Sukabumi Update

Harapan Penyintas dan PR Pemerintah dalam Penanganan Pascabencana Sukabumi

Kondisi di Kampung Cieurih, Desa Datarnangka, Kecamatan Sagaranten, Kabupaten Sukabumi yang terdampak bencana banjir bandang luapan sungai Cikaso. (Sumber Foto: SU/Ragil Gilang)

SUKABUMIUPDATE.com - Suasana subuh hari yang tenang dan sejuk karena diguyur hujan tiba-tiba berubah menjadi momen penuh kepanikan bagi Suryadi (31 tahun) dan keluarganya. Rumah mereka yang berlokasi di Kampung Nangewer, Desa Neglasari, Kecamatan Purabaya, Kabupaten Sukabumi, tiba-tiba terendam banjir pada Rabu 4 Desember 2024 sekitar pukul 05.00 WIB.

Wilayah itu memang baru saja dilanda hujan lebat selama 3 hari berturut-turut. Ketinggian air dari luapan sungai Cikaso yang sudah mencapai pinggang orang dewasa, membuat Suryadi bergegas mengevakuasi anak dan istrinya untuk mengungsi sementara ke Kampung Jabir yang saat itu dianggap sebagai lokasi yang lebih aman.

“Saya tentu saja mengevakuasi keluarga dan menyelamatkan apapun yang ada di rumah yang terdampak banjir. Saat itu ada beberapa juga rumah yang lokasi nya tidak jauh dari rumah saya, saya bantu evakuasi juga, barang-barang seperti padi, yang bisa dikeluarkan ya dikeluarkan dulu,” ujarnya kepada sukabumiupdate.com di lokasi pengungsian yang terletak di SMPN 4 Purabaya, Rabu (22/1/2025).

Baca Juga: Kaleidoskop Berita Viral di Indonesia Sepanjang Tahun 2024: Joget Sadbor Hingga Bencana Sukabumi

Banjir itu ternyata memicu pergerakan tanah. Berdasarkan data yang dihimpun dari Petugas Penanggulangan Bencana Kecamatan (P2BK) Purabaya, bencana tersebut tak hanya melanda Kampung Nangewer, namun juga 3 kampung lainnya di Desa Neglasari, yakni Jabir, Ciputat, dan Karikil dengan total 215 Kepala Keluarga (KK) atau 712 jiwa terdampak, termasuk Suryadi.

"Awalnya saat pukul 05.00 WIB air itu mulai naik. Saya keluar rumah itu karena banjir saat itu ketinggiannya sudah mencapai pinggang orang dewasa, jadi belum sempat ada pergerakan tanah. Kejadian pergerakan tanah itu perkiraan saat itu jam 07.00-08.00 WIB," ungkap Suryadi.

Karena Kampung Jabir juga terdampak pergerakan tanah, Suryadi dan keluarga kembali mengikuti arahan Kepala Dusun setempat untuk mengungsi. Kala itu diarahkan di Sekolah Dasar (SD) Negeri Kalibunder. Setelah sebulan mengungsi di lokasi tersebut, ia dan puluhan keluarga lainnya kemudian diarahkan Kepala Desa untuk mengungsi di tiga ruang kelas di SMPN 4 Purabaya hingga saat ini.

“Saya merasakan dampak yang sangat besar khususnya dari segi ekonomi, rumah saya saat ini sudah rusak betul-betul parah dan tidak bisa dihuni. Retakannya parah, bahaya dan oleh pemerintah dihimbau untuk tidak tinggal di rumah lagi,” ujarnya.

Ratusan warga Kecamatan Purabaya Kabupaten Sukabumi mengungsi akibat pergerakan tanah.Ratusan warga Kecamatan Purabaya Kabupaten Sukabumi mengungsi akibat pergerakan tanah.

Setelah hampir dua bulan di lokasi pengungsian, warga mulai dilanda kejenuhan. Meskipun keperluan logistik aman, Suryadi berharap ada kajian segera terkait dampak pergerakan tanah, untuk menentukan apakah mereka dapat kembali ke rumah atau perlu direlokasi.

