberapa yang dikecualikan seperti keperluan dinas, kunjungan keluarga sakit atau meninggal dunia, dan ibu hamil atau kepentingan persalinan.

Meski sebagian orang tersebut masih bisa mudik, namun dokumen yang harus mereka bawa lebih ketat. Contohnya, mereka harus negatif tes reverse-transcriptase polymerase chain reaction alias RT-PCR atau rapid test antigen maksimal 2 x 24 jam. Sementara hasil negatif Genose C-19 cukup dibawa sebelum keberangkatan.

Tahap ketiga alias pasca-mudik, periode 18 hingga 24 Mei 2021 (pengetatan kedua), masyarakat bisa kembali mudik karena tidak ada pengecualian lagi. Syarat dokumen kesehatannya pun sama dengan pengetatan pertama. Dokumennya yaitu hasil negatif tes PCR atau rapid test antigen maksimal 1 x 24 jam. Termasuk hasil negatif tes Genose C-19.

Jika menilik sejarah Indonesia, sebenarnya umat Islam negeri ini tidaklah selalu bisa mudik ke kampung halamannya, seperti tahun ini. Salah satunya pada masa awal pasca-kemerdekaan, di mana ketika itu Muslim Indonesia merayakan Idul Fitri yang jatuh pada Rabu, 28 Agustus 1946.

Saat itu mudik telah menjadi tradisi meski belum segencar dekade 1970-an ketika urbanisasi besar-besaran mulai terjadi di Indonesia. Pada 1946 itu, beberapa kota di Indonesia telah cukup besar dan menarik banyak orang, terutama pelajar, pedagang, dan pencari kerja dari luar kota bahkan luar pulau Jawa.

Dikutip dari Historia, Suasana politik di Indonesia sedang tidak stabil karena menghadapi banyak kesulitan. Belanda dan Inggris menguasai kota-kota penting di Jawa. Di beberapa tempat, perayaan hari ulang tahun pertama kemerdekaan Indonesia yang berlangsung sebelas hari sebelum lebaran tahun 1946 pun dilakukan sangat sederhana.

Keretakan juga sedang terjadi di tubuh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Hal itu tampak dalam krisis politik 3 Juli 1946 di Yogyakarta saat kelompok oposisi yang berafiliasi dengan Tan Malaka melancarkan percobaan kudeta terhadap pemerintahan Perdana Menteri Sjahrir dan adanya Konferensi Malino (16-25 Juli 1946) yang diselenggarakan Belanda untuk menarik dukungan para raja lokal di Indonesia Timur.

Terdapat berbagai situasi yang menyebabkan mudik lebaran tidak bisa dilakukan masyarakat Indonesia pada saat itu. Pertama, kontak senjata pejuang Republik dengan Belanda masih terus berlangsung di berbagai tempat di Indonesia, bahkan pada hari raya Idul Fitri 1946.

Kantor berita Antara pada 30 Agustus 1946 menurunkan berita bertajuk 'Pertempoeran pada hari Lebaran', menyampaikan 'Bertepatan dengan hari Raja Idoel Fitri pada tg. 28/8 barisan rakjat memberi poekoelan pada pasoekan2 Nica didesa Tjibeber sehingga mereka terpaksa moendoer'.

Dari laporan itu diketahui bahwa pertempuran tidak hanya pecah di Cibeber (Bogor), namun juga di tempat-tempat lainnya. Itu mengindikasikan bahwa kontak senjata melawan Belanda pada hari lebaran bukanlah sesuatu yang jarang terjadi. Artinya ada sebagian umat Islam yang terhalang mudik akibat pertempuran.

Cerita sedih semacam itu terjadi juga di Padang, kota terbesar di Sumatera Barat. Memang Padang bukan kawasan inti masyarakat tradisional Minangkabau. Padang lebih dikenal sebagai rantau (yang berbeda dengan wilayah darek di pedalaman), yang lebih mencirikan sebuah kota tujuan perantauan untuk alasan ekonomi dan pendidikan bagi orang-orang dari kawasan pegunungan di Minangkabau.

Pada Idul Fitri 1946 orang Minangkabau di Padang tidak bisa berlebaran di kampung halamannya. Pertempuran antara pejuang Republik dengan pasukan Inggris dan Netherlands-Indies Civiele Administration atau NICA pada dini hari atau beberapa jam sebelum salat Idul Fitri di kota itu membuat banyak warganya tidak bisa mudik dan berlebaran.

Kementerian Penerangan dalam buku Republik Indonesia: Provinsi Sumatera Tengah (1959: 136), menyebutkan pada dini hari itu Padang telah menjadi 'lautan api' akibat kebakaran dan pertempuran di berbagai sisi kota.

Ketegangan berlangsung hingga pagi harinya. Koran Kedaulatan Rakjat yang tempat terbitnya berjarak ribuan kilometer dari Padang menjadikan berita pertempuran di Padang ini sebagai headline-nya pada 31 Agustus 1946. 'Idoelfitri di Padang dirajakan dengan tjara jang istimewa oleh pemoeda2 Padang dan barisan rakjat di sekeliling kota terseboet,' tulis Kedaulatan Rakjat.

Selain pertempuran, masih ada problem lain yang menyulitkan orang mudik saat itu: transportasi. Pesawat masih jauh dari umum dan terjangkau; lagipula, di bulan-bulan awal pasca-merdeka, pemerintah Republik hanya memiliki pesawat-pesawat latih kecil yang mereka ambil alih dari Jepang.

Kendaraan roda empat masih barang mewah. Lebih buruk lagi, mobil-mobil peninggalan masa Jepang yang tersedia mengalami kekurangan onderdil.

Infrastruktur seperti jembatan dan rel kereta berada dalam kondisi buruk, sebagian sengaja dihancurkan pasukan Belanda guna mencegah pergerakan Jepang di awal perang. Sementara yang lainnya rusak lantaran aksi-aksi sabotase pada masa revolusi.

Jawatan kereta api sebenarnya menyediakan apa yang mereka sebut sebagai 'Kereta Lebaran' dengan menambah beberapa perjalanan kereta api. Ini tampak dalam sebuah daftar perjalanan kereta yang dipublikasikan di Kedaulatan Rakjat sehari sebelum Lebaran tahun 1946 itu.

Tetapi itu hanya antarkota di dalam provinsi Jawa Tengah saja dan itu pun di daerah dengan kekuatan Republik yang dominan, misalnya Solo, Magelang, Ambarawa, Kutoarjo, dan Yogyakarta. Sedangkan kereta lebaran dari maupun ke Jakarta yang diduduki Belanda dan sekutu tidak tersedia.

Editor : Oksa Bachtiar Camsyah

Tags :
BERITA TERPOPULER
BERITA TERKINI