Sukabumi Update

Tesso Nilo Sekarat! Sisa Hutan 15 Ribu Hektare, Gerakan Digital #SaveTessoNilo Banjir di X

#SaveTessoNilo sedang menjadi trending topic di X (Twitter) Indonesia sejak beberapa hari terakhir,terutama sejak akhir November 2025. (GenImage: gemini)

SUKABUMIUPDATE.com - Aroma tanah basah bercampur asap pekat adalah bau yang kini sering tercium di jantung Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Bukan lagi aroma khas kanopi hutan tropis yang megah, melainkan bau pengrusakan yang perlahan mencekik.

Di tengah kepungan kebun sawit ilegal yang tak pernah tidur, Ratu, seekor induk gajah sumatera berusia 40 tahun, terus berjalan. Langkahnya dipandu oleh insting purba, namun jalurnya semakin sempit, dipagari kawat dan tebangan. Ia membawa cerita pilu ribuan kilometer pergerakan, warisan krisis yang telah mengubah benteng alam menjadi medan perang sunyi bagi sesama mahluk Tuhan ini.

Kisah Ratu adalah mikrokosmos (perwakilan dunia kecil) dari bencana besar yang kini melanda. Gerakan digital #SaveTessoNilo yang banjir di  X (Twitter) Indonesia sejak akhir November 2025, menyentuh titik didih baru kepedulian publik. Dan persoalan Tesso Nilo bukan sekadar isu lingkungan biasa, melainkan pertarungan nyata antara keberlanjutan hidup alam liar dan keserakahan perambahan yang mengubah hutan menjadi komoditas sawit.

Krisis di TNTN telah mencapai tahap kritis, di mana harapan penyelamatan kini bergantung pada tindakan pemerintah yang tegas dan bantuan teknologi canggih bernama GPS collar yang melingkar di leher Ratu.

Baca Juga: Aksi Sigap Satpol PP Sukabumi Bersih-bersih Lapangan Cangehgar Usai Amankan Pelantikan PPPK

Tesso Nilo Sekarat! Sisa Hutan 15 Ribu Hektare, Gerakan Digital #SaveTessoNilo Banjir di XTesso Nilo Sekarat! Sisa Hutan 15 Ribu Hektare, Gerakan Digital #SaveTessoNilo Banjir di X

Tesso Nilo di Ujung Tanduk

Dalam sebulan terakhir, data dan citra satelit terbaru memicu keriuhan di media sosial. Taman Nasional Tesso Nilo, yang secara resmi memiliki luas 83.000 hektare, kini secara de facto hanya menyisakan hutan alam murni kurang dari 15.000 hektare. Ini berarti, dalam beberapa dekade, lebih dari 80% benteng terakhir gajah Sumatera di Riau telah lenyap, berubah menjadi kebun sawit ilegal.

  • Deforestasi Parah: Hutan alam tersisa hanya 12.000-15.000 hektare (berdasarkan data WWF, Walhi, dan citra satelit terbaru per Des 2025).
  • Ancaman Gajah: Populasi gajah sumatera liar di TNTN terus terdesak. Sepanjang 2025, tercatat puluhan gajah mati tidak wajar, termasuk kasus tragis anak gajah terjerat dan induknya mati karena kelaparan setelah enggan meninggalkan anaknya.
  • Konflik: Perambahan masif di zona inti TNTN menyebabkan konflik satwa-manusia meningkat tajam. Riau, kantong utama gajah, telah kehilangan 69% populasinya dalam 20 tahun terakhir. Secara keseluruhan, populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di alam liar kini hanya tersisa 924–1.359 ekor.

Situasinya memang kritis, tapi keriuhan di media sosial ini adalah momentum besar. Petisi di Change.org didukung oleh figur publik seperti Nadine Chandrawinata, Hamish Daud, dan Prilly Latuconsina. Bola panas kini ada di tangan pemerintah.

Baca Juga: Satelit Sentinel-2 Milik Eropa (ESA) Memperlihatkan Banjir Aceh, lokseumawe Bagai Tenggelam

Anak gajah jinak flying squad Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN)Anak gajah jinak flying squad Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) (Foto:Istimewa).