“Kalau untuk logistik, alhamdulillah masih aman, ya mungkin yang paling kami butuhkan itu kedatangan dari tim geologi itu, ingin buru-buru ada pemeriksaan ke tempat kami yang terdampak, sehingga nanti ada kejelasan apakah kami masih bisa tetap tinggal di sana atau butuh direlokasi,” ucapnya.

“Harapannya itu, pengen cepat pemeriksaan aja itu dari tim geologi, apakah tempat kami yang terkena bencana itu masih layak huni atau tidak, biar kedepannya bisa cepat-cepat pulih lagi. karena saya sendiri juga bosan di pengungsian,” imbuhnya.

Keinginan agar segera ada kajian Badan Geologi juga disampaikan langsung oleh para pengungsi lain, salah satunya Dalung (44 tahun). Ia tak ingin terus tinggal di lokasi pengungsian tanpa ada kejelasan terkait nasibnya kedepan.

“Keinginan saya dan kami semuanya itu sebetulnya ingin dipercepat saja upaya untuk memeriksa kampung kami oleh tim geologi, saya pengen jelas kesimpulannya bagaimana. Jadi kalau memang tempat kami yang dulu masih bisa ditempati, maka kami akan segera pindah dan sedikit demi sedikit membangun lagi. Tapi kalau memang harus di relokasi ya kami harus menunggu sampai kapan ya, kami ingin kejelasannya,” kata dia.

Dalung mengaku takut bila di desanya terjadi bencana seperti ini lagi kedepannya terdapat korban jiwa. Pasalnya sebagian pengungsi sudah ada yang kembali ke rumah mereka masing-masing.

“Makanya secepatnya ingin segera diperiksa kampung kami yang terdampak, soalnya sebagian pengungsi sudah ada yang kembali ke rumahnya juga, tapi kalau saya tetap di pengungsian, menurut kepada pemerintah,” ungkapnya.

Selama tinggal di pengungsian, Dalung menyebut banyak bantuan berdatangan. Bahkan sebagian warga yang dulunya mengungsi bersamanya tapi kini mereka mengontrak atau tinggal di rumah saudara juga menurutnya turut kebagian bantuan logistik tersebut.

"Kan kalau di pengungsian itu, pembagian logistik itu sering menjadi masalah, sehingga pemerintah desa memutuskan apabila ada bantuan logistik masuk dari luar itu dikumpulkan dulu di kantor desa, sehingga apabila nanti logistiknya sudah cukup untuk dibagikan secara merata kepada masyarakat, baru dibagikan oleh desa, sehingga adil semuanya kebagian. Alhamdulillah sistem ini sangat membantu untuk kami dari desa yang telah mengatur sedemikian rupa,” kata dia.

Suryadi juga mengaku sangat terbantu khususnya bantuan dari pemerintah Kabupaten Sukabumi, juga logistik hasil dari donasi-donasi berbagai pihak yang peduli terhadap para pengungsi. "Sangat terbantu, kesehatan, pendidikan juga, di sini ada pengecekan kesehatan rutin satu minggu sekali,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Desa Neglasari, Lili Rahman, mengungkapkan bahwa hingga saat ini total masih ada 156 KK yang mengungsi. Dari jumlah tersebut, 95 KK atau sekitar 234 jiwa masih tinggal di salah satu ruang kelas SMPN 4 Purabaya, sementara sisanya menumpang di rumah kerabat dan keluarga.

Ia juga menegaskan bahwa pihaknya telah menyampaikan aspirasi masyarakat terkait relokasi kepada Camat Purabaya agar segera dilakukan kajian oleh Badan Geologi PVMBG, dan kepada Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi.

"Keinginan kami dan warga sudah disampaikan, tinggal menunggu tindak lanjutnya. Masyarakat terdampak berharap agar proses kajian dapat segera dilakukan, kalaupun ada kemungkinan relokasi bisa dipercepat agar mereka tidak terus-menerus hidup dalam ketidakpastian," ujar Lili.

