SUKABUMIUPADATE.com - Pengakuan suara Morgan Freeman telah menjadi salah satu aset paling berharga di Hollywood selama beberapa dekade. Dengan intonasi yang dalam, tenang, dan otoritatif, suaranya telah menjadi penanda narasi yang tak tertandingi. Namun, suara yang berharga itu kini telah menjadi subjek kontroversi teknologi terpanas. Secara blak-blakan, aktor peraih Oscar ini menuduh teknologi kecerdasan buatan (AI) melakukan "perampokan" dengan fitur kloning dan menggunakan suaranya tanpa izin. Tuduhan yang tegas ini bukan sekadar keluhan pribadi seorang selebriti; ini adalah alarm keras yang dibunyikan oleh garda depan industri kreatif terhadap invasi teknologi AI generatif ke dalam ruang hak kekayaan intelektual (HKI) dan mata pencaharian manusia.
Teknologi yang dicurigai menjadi pelaku "perampokan" ini adalah AI generatif berbasis deep learning, khususnya model text-to-speech (TTS) canggih. Model ini, yang dilatih pada dataset audio dalam jumlah masif termasuk, tanpa izin, rekaman publik atau outtake dari seorang aktor dapat mempelajari dan mereplikasi nuansa unik dari suara tertentu. Dalam kasus Freeman, AI tidak hanya meniru nada dasar, tetapi juga irama bicara, aksen, dan bahkan emosi vokal khasnya. Ketika model ini mencapai tingkat kemiripan yang tinggi (sering disebut digital twin atau replika digital), ia menjadi alat kloning yang dapat menghasilkan konten audio baru dengan suara Freeman, tanpa perlu kehadiran sang aktor di studio rekaman.
Inti dari tuntutan Freeman adalah hilangnya kontrol dan persetujuan. Dalam ekonomi kreatif tradisional, penggunaan suara seorang aktor untuk tujuan komersial diatur oleh kontrak yang ketat, persetujuan eksplisit, dan kompensasi (royalti atau residuals). AI membalikkan model ini, perusahaan teknologi dapat mengambil dataset vokal tanpa izin (seringkali mengklaimnya sebagai fair use atau penggunaan wajar untuk pelatihan), menciptakan replika abadi, dan menggunakannya untuk proyek tak terbatas tanpa bayaran lebih lanjut. Bagi Freeman, dan banyak profesional vokal lainnya, ini secara harfiah menghapus nilai komersial dari aset profesional, suara yang telah mereka bangun seumur hidup.
Baca Juga: Godi Suwarna Blues Si Miskin, Kenakalan Sang Sufi Sunda
Alarm keras dari Hollywood: Morgan Freeman menuduh AI merampas suaranya tanpa izin. Ini adalah intisari dari perang besar antara industri kreatif dan AI generatif. (Credit Foto: @Morgan Freeman/Facebook)
Kasus Freeman tidak berdiri sendiri. Ia adalah cerminan sempurna dari kekhawatiran yang mendorong mogok kerja bersejarah serikat aktor Hollywood, SAG-AFTRA, pada tahun 2023. Tuntutan utama serikat terhadap AI berpusat pada Perlindungan Replika Digital. Para aktor, mulai dari figuran hingga bintang A-list, menuntut jaminan bahwa pemindaian rupa (likeness) dan kloning suara mereka hanya dapat digunakan dengan persetujuan yang spesifik, kompensasi yang adil, dan batas waktu yang jelas. Tuduhan "perampokan" oleh Freeman secara emosional memvalidasi tuntutan serikat bahwa eksploitasi digital AI tanpa persetujuan adalah pencurian nilai kerja.
Ancaman terhadap Voice Over
Dampak AI ini sangat terasa di kalangan aktor pengisi suara (voice actors). Profesi ini adalah garis depan yang paling rentan, karena pekerjaan mereka sepenuhnya bergantung pada karakteristik suara mereka. Banyak aktor voice over telah melaporkan bahwa sampel suara mereka telah dicuri dari demo reel atau proyek lama dan digunakan untuk melatih model AI. Lebih jauh, perusahaan telah mulai mengganti aktor manusia dengan suara AI yang jauh lebih murah dan cepat dalam proses produksi seperti video game, audiobook, dan iklan, mengancam mata pencaharian ribuan pekerja kreatif secara langsung.
