Sukabumi Update

99 Tahun Lalu, AIMEM Jadi Perusahaan Tambang Pertama yang Mengeksplorasi Sukabumi

Ilustrasi pertambangan di Sukabumi saat zaman pemerintahan Belanda. | Foto: Meta AI

SUKABUMIUPDATE.com - Sembilan puluh sembilan tahun lalu, tepatnya Desember 1925, perusahaan tambang yang didirikan di Batavia, NV Algemeene Industrieele Mijnbouw en Exploitatie Maatschappij (AIMEM), memenangkan tender untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi mineral di wilayah selatan Kabupaten Sukabumi.

Peristiwa itu adalah rangkaian dari kebijakan Belanda yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi di area 900 hektare melalui keputusan nomor 10 (Staatsblad 418). Hal ini diperkuat oleh laporan berjudul: Uitkomsten van de mijnbouwkundig-geologische onderzoekingen in de Djampangs (hasil investigasi geologi pertambangan di Jampang).

Pemerintah kolonial saat itu meminta pihak yang ingin melakukan eksplorasi dan eksploitasi agar melakukan penawaran sebelum 1 Juni 1925 di kantor Kepala Dinas Pertambangan di Departemen Perusahaan Pemerintah di Bandung. Diketahui, titik pasti lahan seluas 900 hektare untuk pertambangan ini adalah Jampangkulon dan Palabuhanratu.

Awalnya banyak perusahaan tambang besar yang akan mengikuti tender seperti BillitonMij dan Erdmann & Sielcken. Tetapi pemerintah Belanda sedikit protektif dan mengharapkan persentase yang cukup. Pada Desember 1925, terpilihlah satu-satunya kandidat yakni AIMEM.

Perjanjian yang akan disimpulkan dilakukan berdasarkan kontrak penerimaan yang diketahui, di mana negara dijamin dengan bagian minimal 10 persen dari hasil bersih yang dapat meningkat menjadi 20 persen apabila sudah beroperasi. Kontrak ditandatangani pada 22 Februari 1926 oleh WL Kramers sebagai pemegang konsesi AIMEM.

Baca Juga: Perusahaan Membantah, Jalan Panjang Pembuktian Tambang Penyebab Bencana di Sukabumi

Kontrak itu berisi seputar eksplorasi dan eksploitasi tambang emas, perak, timah, seng, tembaga, besi, dan belerang, dalam batas yang ditentukan dalam Pasal 1 Keputusan Pemerintah tanggal 16 September 1924 Nomor 24. Lahan yang ditetapkan untuk reklamasi bahan galian ini adalah Kecamatan Palaboehan dan Djampang-Koelon.

Pengamat sejarah Sukabumi Irman Firmansyah mengatakan hampir sepuluh tahun perusahaan AIMEM melakukan penambangan, namun hasilnya tidak memuaskan. Secara hitungan bisnis, emas yang didapatkan tersebut kadarnya tidaklah menguntungkan, sehingga pada Juli 1935 izin dikembalikan ke pemerintah dan penambangan resmi dihentikan.

Dari tanggal yang disebutkan, kontrak dengan pemerintah berdasarkan Pasal 5a Undang-Undang Pertambangan India untuk eksplorasi dan pengembangan mineral di wilayah itu yang telah dicadangkan bagi pengembangan oleh pemerintah, akhirnya dihentikan. Tambang lalu ditinggalkan, sedangkan AIMEM melanjutkan proyek di wilayah lain.

"Pemerintah akhirnya lebih fokus terhadap tambang emas di Cikotok yang aksesnya bisa dilakukan melalui Sukabumi. Bekas tambang Ciemas (dan wilayah Pajampangan secara umum, termasuk Palabuhanratu) kemudian menjadi lokasi penambangan tradisional masyarakat yang disebut gurandil. Meski secara bisnis bagi perusahaan besar dianggap tidak menguntungkan, tetapi oleh rakyat kecil dianggap berkah karena bisa didapatkan cuma-cuma. Sebab diperkirakan masih banyak wilayah Sukabumi yang mempunyai kandungan emas, maka tak heran jika hingga kini banyak penduduk yang menyebar dan menjadi gurandil. Mengadu nasib sebagai penambang emas tradisional," ujar Irman kepada sukabumiupdate.com.