Jalan Panjang Penanganan Pascabencana dan Nasib Mitigasi

Diketahui, tak cuma di Desa Neglasari atau Kecamatan Purabaya, hampir seluruh wilayah Kabupaten Sukabumi pada Rabu (4/12/2024) itu terkena hantaman banjir bandang, pergerakan tanah hingga longsor. Membuat Pemerintah setempat akhirnya memutuskan untuk menetapkan masa tanggap darurat bencana (TDB) di 39 kecamatan selama dua pekan, terhitung dari 4 sampai 17 Desember 2024.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi pada Sabtu (4/1/2025), tercatat sebanyak 42 dari 47 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dilanda 1.488 kejadian bencana selama masa TDB tersebut. Bencana itu terdiri dari pergerakan tanah 792 kejadian, tanah longsor 359 kejadian, banjir 296 kejadian dan angin kencang 42 kejadian.

Selain menelan 10 orang korban jiwa dan dua orang hilang, bencana yang menimpa kabupaten terluas di Jawa Barat itu membuat 23.346 jiwa terdampak dengan 7.834 di antaranya mengungsi, kemudian 9.591 rumah rusak, 1.602 rumah terendam, 660 rumah terancam hingga 452 fasilitas umum terdampak dengan total taksiran kerugian mencapai Rp180 miliar. Bencana ini juga berdampak terhadap sejumlah infrastruktur jalan baik di ruas jalan nasional maupun jalan provinsi.

Kondisi rumah ambruk yang menimpa Aden Dafa (11) di Kampung Cisarakan, RT 22/09, Desa Loji, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi | Foto : Ilyas SupendiKondisi rumah ambruk akibat tertimpa longsor  di Kampung Cisarakan, RT 22/09, Desa Loji, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi | Foto : Ilyas Supendi

Kegiatan penanganan pascabencana merupakan salah satu aspek krusial dalam tiga fase penanggulangan bencana, yang mencakup pencegahan dan kesiapsiagaan, penanganan kedaruratan, serta rehabilitasi dan rekonstruksi.

Ketika bencana telah usai, perhatian harus difokuskan pada pemulihan dan pembangunan kembali agar masyarakat yang terdampak dapat kembali hidup normal dan bahkan lebih tangguh daripada sebelumnya.

Upaya tersebut tengah dilakukan Pemerintah Kabupaten Sukabumi yang dibantu Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Saat ini, kondisi penanganan yang semula tanggap darurat, sudah memasuki masa peralihan ke transisi ke pemulihan. Hal ini tertuang dalam penetapan SK Bupati No. 300.2.1/kep.1009/BPBD/2024.

Percepatan Pembangunan Hunian Tetap (Huntap) bagi penyintas kemudian fokus utama ketiga intansi tersebut dengan digelarnya Rapat Koordinasi (Rakor) di aula Sekretariat Daerah Kabupaten Sukabumi, Palabuhanratu pada Rabu 8 Januari 2025. Dalam pertemuan itu, sinkronisasi data jadi pembahasan agar dana siap pakai (DSP) dari pemerintah pusat yang dipakai sebagai bantuan stimulan untuk pembangunan Huntap bisa lancar, akuntabel, dan tepat sasaran.

Oleh karena itu, data kerusakan rumah dari BPBD di atas dapat mengalami perubahan, sejalan dengan proses verifikasi di lapangan yang masih berjalan hingga saat ini.

Dalam arahannya, Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto menekankan untuk pemerintah daerah segera proses pendataan terhadap rumah rusak di selesaikan berdasarkan tingkat kerusakan dan domisili warga. Dengan begitu, masa peralihan transisi darurat ke pemulihan dapat berjalan dengan baik. 

“Tim di lapangan telah memeriksa langsung kerusakan rumah. Hasilnya akan dilaporkan ke BNPB untuk diajukan ke Kementerian Keuangan,” ujar Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto.

Rakor percepatan pembangunan hunian tetap untuk bencana Sukabumi.Rakor percepatan pembangunan hunian tetap untuk bencana Sukabumi.

