Sukabumi Update

Pantai Loji Sukabumi: Legenda Bajak Laut Culik Warga yang Kini Jadi Lautan Sampah

Kondisi lautan sampah di Pantai Loji dan sekitarnya di Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi, Rabu, 4 Oktober 2023. | Foto: SU/Ilyas Supendi

SUKABUMIUPDATE.com - Nama Pantai Loji seketika menjadi buah bibir masyarakat. Bukan karena keindahannya, namun lautan sampah yang memenuhi pesisir. Sudah sekitar sepekan mesin pencarian Google menandai pantai di kawasan Geopark Ciletuh Sukabumi ini dengan berita miring tentang kotornya wilayah tersebut.

Pantai Loji di Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi, termasuk pantai-pantai di sekitarnya di Kampung Cibutun, Desa Sangrawayang, viral di media sosial setelah Pandawara Group menyatakan sebagai yang terkotor nomor empat di Indonesia. Mereka kemudian menggagas kegiatan clean up pada 6-7 Oktober 2023.

Tetapi, aksi bersih-bersih lebih dulu dilakukan Kodim 0622/Kabupaten Sukabumi dengan mengajak masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Ini dilakukan sebagai salah satu rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (HUT TNI) ke-78. Clean up dilaksanakan selama empat hari mulai 4-7 Oktober 2023.

Sebagai informasi, Geopark Ciletuh Sukabumi atau Ciletuh-Palabuhanratu UNESCO Global Geopark (CPUGGp) tersebar di 74 desa di delapan kecamatan Kabupaten Sukabumi yakni Cisolok, Cikakak, Palabuhanratu, Simpenan, Waluran, Ciemas, Ciracap, dan Surade.

Sebenarnya, Pantai Loji dulu dikenal sebagai salah satu destinasi yang memiliki lanskap menarik karena berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Namun, selain keindahannya, Pantai Loji juga dianggap sebagai lokasi strategis untuk transportasi maupun pertahanan. Pada masa kekuasaan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), wilayah ini sering menjadi sasaran penculikan penduduk yang dilakukan oleh para bajak laut.

Bajak laut saat itu biasanya nelayan-nelayan jauh dari Bugis, Bali, Lombok, Maluku, yang mencari nafkah, lalu kesulitan dan gabung dengan teman-temannya yang lain di perantauan.

Pengamat sejarah Irman Firmansyah mengatakan sejak Gubernur Jenderal VOC Abraham van Riebeeck mendirikan pos (benteng) dengan penjagaan 12 serdadu di sekitar muara Sungai Cimandiri, akses perompak melalui muara tersebut tertutup. Alhasil mereka mengarahkan sasaran ke wilayah pantai timur yaitu sekitar Pantai Loji.

Baca Juga: Sampah di Pantai Loji Sukabumi, Bupati Duga Baju Cimol

Laporan pos penjagaan VOC di Cidadap muara Sungai Cimandiri pada 18 Mei 1779 menyebutkan bajak laut telah mendarat dan menculik sebagian penduduk di wilayah selatan pos. Lalu muncul kembali laporan pada 3 Maret 1780 yang mengatakan perompak datang dan menculik sebagian penduduk dari Ciseureuh (selatan pos).

Irman yang juga penulis buku "Soekaboemi the Untold Story" mengungkapkan bajak laut itu berkekuatan 200 orang sehingga masyarakat tidak mampu berbuat apa-apa. Akhirnya dikirim bantuan satu kapal bersenjata dari Semarang dan dua kapal bersenjata dari Bali. Namun tetap saja, keamanan sulit ditegakkan.

Pada Mei 1782, Bupati Cianjur melaporkan bajak laut kembali mendarat di pantai Jampang dan menculik beberapa warga, sehingga kemudian dikirim pasukan dari Batavia.

"Ketika mulai ramai wisata terutama sejak banyaknya masyarakat Hindia Belanda yang memiliki mobil, maka kunjungan wisata ke Pantai Loji sering dilakukan, selain juga kunjungan para peneliti seperti Max Bartels yang mendapatkan beberapa spesies di sekitar pantai tersebut. Salah satu wisata favorit pada masa itu adalah rakit untuk membawa para tamu dari Sungai Cimandiri ke muara sungai dan mendarat di Pantai Loji atau di pantai sekitar Gua Lalay (Goeha Tjandi)," kata Irman kepada sukabumiupdate.com, Jumat (6/10/2023).

RA Eekhout, pengusaha pertambangan dan konsesi kereta api serta menjadi orang Eropa yang dihormati di Palabuhanratu, kerap mengatur perjalanan wisata Cimandiri yang lebarnya memang dapat dilayari perahu dan sungai dapat menuju laut dengan mudah. Untuk menuju ke sana, para pengunjung dibawa dengan gerobak ke lokasi lebih tinggi, sekitar tiga paal jauhnya dari Pesanggrahan Palabuhanratu.