Situasi kritis di Tesso Nilo, yang ditandai dengan penyusutan hutan alam hingga kurang dari 15.000 hektare, telah memicu gelombang desakan digital yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keriuhan media sosial ini, yang dihela oleh tagar #SaveTessoNilo, telah bertransformasi menjadi momentum politik yang sulit diabaikan pemerintah. Daya dorong ini semakin kuat karena didukung oleh tokoh publik berpengaruh, dari aktivis lingkungan seperti Nadine Chandrawinata dan Hamish Daud, hingga selebriti muda dengan basis massa besar seperti Prilly Latuconsina, yang menggunakan platform mereka untuk menyuarakan ancaman kepunahan gajah sumatera. Dukungan public figure ini terbukti efektif dalam menyebarluaskan isu dari lingkup konservasi sempit menjadi perhatian nasional. 

Kini, bola panas penegakan hukum dan penyelamatan ekosistem sepenuhnya berada di tangan pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemerintah Provinsi Riau. Tekanan publik yang masif ini adalah peluang emas untuk menertibkan perambahan kebun sawit ilegal yang terbukti menjadi akar krisis Tesso Nilo. Data dari KLHK sendiri menunjukkan bahwa kerugian akibat deforestasi dan perambahan tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga finansial negara.

Oleh karena itu, momentum viral ini harus segera diterjemahkan menjadi tindakan konkret, seperti penegakan hukum yang tak pandang bulu terhadap korporasi atau oknum yang terbukti merambah zona inti taman nasional, serta program restorasi hutan yang ambisius. Keberhasilan pemerintah merespons desakan publik ini akan menjadi tolok ukur komitmen Indonesia terhadap konservasi dan keadilan lingkungan. (KLHK/Laporan WALHI Riau, Des 2025).

Cara kerja GPS collar bergantung pada integrasi tiga komponen utama: modul penentuan posisi global (GPS), sistem transmisi data, dan sumber daya baterai yang kuat.12 GPS collar aktif telah menurunkan konflik gajah-masyarakat hingga 30%. Warga kini menerima SMS peringatan dini "gajah masuk desa dalam 2 jam lagi," memungkinkan mitigasi cepat tanpa kekerasan.(Foto ilustrasi: GenImage Sora).

GPS Collar Kalung Penyelamat 15 Kilogram

Di tengah bencana ekologi ini, ada cerita harapan yang jarang terangkat: peran krusial dari teknologi GPS collar. Alat canggih ini, yang berbobot 12-18kg dan dipasang oleh tim dokter hewan melalui pembiusan jarak jauh, menjadi game changer dalam upaya konservasi.

GPS Collar adalah kalung khusus berbahan kuat yang dilengkapi modul GPS, sensor akselerometer, dan satelit (Iridium/GSM). Alat ini berfungsi sebagai sistem peringatan dini dan pemandu bagi tim Conservation Response Unit (CRU).

Cara kerja GPS collar bergantung pada integrasi tiga komponen utama: modul penentuan posisi global (GPS), sistem transmisi data, dan sumber daya baterai yang kuat. Modul GPS akan secara otomatis merekam koordinat geografis (x, y) gajah pada interval waktu yang telah ditentukan (misalnya, setiap 30 menit). Data ini tidak hanya mencakup lokasi, tetapi juga dilengkapi oleh sensor akselerometer yang mendeteksi pergerakan spesifik apakah gajah sedang berlari, diam, atau bergerak lambat. Begitu data posisi terkumpul, sistem transmisi (biasanya menggunakan satelit Iridium atau jaringan GSM/seluler jika tersedia) akan mengirimkan paket data ini ke stasiun darat atau server berbasis cloud. Proses ini memungkinkan tim konservasi melacak gajah secara real-time atau hampir real-time dari mana saja, memberikan gambaran akurat tentang pola pergerakan dan luasan jelajah (habitat) yang tersisa.

Aliran data yang diterima dari GPS collar kemudian diolah dan divisualisasikan menjadi peta pergerakan gajah oleh tim analis. Peta ini adalah kunci utama untuk mitigasi konflik: sistem dapat diprogram untuk memicu peringatan dini (SMS atau notifikasi) secara otomatis ketika gajah terdeteksi bergerak mendekati batas kawasan desa atau perkebunan. Peringatan ini memungkinkan Tim Conservation Response Unit (CRU) atau petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bereaksi cepat, seperti melakukan penggiringan tanpa melukai satwa atau memberi tahu warga untuk berjaga-jaga. Dengan demikian, GPS collar berfungsi ganda: sebagai perangkat pemantau ilmiah untuk mengumpulkan data penting habitat, sekaligus sebagai sistem keamanan preventif yang secara signifikan menekan angka konflik gajah-manusia.

