SUKABUMIUPDATE.com - Petani singkong di berbagai daerah tengah menghadapi kondisi sulit akibat anjloknya harga. Salah satu daerah yang mengalami penurunan drastis adalah Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi, di mana harga singkong turun hingga di bawah Rp 900 per kilogram. Hal ini diungkapkan langsung oleh para petani saat berdialog dengan Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) drh Slamet.
Menurut para petani, kondisi tersebut sangat tidak wajar karena biasanya ketika persediaan singkong di pasaran menipis, harga justru mengalami kenaikan. Namun sekarang, meskipun persediaan singkong terbatas, harga justru tetap rendah. Fenomena anomali ini menimbulkan dugaan adanya faktor eksternal yang memengaruhi harga di tingkat petani.
Slamet menduga salah satu penyebab utama anjloknya harga singkong adalah impor tapioka. Ini merujuk pada data tahun 2024, tercatat sebanyak 267.062 ton tapioka diimpor ke Indonesia dengan nilai mencapai USD 144 juta atau sekitar Rp 2,2 triliun. “Kebijakan impor tapioka sangat merugikan petani dalam negeri. Ketika stok singkong lokal terbatas, seharusnya harga di tingkat petani meningkat, bukan malah jatuh. Ini perlu ditelusuri lebih lanjut agar kebijakan yang ada tidak merugikan petani singkong kita,” kata dia pada Sabtu (1/2/2025).
Baca Juga: Anjlok Drastis, Harga Singkong Gebang di Lengkong Sukabumi Hanya Rp 1.000 per Kilogram
Selain harga yang anjlok, lanjutnya, petani singkong di Sukabumi juga menghadapi permasalahan tingginya biaya operasional. Berdasarkan perhitungan petani, biaya operasional untuk menanam singkong mencapai Rp 15 juta per hektare per masa panen. Dengan harga jual Rp 900 per kilogram dan hasil panen sekitar 17,5 ton per hektare, petani hanya memperoleh pendapatan sekitar Rp 15,7 juta per hektare per panen. Artinya, pendapatan petani hampir sama dengan biaya produksi, bahkan masih harus dipotong biaya sewa lahan 10 persen dan biaya angkutan.
Sebaliknya, jika harga singkong berada di angka Rp 1.500 per kilogram, petani dapat memperoleh pendapatan sekitar Rp 26 juta per hektare per panen. Dengan harga tersebut, petani masih memiliki keuntungan yang cukup untuk keberlanjutan usahanya. Oleh karena itu, Slamet meminta pemerintah segera mengambil langkah-langkah strategis guna melindungi petani singkong dari kerugian yang lebih besar.
“Petani singkong saat ini semakin terimpit. Mereka tidak memiliki daya tawar terhadap tengkulak. Sementara biaya operasional terus meningkat. Ini belum termasuk kelangkaan pupuk yang semakin menyulitkan produksi dan ancaman hama babi hutan yang kerap merusak tanaman. Pemerintah harus hadir untuk memberikan solusi konkret bagi petani dengan menetapkan harga standar pembelian singkong,” ujar legislator Senayan asal Sukabumi ini.
Baca Juga: Drh Slamet Usul Pembentukan Pansus, Usut Tuntas Pelanggaran Pagar Laut di Tangerang
Slamet menegaskan pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap kebijakan impor tapioka dan memastikan adanya regulasi yang berpihak kepada petani. Selain itu, dia juga mendorong penguatan peran koperasi atau lembaga petani agar petani memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam menentukan harga jual singkong.
“Kita tidak bisa membiarkan petani terus-menerus dirugikan. Jika kondisi ini berlanjut, maka semakin banyak petani yang akan meninggalkan usaha budi daya singkong karena tidak lagi menguntungkan. Ini akan berdampak pada ketahanan pangan nasional, mengingat singkong merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia,” ujarnya.
Sebagai wakil rakyat, Slamet berkomitmen untuk terus memperjuangkan kepentingan petani singkong di parlemen. Dia akan mendesak pemerintah agar segera mengambil langkah konkret guna menstabilkan harga singkong dan memberikan kepastian usaha bagi para petani. “Kita harus bersama-sama mencari solusi agar petani singkong bisa tetap bertahan dan sejahtera,” katanya.
Sumber: Siaran Pers
Editor : Oksa Bachtiar Camsyah