Ia menegaskan pentingnya koordinasi yang solid antara pemerintah pusat dan daerah agar proses pembangunan Huntap berjalan efisien, sesuai data by name by address. Proses pembangunan Huntap sendiri akan dilakukan bertahap, mengingat jumlah kerusakan yang signifikan.

“Untuk rumah rusak berat, stimulan yang diberikan adalah Rp60 juta, dengan desain rumah sederhana sehat tahan gempa,” jelasnya.

Terpisah, Sekretaris Daerah Kabupaten Sukabumi Ade Suryaman mengatakan, bahwa pascabencana terjadi, tahapan koordinasi dan kolaborasi untuk membantu masyarakat yang terdampak bencana sudah dilaksanakan. Hanya saja. sinkronisasi data terkait kerusakan rumah tersebut agar anggaran perbaikan dan pembangunan hunian yang tepat sasaran, masih menjadi pekerjaan rumah (PR).

"Sebetulnya kan sudah langkah-langkah dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi, termasuk juga bantuan dari BNPB. Baik itu BNPB, Pak Gubernur (Jabar) sendiri, dari Kementerian juga sudah pada turun ya, termasuk Pak Wapres (Gibran Rakabuming), waktu itu meninjau lokasi (bencana pergerakan tanah) yang di Cikembar. Jadi, sebetulnya tahapannya koordinasi, kolaborasi, itu sudah dilaksanakan," kata Ade kepada sukabumiupdate.com pasca Rakor.

"Saat ini, yaitu adalah masa transisi ke pemulihan. Kan kita, kalau pendataan awal itu ada 9.591 rumah. Itu termasuk rusak ringan, sedang dan berat. Tapi, sampai hari ini kan lagi telah dilaksanakan pendataan. Kita sinkronisasi, nanti diajukan ke BNPB. Karena mungkin saja pada waktu misalnya asesmen ke lapangan, ternyata yang rusak berat itu tidak sekian misalnya. Jadi datanya nanti yang menentukan dari tim asesmen," sambungnya.

Ade menjelaskan tim asesmen tersebut berjumlah 120 orang yang dibagi dalam 60 tim. Mereka terdiri dari unsur TNI, Polri, pemerintah daerah hingga mahasiswa dari dua kampus di Sukabumi. "Jadi 1 tim itu ada 2 orang untuk pendataan ke lapangan," tuturnya.

Lebih lanjut Sekda menyampaikan bahwa pengungsi bencana mayoritas merupakan penyintas pergerakan tanah, dengan jumlah terbanyak berada di Kecamatan Pabuaran dan Purabaya. Data BPBD terakhir mencatat, total 1.429 rumah mengalami kerusakan di dua wilayah itu.

"Kemarin itu (pengungsi) di angka masih 7 ribuan, tapi sudah berangsur berkurang. Kebanyakan (pengungsi) itu pergerakan tanah, karena kalau misalnya banjir sih sudah pada kembali ke rumah masing-masing. Yang korban pergerakan tanah pada waktu misalnya mereka mau ngisi rumahnya, karena rumah itu misalnya di lahan yang pergeseran, pergerakan, jadinya susah kembali. Yang paling banyak (pengungsi) yang kita pantau itu sekarang Pabuaran dan Purabaya," tambahnya.

Meski belum mendapat hasil kajian badan geologi secara resmi, Sekda Ade memastikan para pengungsi pergerakan tanah untuk direlokasi. Salah satunya di Kecamatan Pabuaran, hunian sementara tengah dibangun berdasarkan dana yang dikumpulkan para relawan kemanusiaan.

"Kemarin kita sudah juga berkumpul dengan para relawan. Sudah banyak yang ingin membantu, ingin membuat hunian sementara. Tapi ini hasil kajian dari badan geologinya belum turun. Tadi saya sampaikan ke BNPB dan BPBD Provinsi Jabar, minta bantuan supaya ke badan geologi, supaya agak cepat dilakukan," ujarnya.