Deforestasi di kawasan Taman  Nasional Tesso Nilo 2016 (Foto:IstimewaIDeforestasi di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo 2016 (Foto:Istimewa)

Dampak Nyata di Lapangan (2020–2025):

  • Pencegahan Konflik: Di kawasan Balai Raja – Tesso Tenggara (Riau), pemasangan 12 GPS collar aktif telah menurunkan konflik gajah-masyarakat hingga 30%. Warga kini menerima SMS peringatan dini "gajah masuk desa dalam 2 jam lagi," memungkinkan mitigasi cepat tanpa kekerasan.
  • Penyelamatan dari Jerat: Di Ekosistem Leuser (Aceh), data dari 8 collar membantu tim menyelamatkan 7 gajah liar dari jerat pemburu hanya dalam 6 bulan terakhir.
  • Kajian Koridor: Di Sumatera Selatan, data collar membuktikan bahwa gajah yang dilepasliarkan lebih memilih koridor hijau buatan perusahaan (yang bersertifikasi berkelanjutan) ketimbang masuk ke kebun sawit ilegal.

Pada 12 November 2025, Ratu berhasil dipasangi collar. Dalam 3 minggu, ia berjalan 187 km melewati 14 desa. Tim CRU berhasil menggiringnya kembali ke hutan 9 kali tanpa konflik besar. Ironisnya, data Ratu menunjukkan ia hanya memiliki sisa hutan 8.000 hektare untuk berkeliaran, kurang dari 1/10 luas habitatnya dahulu. Tanpa collar ini, nasib Ratu hampir pasti berakhir tragis di kebun sawit ilegal.

Aksi Nyata yang Mendesak

Biaya satu set GPS collar beserta pemasangannya berkisar Rp75–120 juta, dan biaya operasional tracking harian sekitar Rp750.000 per hari. Angka ini kecil jika dibandingkan dengan biaya evakuasi dan kerugian petani akibat konflik yang dicegah, apalagi jika dibandingkan dengan nyawa satu gajah yang tak ternilai harganya. Gajah Sumatera tidak lagi punya waktu 10 tahun. Mereka butuh tindakan segera.

Baca Juga: BPBD Catat 11 Bencana Melanda Kabupaten Sukabumi dalam Sehari, Longsor Mendominasi

Memastikan “Ratu” dan anak-cucunya masih bisa berjalan bebas di hutan Sumatera pada 2030:

  1. Tekanan Publik & Petisi: Anjuran segera tanda tangani Petisi share dengan menggunakan tagar #SaveTessoNilo dan #SelamatkanTessoNilo secara masif.
  2. Menuntut Aksi Pemerintah: Anjuran tag akun resmi pemerintah untuk menuntut penertiban perambahan, penguatan penjagaan, dan restorasi hutan secara masif.
  3. Dukung Teknologi: Berpartisipasi untuk donasi ke organisasi terverifikasi (WWF Indonesia, Walhi Riau, Perkumpulan Elang) untuk mendukung target 100 GPS collar aktif di Sumatera pada 2030 (saat ini baru 50).
  4. Konsumsi Berkesadaran: Pilih produk sawit berkelanjutan (RSPO/ISPO certified) untuk menekan pasar ilegal yang menjadi akar ancaman utama gajah.

"Satu collar, satu nyawa, satu harapan. Momentum #SaveTessoNilo yang viral saat ini harus diubah menjadi aksi nyata dan kebijakan permanen. Kita harus terus meramaikan isu ini, menahan nafas sambil menunggu pemerintah menunjukkan ketegasan yang sama besarnya dengan ancaman yang dihadapi Tesso Nilo. Pastikan, lima tahun dari sekarang, kisah Ratu adalah kisah keberhasilan, bukan kisah yang tersisa dari sebuah kepunahan yang kita diamkan." Ujar Besta Junandi, aktivis lingkungan dari Perkumpulan Elang kepada Sukabumiupdate.com (5/12).

Pertempuran Tesso Nilo adalah cerminan dari hati nurani kita, bukan sekadar tentang statistik deforestasi atau angka kematian gajah. Ini tentang sebuah janji, janji kepada Ratu dan keturunannya bahwa kita, sebagai manusia yang berakal, tidak akan membiarkan rumah mereka lenyap demi sebidang perkebunan ilegal. Setiap retweet, setiap tanda tangan, dan setiap rupiah donasi adalah perpanjangan tangan harapan bagi sang raksasa hutan.

Editor : Danang Hamid

Tags :
BERITA TERKAIT