Di sana terdapat sebuah kampung yang dilengkapi banyak rakit yang dibuat dari beberapa batang pohon lalu dilubangi dan di atasnya diletakkan semacam anyaman bambu dengan atap sebagai peneduh. Rakit juga dilengkapi bangku dua baris kursi untuk pengunjung. Sementara terdapat rakit lain di sebelahnya dilengkapi gamelan dan rebana serta seruling yang dimainkan pemain musik dengan nada gembira yang tinggi untuk menghibur pengunjung selama mengarungi Sungai Cimandiri.

Baca Juga: Pandawara Bertemu Kades-Karang Taruna, Siap Kolab Bersihkan Pantai Loji Sukabumi

Rakit tidak perlu menggunakan dayung karena arusnya cukup kuat membawa pengunjung dengan lembut menuju laut. Selama perjalanan, musik mengiringi, sedangkan di kedua tepian masyarakat duduk dengan rasa ingin tahu menonton pertunjukan yang bagi mereka tidak biasa.

Angin sepoi-sepoi yang kencang dari laut bahkan menciptakan ombak kecil dan di kejauhan ombak menerjang pantai. Setibanya di muara sungai, perahu diberi pilihan untuk mendarat di Pantai Loji atau sekitar Gua Lalay.

Menurut Irman, sekitar Pantai Cibutun sempat dijadikan pusat untuk mengirim komoditas seperti karet dan padi yang dikapalkan melalui perusahaan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Mereka secara rutin melabuhkan kapalnya di dermaga tradisional Cibutun. Salah satu kapal yang tercatat mondar-mandir ke Cibutun adalah Steamer Boat atau kapal uap yang jadwal mendaratnya 23 Februari 1904.

Pantai Loji juga menjadi jalur transportasi lanjutan yang dibangun, mulai Bagbagan sampai Cibuntu untuk disambungkan dengan wilayah Jampang. Bahkan pada 1910 sempat muncul wacana semacam jalan tol di mana jalan Palabuhanratu-Pesawahan yang melewati Loji akan dikenakan pajak, tetapi wacana ini tidak dilaksanakan.

Sementara RA Eekhout sempat pula mendapatkan konsesi untuk membangun jalan kereta api listrik dari Ciletuh hingga Cisolok pada 1907 melalui Jalur Balekambang, Cikeueus, Citamiang, Cibutun, yang lanjut ke Palabuhanratu dan Cisolok.

Konsesi itu rencananaya dihubungkan dengan konsesi jalur Ciletuh-Bandung yang didapatkan melalui keputusan tanggal 9 Agustus 1907 Nomor 5 yaitu jalur yang dimulai dari Bandung melalui Cilampeni, Kopo, Cisondari, Ciwidey, Telaga Patengan, Leuweungdatar, Cipala, Pagelaran, Ciranjo, Kadupandak, Sagaranten, Ciasih, Tanyaguan, Cimanggu, Cicurug, dan Ciracap ke Balekambang dan terakhir Ciletuh. Sayangnya, tidak ada hasil dari dua konsesi ini.

"Setelah masa penerimaan diperpanjang beberapa kali, hingga akhirnya Eekhout meninggal dunia dan pupuslah harapan pembangunan jalan kereta api ke Palabuhanratu maupun Ciletuh," ujar Irman yang kini menjadi Ketua Yayasan Dapuran Kipahare.

Pada zaman Jepang, Pantai Loji menjadi salah satu basis pertahanan militer, mengingat posisinya yang strategis untuk menyergap kapal maupun pesawat musuh yang datang dari Australia. Jepang pun membangun bungker di sekitar Kampung Loji yang dilengkapi meriam dan menempatkan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang dilatih di Bogor untuk mengamankan wilayah Palabuhanratu.

Salah satu tokoh Sukabumi yang terlibat saat itu adalah Edi Sukardi. Dia ditempatkan di lapangan terbang bekas Belanda di dekat Rawakalong.

Pada masa revolusi fisik, meriam peninggalan Jepang dari Palabuhanratu dibawa ke perkebunan Teh Bukanegara, di mana sekelompok orang membuka front dipimpin Bratamenggala. Prosesnya lama hingga tiga bulan karena sulit dan jauh. Meriam tersebut sempat ditembakkan ke lapangan terbang Andir (sekarang menjadi Bandara Husein Sastranegara). Namun menurut kabar, saat tembakan kedua meriam macet.

Editor : Oksa Bachtiar Camsyah

Tags :
BERITA TERKAIT