Secara hukum, kontroversi ini mendidih menjadi pertempuran antara hak kekayaan intelektual (HKI) individu dan klaim fair use (penggunaan wajar) oleh perusahaan teknologi AI. Perusahaan AI berargumen bahwa pelatihan model mereka menggunakan data publik adalah proses transformatif yang sejalan dengan fair use, mirip dengan cara mesin pencari mengindeks halaman web. Namun, para seniman berpendapat bahwa menciptakan digital twin yang dapat secara langsung menggantikan seniman asli adalah tindakan komersial yang merugikan dan jelas melanggar hak publisitas (right of publicity) dan hak cipta karya asli mereka.
Baca Juga: Ujung 2025 Heboh Lagi! Cover Taylor Swift "Can't Stop Loving You"-nya Phil Collins
Morgan Freeman marah besar. Tim hukumnya sibuk melawan kloning suara ilegal (Foto Voice Over: Canva).
Saat ini, perlindungan hukum terhadap kloning suara AI di AS tidak seragam, diatur oleh berbagai hukum negara bagian mengenai right of publicity (hak atas kemasyhuran). Inilah mengapa Morgan Freeman dan SAG-AFTRA secara agresif melobi untuk undang-undang federal yang seragam. Regulasi seperti NO FAKES Act diusulkan untuk menciptakan hak federal yang baru bagi individu untuk menuntut ganti rugi jika rupa atau suara digital mereka digunakan tanpa izin, memberikan dasar hukum yang kuat melawan eksploitasi teknologi AI di seluruh negeri.
Sementara AS bergulat dengan undang-undang federal, Uni Eropa telah menetapkan standar global melalui EU AI Act. Undang-undang ini mewajibkan pengembang AI generatif untuk transparan tentang data berhak cipta yang digunakan untuk pelatihan, dan mewajibkan adanya pelabelan (disclaimer) yang jelas untuk konten yang dihasilkan oleh AI (deepfakes). Regulasi ini memberikan kekuatan tawar menawar kepada seniman Eropa karena memaksa perusahaan AI untuk memberikan akuntabilitas, sebuah langkah maju yang juga didambakan oleh komunitas kreatif di AS.
Kasus Freeman memicu perdebatan penting mengenai etika dalam pengembangan teknologi AI. Apakah inovasi harus diizinkan berkembang tanpa batas, bahkan jika itu merugikan mata pencaharian manusia secara langsung? Jawabannya, menurut para seniman, adalah "tidak." Mereka menuntut "AI yang etis," yaitu model AI yang dilatih secara legal menggunakan data yang dilisensikan dengan benar, menghormati hak cipta, dan memberikan kompensasi kepada pencipta asli, alih-alih mengambil jalan pintas dengan "merampok" dataset dari ranah publik.
Baca Juga: Indonesia-Yordania Jalin Kerja Sama Strategis, PT Pindad Kembangkan Drone Militer Canggih
Suara Ikonik, Hak yang Dicuri? Morgan Freeman menuntut keadilan. Sampai di mana batas etika AI di dunia seni?(Credit Foto: @Morgan Freeman/Facebook)
Idealnya, AI harus berfungsi sebagai alat yang memberdayakan seniman, bukan sebagai pengganti. Teknologi seperti pengubah suara AI dapat digunakan oleh aktor untuk memodifikasi penampilan mereka dalam proyek yang mereka setujui dan dibayar. Namun, ketika AI mengambil alih identitas aktor secara keseluruhan, ia melampaui peran alat. Tuntutan komunitas kreatif adalah untuk memastikan bahwa kreativitas dan interpretasi manusia kualitas tak berwujud yang membuat penampilan Morgan Freeman begitu berkesan tetap menjadi elemen yang tak tergantikan dan bernilai tinggi dalam industri hiburan.
