Sukabumi Update

Tanpa Kepala Kerbau, Cerita 5 Sungai Syarat Larung Saji di Pesisir Selatan Sukabumi

Pantai Ujunggenteng. Tradisi larung laut atau larung saji dengan kepala kerbau terakhir kali dilakukan pada 2003 di Ujunggenteng, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi. (Sumber : Dok.Sukabumiupdate.com)

SUKABUMIUPDATE.com - Tradisi larung laut atau larung saji dengan kepala kerbau yang diselenggarakan oleh warga pesisir pantai selatan Kabupaten Sukabumi kini tinggal cerita saja. Ritual melarungkan kepala kerbau di laut itu terakhir kali dilakukan pada 2003 di Ujunggenteng, Kecamatan Ciracap.

Larung saji sejatinya merupakan tradisi dari hari nelayan. Hingga kini hari nelayan masih terus dilaksanakan dengan agenda kegiatan yang lebih mengentalkan tema syukuran nelayan.

Tokoh masyarakat Pajampangan Kamaludin (72 tahun) menyatakan pada tahun 2003 itu, pelaksanaan larung saji dipusatkan di Ujunggenteng sehingga diikuti oleh nelayan lain diantaranya dari Palangpang, Kecamatan Ciemas dan Minajaya, Kecamatan Surade.

Baca Juga: Minta Guru Jalankan Konseling, Kata Kadisdik Soal Pembacokan Siswa SD di Sukabumi

Menurut dia, larung saji di Ujunggenteng dilaksanakan setelah dua bulan dari larung saji di Palabuhanratu.

Pada tahun 2004, larung saji sejatinya akan kembali dilaksanakan di Pantai Ujunggenteng. Tapi tiba-tiba saja kegiatan tersebut tak dapat dilaksanakan.

"Tidak bisa dilakukan dengan alasan tidak jelas dari pihak Pemda Kabupaten Sukabumi," kata pria yang akrab disapa Ki Kamal kepada sukabumiupdate.com, Sabtu, 4 Maret 2023.

Dia menuturkan setelah itu acara hari nelayan lebih banyak diisi dengan kegiatan yang modern dan konsen pada kegiatan konservasi alam seperti pada tahun 2008, dilakukan pelepasan tukik di kawasan Pantai Ujunggenteng.

Baca Juga: Kata Polisi Soal Bendera dalam Kasus Siswa SD Dibacok di Palabuhanratu Sukabumi

Lebih lanjut, Ki Kamal menuturkan larung saji adalah sebuah upacara sebagai rasa syukur atas limpahan hasil bumi dan laut.

Pada saat itu, kepala kerbau yang akan dilarung ke laut biasanya akan dihias dan diberi bunga 7 rupa diantaranya bunga sedap malam, kaca piring, kananga, melati dan bunga lain yang menebarkan wangi.

Kepala kerbau juga diberi mahkota, lalu tanduknya dikalungkan bunga kemudian kuping kerbau diberi anting. 

Kepala kerbau itu disimpan dalam jampana, semacam tandu yang nantinya dipikul oleh beberapa orang untuk dilarung ke laut. Jampana tersebut dihias sedemikian rupa dan memiliki tiga atap.

Upacara larung saji pun tiba, jampana ini posisinya paling depan dalam iringin-iringan rombongan yang ikut dalam tradisi ini. Sedangkan di belakang jampana itu ada dongdang. 

Baca Juga: Peran 3 ABH dalam Kasus Pembacokan Siswa SD di Palabuhanratu Sukabumi

Pada saat acara larung saji itu, ada 4 buah dongang dengan isi yang tak sama.

Dongdang pertama diisi pakaian lengkap aksesoris dan minyak wangi. Pakaian dan aksesoris itu harus menyesuaikan dengan apa yang dipakai sosok ratu Pantai Selatan. 

Dongdang kedua isinya tumpeng, telur kemudian olahan berbahan ikan laut, ikan tawar dan ayam bakakak. Dongdang ketiga kue yang berbahan hasil bumi.

"Dongdang keempat berisi hasil bumi mentahan seperti pisang raja, pisang emas, singkong, talas dan hasil bumi unggulan daerah setempat,"paparnya.

Baca Juga: Palabuhanratu Sukabumi Geger! Warga Kabarkan Siswa SD Dibacok Pelajar SMP

Dalam acara ritual harus ada tawe atau tokoh nelayan, terus ada yang disebut gulang gulang yang membawa tombak. Untuk pembawa dongdang berjumlah 8 orang, dengan demikian satu dongdang dipikul oleh 2 orang. Lalu 4 orang lagi bertugas memikul jampana berisi kepala kerbau.

Jampana dan dongdang itu dibawa dari tempat yang ditentukan menuju pantai. Suara gamelan musik jiro atau patet panglima mengiringi. Kemudian ada pager asih yang tugasnya menabur bunga dari dalam bokor dilanjutkan aksi lengser dan menyanyikan kidung kunosari serta iringan pager ayu diiringi tembang Bray Balebat Mapag Fajar Harepan.

Selain kepala kerbau, syarat lainnya adalah air dari mata air yang menjadi sumber sungai-sungai yang bermuara ke laut. Apabila larung sesaji dilaksanakan di Pantai Ujunggenteng maka ada lima sungai yang mengalir ke laut di wilayah tersebut. Sungai itu adalah Sungai Cikarang, Sungai Ciletuh, Sungai Cipamerangan, Sungai Cikaso dan Sungai Cibuni.  Air sungai dikumpulkan lalu disatukan dalam satu wadah. 

Baca Juga: Polisi Tetapkan 3 ABH dalam Kasus Siswa SD Dibacok di Palabuhanratu Sukabumi

Sebelum jampana serta dongdang itu dilarung ke laut, taweu akan membacakan mantra-mantra dan mencipratkan air dari 5 mata air itu ke laut kemudian jampana.

Ki Kamal menyatakan, mencampurkan seluruh mata air mengandung berbagai makna, pertama dalam rangka memperat tali silaturahmi masyarakat dari wilayah aliran sungai tersebut.

Makna kedua yakni untuk mensucikan pikiran kotor. Apabila ditinjau dari sudut pandang agama, air bersih digunakan untuk wudhu.

Makna yang terakhir, air tersebut bisa sebagai simbol kesuburan. Menurut dia tanah yang kering akan menjadi subur jika disiram air.

"Simbol tersebut bermakna untuk meningkatkan kesuburan dan kemakmuran untuk tujuan kesejahteraan seluruh warga," ujarnya. 

Kemudian mencampurkan air dari seluruh sungai berarti memadukan yang bermakna gotong royong. Sebagaimana motto urang Sunda yang memiliki tradisi bergotong royong dalam melakukan sesuatu termasuk serempak untuk memelihara juga melestarikan alam.

Editor : Andri Somantri

Tags :
BERITA TERKAIT