Sukabumi Update

Kenapa TBC Masih Jadi Teror Senyap? Begini Perjuangan Berat Indonesia Melawannya.

Ilustrasi terjangkit bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan penyakit TBC (Sumber: Freepik/@kjpargeter)

SUKABUMIUPDATE.com - Indonesia berdiri di garis depan pertempuran global melawan Tuberkulosis (TBC). Sebagai negara dengan beban kasus TBC tertinggi kedua di dunia, perjuangan ini bukan hanya tentang pengobatan, tetapi juga tentang menemukan lebih dari satu juta kasus baru setiap tahun yang tersembunyi di tengah populasi. TBC, yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, terus menjadi teror senyap yang merenggut nyawa 14 orang setiap jam, menuntut strategi yang lebih agresif, humanis, dan terintegrasi untuk mencapai target ambisius eliminasi TBC pada tahun 2030.

Kasus penemuan mayat wanita muda berinisial Ag (22 tahun) yang ditemukan membusuk di kamar kosnya di Warudoyong, Kota Sukabumi, pada 7 Desember 2025, seperti yang dilaporkan Sukabumiupdate.com sebelumnya, menjadi pengingat nyata betapa mematikannya TBC/TB yang kerap dianggap 'senyap'. Keluarga korban di Palabuhanratu mengonfirmasi kepada sukabumiupdate.com bahwa Ag telah lama mengidap penyakit paru (TBC) dan belakangan mengeluhkan pembengkakan pada kaki, yang merupakan salah satu komplikasi sistemik TBC. Paman korban, Safari Gunawan, menyatakan bahwa pihak keluarga tidak curiga karena riwayat penyakit tersebut sudah diketahui.  

Tragedi yang menimpa Ag (22 tahun) di Sukabumi menjadi ilustrasi yang menyayat hati mengenai realitas mematikan TBC di Indonesia. Meskipun TBC dapat disembuhkan, kegagalan dalam diagnosis dini atau ketidakpatuhan pengobatan seringkali berujung fatal, seperti yang diindikasikan oleh riwayat penyakit paru yang diderita Ag. Kasus ini mengingatkan kita bahwa TBC bukan hanya batuk biasa, melainkan penyakit sistemik yang dapat menyebabkan komplikasi serius, bahkan berujung pada kematian. Lantas, fakta apa saja yang paling menonjol dari penyakit Tuberkulosis (TBC/TB) ini.

Baca Juga: 10 Glamping Ilegal Milik WNA Korea di Pantai Citepus, Satpol PP Sukabumi: Wajib Dibongkar

  1. Beban Epidemiologi yang Kritis

Data terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengonfirmasi bahwa Indonesia memiliki estimasi 1.060.000 (1,06 juta) kasus TBC baru setiap tahun. Meskipun upaya deteksi kasus melalui notifikasi telah meningkat secara dramatis, mencapai sekitar 889.000 kasus pada tahun 2024, masih terdapat kesenjangan ratusan ribu kasus yang belum terdiagnosis. Kesenjangan ini menciptakan kantong penularan yang berkelanjutan.

Paling menonjol dari TBC adalah gejala sistemik khasnya, yaitu batuk kronis lebih dari 2-3 minggu, disertai keringat dingin di malam hari (night sweats), dan penurunan berat badan drastis (phthisis). Gejala-gejala ini sering diabaikan atau disalahartikan sebagai penyakit ringan, menunda diagnosis, dan memperparah risiko penularan. Selain itu, Indonesia juga menghadapi beban ganda dengan prevalensi tinggi TBC-HIV dan TBC Resisten Obat (MDR-TB), yang menuntut regimen pengobatan lebih lama, mahal, dan memiliki efek samping lebih berat.

  1. Strategi Memburu Kasus: Active Case Finding (ACF)

Untuk menutup kesenjangan diagnosis, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bertransisi dari penemuan kasus pasif (menunggu pasien sakit datang) menjadi Penemuan Kasus Aktif (Active Case Finding atau ACF). Strategi ACF ini berfokus pada pendekatan proaktif di komunitas berisiko tinggi:

  • Skrining Masif di Komunitas: Tim kesehatan yang didukung kader bergerak ke permukiman padat dan melakukan skrining gejala.
  • Pemanfaatan Teknologi Cepat: Penggunaan alat GeneXpert diperluas ke Puskesmas, memungkinkan deteksi TBC dan resistensi Rifampisin hanya dalam hitungan jam. Akses cepat ke diagnosis ini sangat krusial untuk segera memulai pengobatan dan mengisolasi kasus agar tidak menular.
  • Investigasi Kontak: Skrining TBC kini diwajibkan bagi seluruh kontak serumah pasien TBC aktif. Mereka yang rentan terutama anak-anak dan kontak dengan kasus TBC berat diberi Terapi Pencegahan TBC (TPT), yang merupakan langkah preventif untuk menghentikan infeksi laten menjadi penyakit aktif.