Sekda Ade Suryaman saat konferensi pers terkait bencana alam yang menerjang Kabupaten Sukabumi. | Foto: IstimewaSekda Ade Suryaman saat konferensi pers terkait bencana alam yang menerjang Kabupaten Sukabumi. | Foto: Istimewa

Ade kemudian mengungkap tantangan yang diadapi oleh pemerintah daerah dalam penanggulangan pascabencana, salah satunya terkait keterbatasan personel kebencanaan.

"Sebetulnya, satu memang SDM (Sumber Daya Manusia) kurang, yang keduanya, kita transportasi. Karena wilayah kita sangat luas. Jadi jaraknya pada jauh-jauh, berbeda dengan misalnya dulu kejadian itu hanya mungkin satu kecamatan, satu desa. Kan gampang menanggulanginya. Tapi sekarang kan tersebar di 39 Kecamatan 202 Desa. Jadi artinya itu sangat susah membagi orang. Karena itu kita kan timnya juga untuk monitoring, monitor juga bagi-bagi tugasnya. Kita kan personelnya kurang," ungkapnya.

Terkait rencana jangka panjang pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana, Ade memastikan hal itu sudah dipersiapkan.

"Sebenarnya kemarin sudah dilakukan untuk sosialisasi ke masyarakat. Bahwa Kabupaten Sukabumi itu merupakan Kabupaten yang rawan bencana setelah Kabupaten Cianjur. Tapi ini kan ternyata dampak kebencanaannya tidak diperkirakan lah ya. Kebencanaannya begitu merata di Kabupaten Sukabumi," kata Ade.

Ade juga memastikan evaluasi kebijakan mitigasi bencana sudah dilaksanakan. "Malahan Pak Bupati sudah memberikan tanah untuk BMKG. Di sana kan sudah ada. Itu berarti kita berpikir bahwa Kabupaten Sukabumi itu kan rawan bencana," tuturnya. Pernyataan Ade itu menyasar terkait rencana pembangunan Stasiun Geofisika BMKG di Palabuhanratu yang direncanakan dibangun pada tahun ini. "Kalau ada BMKG di Kabupaten Sukabumi mungkin pemantauannya agak lebih cepat," tuturnya.

Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Sukabumi, Deden Sumpena mengatakan, bahwa perencanaan mitigasi jangka panjang di daerah rawan bencana adalah melakukan pengijauan kembali lahan hutan yang gundul.

"Bagaimana agar mengembalikan alam seperti sedia kala itu paling penting, supaya tidak terjadi bencana longsor maupun hidrometeorologi lain. Kemudian juga memberikan pendidikan terhadap anak usia dini terkait kesiapsiagaan bencana," ujarnya.

"Karena bagaimanapun Kabupaten Sukabumi itu supermarketnya bencana atau rawan bencana. Kita tidak menghindar, tapi harus edukasi masyarakat untuk meminimalisir saat bencana tidak timbul korban jiwa," tambahnya.

Lokasi longsor di Cisarakan Loji Simpenan SukabumiLokasi longsor di Cisarakan Loji Simpenan Sukabumi

Bencana Terparah sejak 10 Tahun Terakhir

Bencana hidrometeorologi di Kabupaten Sukabumi ini mengindikasikan kondisi alam di wilayah tersebut tidak sedang baik-baik saja. Selain dampak dari perubahan iklim, hal itu juga ditengarai sejumlah pihak karena kerusakan lingkungan.

Menurut Sekda Ade, curah hujan yang tinggi adalah faktor utama pemicu bencana ini. Namun ia juga tak menampik bahwa kondisi lingkungan utamanya dampak dari alih fungsi lahan menjadi faktor lainnya.

"Mungkin itu (alih fungsi lahan) sebagian. Tapi pada intinya kejadian kemarin hemat saya itu curah hujan yang tinggi, karena waktu itu hujan dari mulai tanggal 1, 2, 3. Kejadian kan bisa dilihat tanggal 3 masih hujan deras. Pas tanggal 4 baru kelihatan. Tanggal 3 malam itu udah pada laporan. Itu aja," ujarnya.

