Sukabumi Update

Isu Pilpres 2024 Satu Putaran dan Bandwagon Effect

Salah satu kegiatan SETARA Institute di Kota Sukabumi dalam rangka peningkatan kapasitas dalam mencegah dan menangani politisasi identitas jelang Pemilu 2024. (Sumber : Istimewa)

SUKABUMIUPDATE.com - Hasil survei elektabilitas calon presiden dan wakil presiden akhir-akhir ini semakin tidak masuk akal, apalagi terdapat hasil survei dan publikasi yang sebenarnya diduga mendukung pasangan calon tertentu. Contohnya adalah beberapa hasil survei yang mengatakan para pasangan calon akan memenangi Pilpres 2024 dalam satu putaran.

“Hari-hari ini publik disuguhi hasil survei tentang elektabilitas capres dan cawapres yang semakin tidak masuk akal,” kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute Ismail Hasani dalam keterangan tertulisnya pada Senin, 20 November 2023 lalu, seperti dilihat sukabumiupdate.com, Selasa (16/1/2024).

Ismail menyatakan seruan menang satu putaran wajar jika disampaikan oleh kandidat capres-cawapres dengan tujuan memberi dorongan bagi tim kampanye dan pendukung. Namun, hal itu menjadi masalah ketika ada lembaga survei yang meligitimasi klaim mereka dengan mengorbankan etika dan metodologi survei.

Baca Juga: Kampanye di Gedung Pendidikan, Caleg DPR RI Bakal Dipanggil Bawaslu Kota Sukabumi

Dia mengungkapkan ada setidaknya dua tujuan lembaga survei melakukan hal tersebut. “Pertama, berharap bandwagon effect agar pemilih mengikuti langkah mayoritas publik; dan kedua, menyediakan justifikasi akademik-populis atas kemungkinan tindakan tidak jujur dan segala cara untuk memenangi kontestasi,” ujar Ismail.

Selain itu, Ismail juga menyayangkan sikap lembaga survei yang pilih-pilih saat menentukan materi survei. Menurutnya, ada beberapa agenda inkonstitusional yang dipromosikan oleh mereka melalui jajak pendapat secara tidak etis. Di antaranya survei dukungan untuk masa jabatan presiden tiga periode, survei pro dinasti politik, dan survei afirmasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia minimal capres-cawapres.

Survei-survei tersebut, kata Ismail, memanfaatkan ketidaktahuan publik dan metode pengambilan sampel tertentu untuk meligitimasi hal yang bertentangan dengan konstitusi. “Di tengah keterbatasan pengetahuan publik atas term-term tersebut, pengambilan sampel secara acak hanya akan menghasilkan afirmasi atas berbagai kehendak-kehendak inkonstitusional, niretika, dan merusak demokrasi,” ucap Ismail.

Baca Juga: Pemkab Sukabumi Soal Nasib Guru dan Tenaga Pendidikan

Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah itu pun mengatakan hal-hal tersebut muncul akibat sikap tidak transparan para lembaga survei. Menurutnya, hubungan lembaga survei dengan para politikus tidak pernah diketahui. “Apakah juga merangkap sebagai konsultan politik, juru kampanye yang berlindung di balik kebebasan akademik survei, atau agitator yang ditugasi untuk menggiring opini,” kata dia.

Maka dari itu, ujar Ismail, Setara Institute mengajak lembaga-lembaga lain untuk mengembalikan posisi survei kepada tujuan awalnya, yaitu untuk mempromosikan nilai-nilai kebajikan. “Demi keadilan Pemilu, Setara Institute juga mendorong netralitas genuine yang didukung oleh sistem, standar operasi, dan penyikapan atas dugaan pelanggaran alat-alat negara secara transparan dan berkeadilan,” ujar dia.

Sumber : tempo.co

Editor : Syamsul Hidayat

Tags :
BERITA TERKAIT