Baca Juga: Doa Agar Dilapangkan Kesabaran dalam Menghadapi Orang yang Menyebalkan

  1. Tantangan Kepatuhan dan Resistensi Obat

Sifat TBC sebagai penyakit menular yang memerlukan pengobatan jangka panjang (minimal 6 bulan untuk kasus sensitif obat) menimbulkan tantangan besar terkait kepatuhan pasien (adherence). Ketidakdisiplinan dalam meminum obat adalah penyebab utama munculnya strain TBC resisten multi-obat (MDR-TB) yang jauh lebih sulit ditangani.

Untuk mengatasi ini, program Pengobatan Jangka Pendek dengan Pengawasan Langsung (DOTS) diperkuat, melibatkan Juru Pemantau Minum Obat (PMO) dari keluarga atau komunitas. Selain itu, pemerintah berupaya mengadopsi regimen pengobatan MDR-TB yang lebih singkat dan aman, serta memperkuat kolaborasi dengan fasilitas kesehatan swasta tempat banyak pasien pertama kali mencari pengobatan agar mereka terintegrasi dalam sistem pelaporan dan pengobatan TBC nasional.

Ilustrasi Waspada TBC: Penyakit Menular yang Mengancam Nyawa dan Cara Efektif Mencegahnya (Sumber: Freepik/@freepik)Ilustrasi Waspada TBC: Penyakit Menular yang Mengancam Nyawa dan Cara Efektif Mencegahnya (Sumber: Freepik/@freepik)

  1. Harapan Baru dari Inovasi Vaksin

Perjuangan Indonesia juga disokong oleh harapan dari inovasi sains. Kandidat vaksin TBC baru, seperti M72/AS01E, yang saat ini menjalani uji klinis Fase 3 secara global termasuk di Indonesia menawarkan potensi perlindungan baru. Vaksin ini secara spesifik menargetkan pencegahan perkembangan TBC aktif pada remaja dan dewasa yang sudah memiliki infeksi laten. Selain itu, Indonesia turut menjadi lokasi uji klinis awal untuk Vaksin TBC Inhalasi berbasis viral-vector, yang dirancang sebagai booster untuk memicu kekebalan langsung di saluran pernapasan.

  1. Kunci Eliminasi Ada di Tangan Komunitas

Meskipun teknologi diagnosis canggih dan vaksin baru menjanjikan, tidak ada strategi eliminasi TBC yang dapat berhasil tanpa peran aktif komunitas dan humanisme kolektif. TBC bukan sekadar penyakit organ paru, melainkan penyakit yang terbungkus stigma, kemiskinan, dan isolasi sosial.

Di sinilah peran Juru Pemantau Minum Obat (PMO), yang sebagian besar adalah anggota keluarga atau kader, menjadi pahlawan tak terlihat. PMO adalah jembatan yang mengubah resep obat medis menjadi kesembuhan nyata. Mereka hadir setiap hari selama enam bulan atau lebih, memastikan pasien menelan obatnya, memberikan dukungan emosional, dan melawan godaan pasien untuk berhenti minum obat saat merasa membaik padahal penghentian dini adalah biang keladi resistensi obat.

Baca Juga: Dorong UMKM dan Pariwisata Terus Tumbuh, Pemkab Sukabumi Apresiasi Perkembangan Goalpara Tea Park

Kegigihan mereka dalam menjalankan prinsip DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) menunjukkan bahwa TBC adalah perjuangan yang harus dimenangkan dari pintu ke pintu. Di sisi lain, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, mengurangi stigma terhadap pengidap TBC, dan secara proaktif melaporkan gejala batuk kronis pada diri sendiri atau orang terdekat.

Eliminasi TBC adalah kerja kolektif yang memerlukan kepedulian tetangga, dukungan keluarga, dan komitmen seluruh lapisan masyarakat. Tanpa dukungan kuat di tingkat komunitas, jutaan kasus yang hilang akan terus bersembunyi, dan mimpi Indonesia mencapai eliminasi 2030 akan tetap menjadi ilusi statistik.

Perjuangan Indonesia melawan TBC adalah sebuah perlombaan melawan waktu, melawan resistensi, dan melawan stigma sosial. Kasus kematian Ag (22 tahun) di Sukabumi, yang riwayat penyakit parunya diabaikan hingga terlambat, adalah pengingat pahit bahwa TBC bukanlah masalah statistik semata; ia adalah kegagalan sistem pendukung kita di level paling dasar. Eliminasi TBC pada tahun 2030 tidak akan dicapai hanya dengan teknologi canggih, melainkan dengan kepekaan dan tanggung jawab kita semua sebagai tetangga, keluarga, dan warga negara untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kasus batuk kronis yang terlewatkan, tidak ada lagi pengidap yang merasa malu, dan tidak ada lagi nyawa muda yang harus gugur sendirian di kamar kos karena teror senyap ini.

Editor : Danang Hamid

Tags :
BERITA TERKAIT