Sukabumi Update

Sepotong Kisah Presiden Soeharto yang Tertinggal di Hati Warga Sukabumi

Presiden Soehato atau Jenderal Besar TNI (Purn.) H. M. Soeharto, (8 Juni 1921 – 27 Januari 2008) | Foto : Ist

SUKABUMIUPDATE.com - Ada sebuah peristiwa unik dari Presiden Soeharto yang tertinggal di hati seorang warga Sukabumi, Jawa Barat. Sebuah peristiwa getir yang kemudian berubah menjadi sepotong kisah dengan kesan haru menggurat tak berujung.

Presiden Soeharto adalah Presiden Republik Indonesia ke-2 dengan masa jabatan terlama dengan hampir tujuh periode berlangsung secara berturut-turut (1967 - 1998 atau 31 tahun). Dengan masa jabatan yang sangat lama tersebut sudah barang tentu meninggalkan banyak kesan bagi mayoritas warga Indonesia. Baik kesan baik maupun kesan buruk.

Presiden Soeharto dengan berbagai kemajuan dan keberhasilannya dalam pembangunan kemudian dikenal sebagai 'Bapak Pembangunan' Indonesia. Namun dilain pihak, terutama lawan politik atau sekelompok orang yang tidak sepemikiran dengan cara politik Soeharto memimpin Indonesia menilai bahwa masa pemerintah Soeharto adalah masa terburuk.

Saat kemudian Soeharto dipaksa lengser dari kursi kepresidenan yang ditandai gejolak reformasi pada 1997/1998, Soeharto akhirnya mundur dengan sejumlah tuduhan yang sangat mencorengnya; Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta ketidakmmapuannya dalam mengendalikan krisis ekonomi yang parah.

Kisah dibawah ini tidak menceritakan dua kelompok diatas. Bukan cerita pendukung Soeharto dalam arti lingkaran (kroni) dan bukan pula cerita kelompok yang berseberangan karena perbedaan politik yang kontras. Adalah kisah seorang warga biasa di Sukabumi Jawa Barat yang terkesan dengan sebuah peristiwa, dimana Presiden Soeharto menjadi yang terlibat sebagai tokoh penting.

Alkisah

Adalah seorang ayah muda dengan 2 orang anak yang masih kecil. Kehidupan keluarga dengan keberadaan ekonomi yang belum membaik membuat persoalan yang nampak ringan menjadi terasa berat membebani pikiran.

"Peristiwa itu terjadi 33 tahun yang lalu, tepat di tahun 1990. Sampai hari ini menjadi kenangan tak terlupakan bagi saya dan keluarga," Ujar Kang Dudung Abdul Malik memulai menceritakan kisahnya yang ia alami sendiri kepada sukabumiupdate.com.

Ceritanya bermula ketika anak kedua kami yang berusia 6 bulan mengalami sakit panas. Dan setelah dibawa ke dokter di Sukabumi malah sakitnya bertambah.

"Ada kecurigaan waktu itu, sakit yang diderita anak saya karena malpraktek (kesalahan obat). Sebabnya setelah dibawa ke dokter, penyakit yang diderita, yang semula hanya sakit panas biasa malah bertambah parah dan merembet menjadi penyakit yang didiagnosa menjadi menjadi penyakit dalam," ucap Kang Dudung.

Karena kondisi anak semakin parah, dengan bantuan keluarga kemudian sang anak dirujuk ke Rumah Sakit As-syifa. Dan kekhawatiran mulai tiba saat di As-syifa; sang anak justru semakin parah dan mengalami koma.

"Selama 25 hari koma di As-syifa, terbayang bagaimana perasaan sebagai orang tua waktu itu. Dokter bahkan sempat menyebut aneh, karena anak di usia itu jarang bisa bertahan sampai berumur panjang," tuturnya.

Selanjutnya, kata Kang Dudung, dalam situasi di As-syifa seperti itu, mendadak muncul ide aneh dan lucu. Bagaimana waktu itu tiba-tiba muncul dalam pikiran untuk berkirim surat kepada Presiden Soeharto.

"Saya bilang ke istri waktu itu, minta balpoint dan kertas 1 lembar. Dan langsung saja ditulis surat singkat dalam satu lembar kertas. Dan dikirim via pos (perangko kilat) dengan tujuan surat Istana Presiden di Jakarta,". Dalam surat itu, ucap Kang Dudung, dirinya mengabarkan kepada Presiden Soeharto bahwa ia seorang warga Sukabumi yang sedang mengalami kesulitan bersama seorang anak yang sedang menderita sakit sehingga membutuhkan bantuan," jelasnya.

Selepas surat itu terkirim, sambung Kang Dudung, sebagai warga biasa, tidak terlintas dalam pikiran apakah surat itu akan sampai ke tangan Presiden Soeharto. "Itu murni ide konyol yang muncul tiba-tiba,". tandasnya.

Kang Dudung Abdul Malik dalam perbincangan Kang Dudung Abdul Malik dalam perbincangan "blusukan ala presiden dari masa ke masa" bersama CEO sukabumiupdate.com Nuril Arifin | Foto : sukabumiupdate.com

Apalagi, ungkap Kang Dudung, saat itu kharisma Soeharto sebagai presiden sedang tinggi-tingginya. Jadi, nyaris dalam benak pikiran tidak ada harapan bahwa surat itu akan sampai, begitupun berharap mendapat balasan.