Sebagai respons, Hollywood sedang beradaptasi dengan cepat. Kontrak studio kini harus mencakup klausul-klausul AI yang kompleks. Di masa depan, kontrak aktor tidak hanya akan mencantumkan biaya produksi dan residuals tayangan, tetapi juga biaya lisensi dan persentase penggunaan digital dari digital twin mereka. Setiap aktor pada dasarnya akan menjadi manajer aset digital mereka sendiri, menegosiasikan kapan, di mana, dan untuk berapa lama AI diizinkan menyuarakan atau menampilkan rupa mereka.
Kasus Morgan Freeman adalah titik balik dalam hubungan antara Hollywood dan Silicon Valley. Tuduhan "perampokan" oleh seorang ikon ini mendesak kita semua, mulai dari pembuat kebijakan hingga konsumen, untuk menghadapi konsekuensi dari kloning AI yang tak terkendali. Ini adalah panggilan untuk bertindak: industri teknologi harus didorong untuk berinovasi secara etis, dan lembaga legislatif harus bertindak cepat untuk melindungi nilai kerja dan identitas kreatif manusia sebelum aset paling berharga dari seniman seperti suara otoritatif Morgan Freeman dijadikan komoditas yang dapat direplikasi dan dieksploitasi tanpa batas oleh mesin.
Baca Juga: David Coverdale Pensiun Setelah 5 Dekade Bersama Whitesnake & Deep Purple
Ancaman terhadap Seniman dan Figur Publik Lokal & Respons Industri Kreatif dan Edukasi Digital
Meskipun belum ada kasus kloning suara AI berprofil tinggi yang secara eksplisit diajukan ke pengadilan oleh artis besar Indonesia seperti kasus Morgan Freeman, kekhawatiran yang sama telah menyebar di kalangan selebriti, content creator, dan penyanyi. Industri kreatif Indonesia, khususnya di sektor musik, dubbing (pengisi suara), dan periklanan, sangat rentan. Banyak influencer dan artis yang suaranya tersebar luas di platform digital berisiko menjadi target data scraping ilegal untuk melatih model AI.
Jika suara mereka dikloning dan digunakan dalam iklan, narasi, atau bahkan lagu deepfake tanpa izin, hal ini akan secara langsung merusak nilai komersial dari aset vokal mereka dan berpotensi memicu kerugian finansial yang signifikan bagi para profesional yang mengandalkan suara sebagai sumber penghasilan utama.
Tantangan utama di Indonesia terletak pada adaptasi kerangka hukum terhadap laju perkembangan teknologi AI (Foto:Canva).
Tantangan utama di Indonesia terletak pada adaptasi kerangka hukum yang ada terhadap laju perkembangan teknologi AI. Indonesia memiliki Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), namun payung hukum mengenai hak publisitas (right of publicity) atau perlindungan spesifik terhadap replika digital (kloning suara atau rupa) oleh AI masih belum sejelas di negara-negara yang telah mengeluarkan undang-undang khusus AI, seperti Uni Eropa.
Baca Juga: Akhirnya! RR Korban TPPO Asal Sukabumi Akan Dipulangkan dari Cina
Ketiadaan regulasi yang eksplisit ini menciptakan grey area (area abu-abu) yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang melakukan kloning suara. Para seniman perlu menuntut adanya penegasan hukum bahwa penggunaan digital twin mereka harus tunduk pada persetujuan eksplisit dan kompensasi yang diatur, sejalan dengan perlindungan yang diperjuangkan oleh serikat aktor global seperti SAG-AFTRA.
Menghadapi ancaman ini, industri kreatif Indonesia mulai bergerak melalui edukasi dan tindakan preventif. Organisasi seperti asosiasi musisi dan serikat pekerja seni perlu meningkatkan sosialisasi mengenai pentingnya perlindungan data vokal dan hak cipta di era digital.
Sementara menunggu payung hukum yang kuat dari pemerintah, para seniman didorong untuk mengambil langkah-langkah kontraktual, yaitu memasukkan klausul anti-AI yang eksplisit ke dalam setiap perjanjian kerja (kontrak iklan, endorsement, atau proyek film) untuk membatasi penggunaan rekaman suara mereka sebagai data pelatihan AI. Selain itu, konsumen juga perlu dididik untuk selalu bersikap skeptis terhadap konten yang dihasilkan AI (deepfake audio) agar integritas karya seni dan penampilan asli artis Indonesia tetap terjaga.
Editor : Danang Hamid