SUKABUMIUPDATE.com - Proses eksekusi lahan seluas 1,2 hektar di Kampung Cangehgar RT 02/02, Kelurahan/Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, pada Rabu (22/1/2025), memanas. Warga yang merasa dirugikan memberikan perlawanan ketika petugas mulai membongkar bangunan mereka dengan alat berat.
Sebanyak 21 Kepala Keluarga (KK) terdampak eksekusi ini, yang dilakukan berdasarkan surat Pengadilan Negeri (PN) Cibadak bernomor 124/KPN.W11-U18/HK2.4/I/2025 tentang pengosongan lahan.
Ratusan petugas gabungan dari TNI/Polri, Brimob, Satpol PP, dan pihak terkait dikerahkan untuk mengamankan eksekusi. Ekskavator digunakan untuk meratakan bangunan, termasuk rumah dan warung warga, yang memicu protes keras dari sejumlah penghuni.
Hasan Dinata (55), salah satu warga terdampak, mengaku telah menetap selama 18 tahun di lokasi tersebut. Ia membeli lahan seluas 1.000 meter persegi secara resmi dengan Surat Penguasaan Hak (SPH) dari pemilik sebelumnya.
"Dulu saya beli kurang lebih 300juta lebihan lah, seluas 1.000 meter, ke pak Jemi Deka Kuraes habib umar almarhum ada kuitansinya," kata Hasan.
Baca Juga: Rumah Pengacara di Palabuhanratu Sukabumi Diteror, Dilempar Batu Berisi Ancaman
Hasan juga menyebutkan bahwa meskipun warga mayoritas tinggal ditempat tersebut puluhan tahun tapi warga tidak memiliki sertifikat tanah karena lahan tersebut sebelumnya merupakan bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) PT Anugrah Jaya. Setelah masa HGU berakhir, lahan ini disebut-sebut diberikan kepada warga sebagai hibah.
"Kalau sertifikat tidak punya, cuman SPH, Oper garapan, dari HGU dulu tahun 1967 kalau gak salah, di kasih hibah dari HGU ke masyarakat, cuman masyarakat kan ada yang di jual sebagian, nah SPH punya AJA punya, SPPT bayar pajak setiap tahun berikut saya dari tahun 2007 sampai 2014 bayar pajak, tiap tahun," kata Hasan.
Sementara itu, Baden (60), salah satu warga terdampak, mengungkapkan kekecewaannya pasalnya ia megaku tidak pernah menerima surat apapun dari pihak pengadilan terkait warungnya yang akan di menjadi objek eksekusi.
"Rumah saya di belakang memang dapat surat eksekusi, tapi warung ini tidak menerima surat karena ini tanah Bina Marga, tanah PU, patoknya jelas. Kalau memang ada surat dari PU, saya tidak masalah, tapi ini tidak ada pemberitahuan apa pun," kata dia.
Baca Juga: Sengketa Tanah di Desa Mekarsari Sukabumi, Apa Itu Konstatering?
Baden mengaku telah tinggal di lokasi tersebut selama 20 tahun dan memiliki dasar hukum berupa Surat Penguasaan Hak (SPH). "Dasar saya tinggal dan bangun rumah ada SPH dari Habib Umar," ucapnya.
Di tempat yang sama, Ibu Nani, pemilik warung yang sudah berdiri puluhan tahun, mengaku sedih saat melihat warungnya dirusak tanpa pemberitahuan sebelumnya. "Surat pemberitahuan hanya untuk rumah di belakang, tapi untuk warung ini tidak ada sama sekali," ungkap Ibu Nani.
Menurutnya, warung tersebut merupakan sumber penghidupan keluarga sejak lama. "Dari anak saya kecil sampai sekarang sudah SMA, saya mengandalkan warung ini. Sekarang gimana caranya saya bisa jualan lagi?" tambahnya.
Meski rumahnya menerima surat pemberitahuan eksekusi, Ibu Nani merasa warungnya tidak seharusnya ikut diratakan karena tidak termasuk dalam objek eksekusi. "Saya gak tahu kenapa warung ini juga dihancurkan. Ini bukan objek eksekusi," tegasnya.
Sementara itu, Pengacara pemohon dari Yudi Iskandar, Habib Ahmad Yadzi Alaydrus, mengatakan bahwa, proses eksekusi ini sudah diajukan sejak September 2023, namun baru terlaksana tahun 2025.
Baca Juga: Sengketa Tanah di Cianjur, BPN Jabar dan Polda Lakukan Investigasi
"Sebelum melakukan eksekusi, kami sudah berusaha melakukan pendekatan persuasif, mendatangi warga, menanyakan asal-usul mereka, dan mengupayakan solusi bersama," ungkapnya.
Namun, pendekatan tersebut menemui kebuntuan ketika warga meminta ganti rugi sebesar Rp2 juta per meter, yang dianggap di luar kemampuan pemohon. "Kami sudah menawarkan ganti rugi secara kerohiman di pengadilan, tapi mereka menolak. Inilah yang menjadi titik buntu," jelas Yazdi.
Yazdi juga menyoroti indikasi adanya sindikasi mafia tanah yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat. "Ada oknum yang menjual tanah ini kepada warga, menjanjikan bisa disertifikatkan, padahal sudah ada sertifikat atas nama Yudi Iskandar sejak 2001. Mereka mengambil uang warga dengan jumlah bervariasi, mulai dari Rp200 juta hingga Rp350 juta," katanya.
Ia juga meminta kepada warga korban pengusuran untuk melaporkan oknum yang menjual tanah tersebut ke kepolisian. "Kami siap membantu mereka dengan pengacara gratis agar uang yang diserahkan bisa dikembalikan," tambahnya.
Menanggapi tudingan warga bahwa sertifikat milik Yudi Iskandar cacat administrasi karna memiliki NIP ganda, Ahmad mengutip jawaban resmi dari BPN Sukabumi.
Baca Juga: Menara Loji Jatinangor, Saksi Sejarah Tuan Tanah Jerman di Industri Karet Jawa Barat
"BPN sudah menyatakan bahwa penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1887 atas nama Yudi Iskandar sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik secara teknis maupun yuridis. Jika ada pihak yang merasa keberatan, mereka dipersilakan menggugat ulang sesuai aturan hukum yang berlaku," terangnya.
Yazdi juga menegaskan bahwa masalah ini sudah diuji di berbagai tingkatan pengadilan, termasuk Mahkamah Agung dan Peninjauan Kembali (PK). "Semua proses hukum sudah dilakukan dan keputusan telah berkekuatan hukum tetap," ujarnya.
Editor : Syamsul Hidayat