Sukabumi Update

Korupsi 5,4M Insentif Nakes Sukabumi, Koruptor Dana Covid-19 Dihukum Mati?

Ilustrasi | Korupsi Dana Insentif COVID-19 di Sukabumi, Pelaku Terancam Hukuman Mati? | Foto: Istimewa

SUKABUMIUPDATE.com - Kasus Korupsi Dana Insentif Covid--19 di Sukabumi tengah ramai dicari warganet usai salah seorang pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) RSUD Palabuhanratu ditangkap polisi. PPPK RSUD Palabuhanratu berinisial HC itu ditetapkan sebagai tersangka karena diduga merugikan keuangan negara hingga Rp 5,4 miliar.

Kasus Korupsi Dana Insentif Covid--19 di Sukabumi ini diungkap oleh Ditreskrimsus Polda Jawa Barat. Lebih lengkapnya yaitu kasus korupsi penyalahgunaan dana anggaran insentif tenaga kesehatan (nakes) yang menangani Covid-19 pada UPTD RSUD Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi tahun anggaran 2020 dan 2021 lalu. 

Kabid Humas Polda Jabar Kombes Ibrahim Tompo mengatakan tersangka berinisial HC, mantan Kepala Ruangan Covid-19 RSUD Palabuhanratu. HC ditangkap berdasarkan pengembangan penyelidikan dari laporan polisi nomor: LPA/361/VI/2022/SPKT. DITRESKRIMSUS/POLDA JABAR, tanggal 3 Juni 2022.

Baca Juga: 8 Penyebab Orang Memiliki Sifat Jahat, Ada Faktor Psikologis!

Saat pandemi Covid-19 tahun 2020 lalu ramai dibahas tentang apakah pelaku korupsi dana Covid-19 dihukum mati. Kasus korupsi dana Covid-19 lantas dikaitkan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Ketentuan tersebut diuraikan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (2) nya yang menentukan bahwa dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Mengacu laman LLDIKTI Kemdikbud, Rizky Pratama Putra Karo Karo, S.H., M.H. Dosen dari Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), menyebut, memberantas korupsi harus dimulai dari diri sendiri dan keluarga (eliminating corruption starts with ourself and family). Hal itu, kata Rizky, didasarkan pada teori keadilan bermartabat.

Rizky turut menjelaskan terkait frasa "Keadaan Tertentu" yang tercantum dalam UU Tipikor.

“Keadaan tertentu sebagaimana dalam penjelasan pasal ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku,” kata Rizky, dikutip dari lldikti5.kemdikbud.go.id, Jumat (29/12/2023).

Keadaan tertentu, lanjut Rizky, dapat terjadi pada waktu bencana alam nasional, ketika terjadi pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Baca Juga: 10 Ciri Anak Memiliki Sifat Buruk, Bunda Perhatikan Sikapnya!

Masih soal ancaman pidana mati bagi pelaku korupsi dana Covid-19, Fifink Praiseda Alviolita, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram (UWM) turut menjelaskan soal Pro Kontra hukum mati tersebut.

“Korupsi memiliki beberapa klasifikasi makna seperti suatu hal yang merugikan keuangan negara, suap, penggelapan jabatan, pemerasan, perbuatan curang, kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Sementara potensi korupsi selama penanganan Covid-19 terjadi mulai dari alokasi pemanfaatan anggaran, perubahan biaya pembelanjaan, kolusi dengan penyedia layanan alat medis, penyaluran bantuan, hingga tidak adanya transparansi data dari penyumbang pihak ketiga,” jelas Fifink.

Hakim, kata Fifink, memiliki pertimbangan dalam penjatuhan vonis pidana mati.

Pertimbangan vonis pidana mati tersebut, yakni faktor yuridis (yang terungkap di persidangan) dan faktor non yuridis. Keputusan dari hakim pasti sudah memenuhi unsur keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

Baca Juga: 12 Ciri Orang Memiliki Sifat Jahat, Apa Kamu Termasuk?

Sebelumnya diberitakan, polisi telah menetapkan seorang pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK di RSUD Palabuhanratu Sukabumi berinisial HC sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana Covid-19 hingga Rp 5,4 miliar.

Ditreskrimsus Polda Jabar Kombes Pol Deni Okvianto mengatakan, dalam menjalankan aksinya, tersangka HC yang saat itu menjabat sebagai Kepala Ruangan Covid-19 RSUD Palabuhanratu, mengajukan nama-nama nakes yang tidak menangani pasien Covid-19 untuk mendapatkan insentif APBN dan APBD tahun 2020-2021.

Setelah cair, lanjut Deni, dana tersebut diserahkan kepada para penerima dan diminta kembali oleh tersangka dengan alasan akan digunakan sebagai uang kas ruangan Covid-19.

Selain itu, Deni mengatakan, sebagian dana diberikan kepada Nakes dan Non-Nakes serta untuk memenuhi kebutuhan pribadi tersangka dan membeli kendaraan.

“Penggunaannya tidak sesuai yang ditetapkan,” ujar Deni kepada awak media dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Kamis (28/12/2023).

Hasil audit BPKP Jawa Barat, Deni menyebut, Negara mengalami kerugian mencapai Rp 5.400.557.603,-.

Adapun hukuman pelaku kasus korupsi dana Covid-19 di Sukabumi, menurut keterangan polisi, tersangka HC diancam Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman maksimal hukuman penjara seumur hidup dengan denda paling tinggi Rp 1 miliar.

Editor : Nida Salma

Tags :
BERITA TERKAIT