Sukabumi Update

Terus Sangkal BPOM Soal Senyawa BPA, Aspadin Lebih Pentingkan Industri

Ilustrasi. Aspadin mengklaim jadi korban “kampanye negatif” pesaing usaha yang mengangkat isu bahaya senyawa BPA pada kemasan galon isi ulang polikarbonat | Foto: Istimewa

SUKABUMIUPDATE.com - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dan kalangan pakar, sejak lama sudah mengingatkan tentang potensi air minum dalam kemasan (AMDK) yang rawan terkontaminasi Bisfenol A (BPA) berbahaya, dan perlunya pelabelan galon isi ulang polikarbonat (PC) demi melindungi kesehatan puluhan juta masyarakat Indonesia.

Namun, Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), yang diketuai Rachmat Hidayat, Government Relations Director Danone Aqua, lagi-lagi mengklaim jadi korban “kampanye negatif” pesaing usaha yang mengangkat isu bahaya senyawa BPA pada kemasan galon isi ulang polikarbonat.

“Kami menyesalkan adanya upaya beberapa pihak yang secara terstruktur, sistematis dan masif dan terus menerus melakukan kampanye negatif terhadap hanya salah satu kemasan air minum dalam kemasan (AMDK), dalam hal ini kemasan plastik Polikarbonat (PC) yang digunakan sebagai galon AMDK,” papar Aspadin dalam siaran persnya (29/9).

Baca Juga: Dunia Perketat BPA pada Kemasan Pangan Air Minum, Indonesia Kapan?

“Sampai sekarang belum pernah ada masalah kesehatan akibat mengonsumsi AMDK kemasan polikarbonat,” tulis Aspadin lagi.

Tapi benarkah klaim-klaim tersebut? Uji migrasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada AMDK galon polikarbonat justru menghasilkan temuan yang mengkhawatirkan bagi kesehatan. Hal ini sekaligus menunjukkan ada potensi masalah yang sangat besar pada kemasan galon isi ulang dari bahan plastik polikarbonat.

Berdasarkan uji migrasi BPOM pada AMDK galon polikarbonat (PC) sepanjang tahun 2021-2022, ditemukan bahwa 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA yang dipatok BPOM: yakni 0,6 bpj (bagian per juta). Lalu ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj. Ditemukan pula 5 persen di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan”, karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.

Baca Juga: Pakar: Urgensi Pelabelan BPA jangan Terjegal Keinginan Industri

“Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberi informasi yang benar dan jujur, BPOM berinisiatif melakukan pengaturan pelabelan AMDK pada kemasan plastik dengan melakukan revisi peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan,” demikian kata Kepala BPOM, Penny K. Lukito, seperti tertulis dalam rilis resmi di situs web BPOM.

Saat acara sarasehan dalam rangka memperingati Hari Keamanan Pangan Dunia di Jakarta, Penny menjelaskan regulasi pelabelan tersebut mengacu pada hasil kajian dan riset mutakhir di berbagai negara terkait risiko paparan BPA pada kesehatan publik.

"Semua kajian (scientific research) lebih kepada risiko yang sangat tinggi terhadap kesehatan akibat dari BPA," katanya.

Menurutnya, kehadiran pelabelan tersebut bisa memotivasi pelaku industri untuk berinovasi dalam menghadirkan kemasan air minum yang aman bagi masyarakat.

Baca Juga: Penelitian Sebut BPA Bisa Ancam Kesehatan Janin!

"Dari sisi konsumen, pelabelan risiko BPA adalah hak masyarakat untuk teredukasi dan memilih apa yang aman untuk dikonsumsi," katanya.

Sebenarnya untuk kasus Indonesia, BPOM menempuh cara yang lebih moderat. BPOM hanya mengeluarkan regulasi untuk pencantuman label “Berpotensi mengandung BPA”, pada produk AMDK yang menggunakan kemasan galon plastik polikarbonat.

Jadi, sama sekali tidak ada larangan penggunaan kemasan galon polikarbonat, sehingga dapat dipastikan tidak ada potensi kerugian ekonomi bagi pelaku usaha.

Selain mengawasi AMDK galon di lapangan, BPOM juga mempertimbangkan tren pengaturan BPA di luar negeri. Pada 2018, misalnya, Uni Eropa telah menurunkan batas migrasi BPA yang semula 0,6 bpj menjadi 0,05 bpj.

Bahkan tahun ini, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) telah mengumumkan perubahan drastis batas asupan harian BPA yang aman untuk manusia (19/4). Sebelumnya, EFSA menetapkan asupan harian sebesar 4 mikrogram BPA per kilogram berat badan per hari masih dalam batas aman. Tapi sekarang, aturan itu diubah jadi sangat luar biasa ketat, asupan hanya dibolehkan 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari. Batas asupannya kini jadi 20.000 kali lebih ketat daripada yang dulu dianggap aman.

Dukungan untuk memperketat regulasi terhadap penggunaan BPA juga datang dari kalangan pakar, salah satunya yang paling vokal sejak awal adalah Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono.

Berbicara dalam sebuah talkshow di Metro TV (11/8/), Pandu Riono, menegaskan bahwa BPA menghadirkan risiko yang ‘luar biasa’ bagi kesehatan manusia.

“Bahkan sebelum jadi manusia sudah berisiko, saat dalam kandungan, BPA berpotensi mengganggu pertumbuhan janin sehingga dalam perkembangannya akan menimbulkan banyak masalah kesehatan, termasuk autisme, Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD),” katanya.

Pandu mengatakan, paparan BPA dalam jangka panjang dapat memicu banyak gangguan dalam sistem tubuh, termasuk gangguan organ reproduksi, penyakit terkait endokrin, gangguan syaraf dan kanker.

Menurutnya, negara bertanggung jawab dan harus segera mengeluarkan regulasi untuk membatasi penggunaan senyawa BPA.

“Kalau tidak (dilakukan), itu membahayakan kesehatan kita. Atau (kalau) kita tunda saja, itu artinya membiarkan masalah ini menjadi akumulatif, sehingga seakan-akan terjadi pembiaran, bahwa kesehatan adalah urusan Anda dan negara seolah-olah tidak ikut campur,” kata Pandu Riono.

“Dengan adanya label yang memberikan informasi dan mengedukasi masyarakat… (Pemerintah) mengajak industri supaya bertanggung jawab terhadap kesehatan bangsa ini,“ katanya.

Editor : Dede Imran

Tags :
BERITA TERKAIT