SUKABUMIUPDATE.com - Petani garam di Desa Buniasih, Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi, tengah menghadapi krisis serius akibat anjloknya harga dan minimnya pembeli. Kondisi ini menyebabkan sekitar 30 ton garam hasil produksi dari tahun 2024 hingga 2025 menumpuk tak terjual di gudang.
Ketua Kelompok Pengrajin Garam Bugar Mandiri, Salamun (55 tahun), mengatakan situasi ini mengancam keberlangsungan ekonomi para petani yang selama bertahun-tahun menggantungkan hidup dari usaha garam.
“Baik garam siap konsumsi maupun jenis krosok (coarse salt) semuanya menumpuk di gudang. Pembeli hampir tidak ada, kalau pun ada mereka menawar dengan harga sangat murah, padahal dulu harganya bisa sampai Rp4.200 per kilogram,” ujar Salamun kepada sukabumiupdate.com, Jumat (12/12/2025).
Potensi Besar, Pasar Lesu
Sejak 2017, Desa Buniasih memiliki sentra pengolahan garam di Kampung Sinarbakti. Saat ini terdapat 10 kelompok petani garam dengan total sekitar 100 anggota. Namun akibat kendala pemasaran, hanya sebagian kelompok yang masih bertahan memproduksi.
Menurut Salamun, kualitas garam Tegalbuleud sudah terbukti melalui hasil uji laboratorium. Meski demikian, pasar yang lesu membuat nilai jualnya tidak sebanding dengan biaya produksi.
“Harga sekarang Rp 3.000 per kilogram saja susah pembeli,” ungkapnya.
Baca Juga: Garam Produksi Tegalbuleud Berkualitas Super, Petani Harap DPR RI Sukabumi Lakukan Hal Ini
Salamun menjelaskan proses pembuatan garam melalui empat tahapan utama: Penyedotan air laut dan penampungan dalam tandon berukuran 35 x 45 meter dengan kedalaman 2 meter, pengaliran air ke embung berukuran 4 x 16 meter, lalu pengeringan di green house ukuran 4 x 16 meter dan proses filtrasi sebagai tahap akhir.
“Tiap satu unit embung kapasitasnya 64 kubik, sedangkan satu green house bisa menghasilkan lebih dari 2–3 kuintal garam,” jelasnya.
Rencana Garam Kemasan Tertahan Izin
Para petani sebenarnya sudah berupaya melakukan diversifikasi dengan merencanakan produksi garam dalam kemasan untuk dipasarkan di wilayah Pajampangan, didukung oleh bantuan peralatan dari pemerintah. Namun, upaya ini belum bisa berjalan optimal.
“Kami ingin buat garam kemasan, tapi belum punya izin edar, BPOM dan Dinkes. Itu kendalanya. Saat ini kami masih tergantung pada pembeli pabrik, tapi harganya murah sekali sehingga penjualan tidak maksimal,” kata Salamun.
Saat ini, penjualan masih bergantung pada pasar kecil seperti pabrik tahu dan produsen ikan asin, namun volume penjualannya tidak signifikan. Penjualan ke pabrik pun harganya sangat murah sehingga tidak maksimal.
Baca Juga: Telur Rp 35 Ribu per Kg, Emak-emak dan Pedagang Kue di Pajampangan Sukabumi Menjerit
Upaya Bertahan dan Harapan Panen Raya
Meskipun menghadapi kondisi berat, para petani tetap mencoba bertahan dan menunjukkan optimisme. Mereka bahkan sedang membangun 50 unit embung tambahan, dari target 100 unit di lahan pesisir seluas satu hektare.
“Kalau bulan ini mulai produksi, insya Allah Maret–April 2026 akan ada panen raya,” ujar Salamun optimistis.
Salamun sangat berharap pemerintah dan pihak terkait membantu membuka akses pasar, mempercepat izin edar, serta memberikan kepastian harga agar usaha garam di Tegalbuleud kembali bangkit.
Sementara itu, Kepala Desa Buniasih, Badrudin, mengakui upaya desa untuk membangkitkan produksi garam selama ini belum berhasil. Badrudin meminta langkah nyata dari pemerintah daerah, pusat, dan wakil rakyat di DPRD dan DPR RI untuk segera mencarikan solusi pemasaran garam Buniasih guna mencegah dampak ekonomi yang lebih luas terhadap ratusan petani.
"Kepada pemerintah daerah, pusat bahkan kepada wakil rakyat, agar bisa membantu masalah pemasaran," harapnya.
Editor : Denis Febrian