Baca Juga: Isu Tambang di Balik Bencana, Membaca Sejarah Penemuan Emas di Selatan Sukabumi

Surga Emas di Sukabumi

Sejarah terpilihnya AIMEM untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan, khususnya emas, tidak akan pernah terlepas dari bagaimana potensi ini ditemukan. Pada masa kerajaan, bahkan jauh sebelumnya, logam mulia berwarna kuning tersebut sudah menjadi perhiasan. Tentu, emas saat itu masih ditambang dengan cara kuno. Konon, seribu tahun lalu, banyak imigran Cina yang datang ke Sukabumi untuk menambang emas.

Irman menyebut temuan emas di Sukabumi juga bukan tidak sengaja. Belanda yang sudah lama mengincar emas Sukabumi dari cerita-cerita dan naskah kuno seperti epik Hindu Ramayana, misalnya, menyebutkan: "Dengan hati-hati menembus Jawadwipa, dihiasi tujuh kerajaan, pulau emas dan perak, kaya akan tambang emas". Kemudian prasasti bertahun 732 Masehi, ditemukan di Kedu, juga mengatakan tentang Jawa yang "kaya akan tambang emas" (P.J. Veth).

"Bahkan katanya (dalam kisah di tempat yang lain), Gunung Salak berasal dari kata Salaka yang artinya perak karena mengandung perak dan emas," kata Irman yang juga penulis buku Soekaboemi the Untold Story.

Masyarakat Sukabumi telah mengenal cara mendulang emas sejak lama karena pendulangan di sungai sudah banyak terjadi, terutama di Jampangtengah. Warga menyebutnya emas karang yaitu emas dari pasir yang didulang menggunakan pelat kayu. Belanda pun semakin tergiur untuk mendapatkan emas dan selanjutnya melakukan penelitian di Sukabumi selatan sejak 1888, terutama di daerah Pajampangan yang dicurigai kuat sumber emasnya.

Keterangan itu diperoleh berdasarkan laporan masyarakat yang juga sempat menambangnya secara tradisional, khususnya di Jampangtengah, Jampangkulon, dan Palabuhanratu. Salah satu incaran belanda adalah Ciemas yang dari toponiminya berarti tempat yang ada sumber emas.

Irman menyebut Belanda akhirnya mulai mendapatkan titik terang dari informasi penduduk Pajampangan tentang tambang kuno di wilayah Ciemas, yaitu perkebunan yang masuk Onderneming Tjiemas. Masyarakat sekitar juga diduga memiliki kemampuan menambang emas secara tradisional menggunakan cara mistis dengan menentukan hari dan menunggu wangsit.

Tambang kuno itu berada di dalam perkebunan berupa gua kuno sepanjang 70 meter. Selain itu, ditemukan pula sumber emas di Perkebunan Surangga sehingga mulailah para peneliti dikirim dalam jumlah besar untuk melakukan penelitian. Laporan awal pada 1922 cukup menggembirakan karena terdapat kadar emas mulai 15 hingga 20 gram per ton tanah. Namun penelitian tersebut tidak berjalan mulus karena kadar emas diperkirakan kurang bagus. Menurut laporan Juli 1923, penelitian dihentikan dan dialihkan ke penelitian timah di Riau.

Tetapi dalam beberapa bulan kemudian, muncul banyak laporan tentang keberadaan emas di wilayah Pajampangan, meskipun dipertanyakan oleh Volksraad (semacam dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda) dan dibantah oleh pemerintah. "Sepertinya Belanda juga menangani setiap informasi emas ini secara rahasia dan menghindari perebutan lahan tambang." ujar Irman.

Pada April 1924, muncul laporan ilmiah berjudul "Uitkomsten van de mijnbouwkundig-geologische onderzoekingen in de Djampangs" mengenai urat emas Jampang yang menyebutkan emas Jampang sama jenisnya dengan emas di Rejang Lebong dan Tambang Sawah. Hal ini akhirnya menimbulkan semangat baru sehingga beberapa perusahaan swasta mendaftar untuk melakukan eksplorasi.

Wacana terus berkembang. Laporan-laporan menyebutkan pula temuan bijih perak, sulfida, seng, dan lain-lain. Ini menguatkan kualitas emas Pajampangan yang layak untuk ditambang.

Editor : Oksa Bachtiar Camsyah

Tags :
BERITA TERKAIT