Namun, ceritanya justru menarik. Ditengah situasi anak di Asy-sifa yang kian tak menentu, setelah dua hari berlalu selepas berkirim surat itu, muncul keajaiban.

"2 hari setelah berkirim surat, ada yang datang utusan dari kelurahan, mencari, dan ternyata utusan kelurahan itu membawa surat yang merupakan balasan dari Istana Negara," kenang Kang Dudung.

Dan jelas surat itu kemudian memicu kehebohan ditingkat pemerintahan kelurahan dan pemerintah kecamatan, karena dalam surat itu juga tertera tembusan kepada pemerintah di semua tingkatan dari kelurahan sampai provinsi.

"Ditandatangani Presiden Soeharto langsung, isi surat itu memerintahkan agar saya membawa anak yang sakit itu ke rumah sakit terbaik dimanapun berada," tuturnya.

Singkat cerita, kata Kang Dudung, setelah bermusyawarah dengan keluarga dan juga pihak kelurahan. Akhirnya diputuskan sang anak dibawa kerumah sakit Harapan Kita, Jakarta.

Kemurahan Hati Sang Presiden 

Surat balasan dari Presdien Soeharto berkop Istana Negara itu merubah suasana hati Kang Dudung yang sebelumnya getir menjadi penuh rasa percaya diri.

"Beberapa rumah sakit sempat dihubungi, dari mulai RS Bunut hingga Hasan Sadikin Bandung, kedua rumah sakit itu menyatakan tidak siap. Kemudian ada yang siap yaitu RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, Namun RS Cipto saat itu sedang penuh dan tidak memberikan jawaban kepastian soal waktu. Baru kemudian terhubung ke rumah sakit swasta yang terkenal dan mahal itu, Harapan Kita," jelas Kang Dudung.

Walaupun lebih banyak faktor nekad terutama ketika dihdapkan pada bagaimana pembiayaan rumah sakit, tutur Kang Dudung, akhirnya mulailah sang anak menjalani perawatan di Harapan Kita.

"Setelah beberapa hari di Harapan Kita, kekhawatiran soal biaya rumah sakit mulai menggangu, karena Harapan Kita kan rumah sakit swasta aturannya berbeda dengan rumah sakit milik pemerintah. Karenanya, ditengah kebingungan seperti itu, muncul dalam pikiran untuk kembali membuat surat kepada Presiden Soeharto," imbuhnya.

Setelah surat itu dikirimkan, dimana isi suratnya menginformasikan kepada pak presiden terkait kondisi di Harapan Kita.

"Dua hari kemudian rupanya presiden sudah menerima surat itu. Karena tiba-tiba ada Paspampres yang datang ke rumah sakit. Saya sendiri waktu itu tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun kemudian diketahui bahwa pihak Harapan Kita memberikan kebebasan untuk melanjutkan perawatan sang anak disana," jelas Kang Dudung.

Selama hampir 25 hari dirawat di Harapan Kita, menurutnya, tidak ada persoalan kesiapan biaya yang ditanyakan. Walaupun seringkali pihak rumah sakit memberikan nota tagihan yang setiap kali dilihatkan jumlahnya semakin membengkak.

"Waktu itu biaya untuk kamar rawat inap saja harganya sebesar Rp250 ribu. Untuk biaya makan satu kali per orang harganya Rp.500,-," ungkapnya.

Menurut Kang Dudung, kenangan 33 tahun lalu itu menjadi semakin berharga jika kemudian dibandingkan saat ini, dimana harga satu porsi makan setara dengan 30 kali lipat dari harga yang dulu. Dan begitupun biaya rumah sakitnya.

"Terakhir kali, setelah 25 hari dirawat dan dibolehkan pulang. Pihak rumah sakit memperlihatkan jumlah tagihan, sekitar Rp 23 juta rupiah kalau harus dibayarkan," kenangnya.

Sepotong cerita bersama pak Harto itu berakhir, setelah kami dan anak diantar pulang ke Sukabumi oleh Paspampres.

Sampai hari ini, masih menggelayut di dada sebuah pertanyaan yang belum terungkap. Apakah waktu itu memang Presiden Soeharto mengadakan sebuah program yang ia kelola langsung untuk menjawab surat-surat dari masyarakat dan membantu langsung kebutuhannya. Jika iya, sungguh sesuatu yang tidak pernah terdengar dipubliksikan saat itu. Jikapun itu bukan sebuah program, terlebih kami menganggap itu sebuah mukjizat bagi kami dan sang anak yang hanya Allah SWT yang mampu membalasnya.

Dan Alhamdulillah, sepulang dari Harapan Kita, sang anak bisa sehat walaupun hanya hingga umur 7 tahun sebelum akhirnya dipanggil Allah swt untuk selamanya.

* Tulisan ini sekaligus mengenang kelahiran Presiden Soeharto  (8 Juni 1921)

Editor : Syamsul Hidayat

Tags :
BERITA TERKAIT