Sementara itu Plt Kepala Pelaksana BPBD Jawa Barat, Anne Hermadianne, menyebut bencana alam di Kabupaten Sukabumi di penghujung tahun 2024 tersebut dikategorikan sebagai bencana terparah dalam satu dekade atau 10 tahun terakhir. Penyebabnya, banyak alih fungsi lahan.

“Betul (terparah sejak 10 tahun kebelakang), kenapa? Karena sudah banyak alih fungsi lahan terutama,” ujar Anne kepada awak media saat meninjau langsung lokasi bencana pergerakan tanah di Kampung Cihonje, Rt 01/06, Desa Sukamaju, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Jumat (6/12/2024).

Menurutnya, hal itu merujuk banyaknya titik lokasi bencana yang terjadi di Kabupaten Sukabumi yang didominasi oleh bencana angin kencang, banjir, tanah bergerak hingga longsor yang mengakibatkan putusnya sebagian akses jalan.

“Kita kembali introspeksi diri, apakah kita menjaga alam atau apakah kita mengubah alam kita ini menjadi kegiatan ekonomis yang justru mengubah alam tersebut,” tuturnya.

Wilayah terdampak banjir Desember 2024 di Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi (foto tengah). Kerusakan hutan di Puncak Buluh, Kecamatan Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi, akibat bencana Desember 2024 (foto kiri dan kanan). | Foto: Istimewa/Endi SaputraWilayah terdampak banjir Desember 2024 di Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi (foto tengah). Kerusakan hutan di Puncak Buluh, Kecamatan Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi, akibat bencana Desember 2024 (foto kiri dan kanan). | Foto: Istimewa/Endi Saputra

Di lain pihak, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto menyebut, sejak awal pihaknya sudah mendeteksi potensi hujan ekstrem lebih dari 150 milimeter di Sukabumi pada awal Desember. Ia mengatakan hujan hingga angin kencang hanya salah satu faktor yang mempengaruhi bencana alam. Adapun faktor penentunya, adalah kualitas lingkungan.

"Nah, bencana di Sukabumi itu sebenarnya tidak murni satu dari curah hujan, namun itu adalah salah satu faktor saja pemicunya. Kalau seandainya mungkin Sukabumi tidak berlereng, kemudian juga penampungannya cukup baik, infrastruktur airnya cukup baik, mungkin tidak seperti itu," ujar Guswanto kepada awak media, Kamis (5/12/2024).

Guswanto pun mengungkap bahwa hujan yang terjadi di Sukabumi saat terjadi bencana banjir bandang pun masih hujan lebat, belum ekstrem. "Nah kombinasi dari keadaan lingkungan ditambah dengan kombinasi curah hujan yang begitu lebat dalam waktu singkat. Itu yang menyebabkan kombinasi,” ujarnya.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengaku prihatin terhadap kondisi Kabupaten Sukabumi, khususnya di daerah selatan yang tergambar dalam citra satelit yang 65 persen tutupan hutan di wilayah tersebut hilang. Sementara yang tersisa hanya lereng dan jenis tanah yang sangat rentan terhadap erosi.

“Tanahnya relatif dalam, dan saat tanah jenuh dengan air karena curah hujan yang tinggi, ini dapat menyebabkan berbagai bencana, mulai dari tanah longsor hingga banjir bandang,” kata Hanif saat mengunjungi lokasi terdampak bencana di Desa Lembursawah, Pabuaran, Sukabumi, Jawa Barat, Minggu (15/12/2024).

Hanif kemudian mengajak untuk memperbaiki lanskap kawasan tersebut dengan langkah serius. Salah satunya dengan kegiatan vegetatif dan teknik sipil. Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan Provinsi Jawa Barat, serta masyarakat perlu melakukan penghijauan di area yang tidak termasuk dalam kawasan hutan. Misalnya dengan menanam pohon penahan erosi, yakni jabon, mahoni, dan jati.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq saat meninjau lokasi pengungsian korban bencana di Desa Lembursawah, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi, Minggu (15/12/2024).Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq saat meninjau lokasi pengungsian korban bencana di Desa Lembursawah, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Sukabumi, Minggu (15/12/2024).

Selain itu, Hanif menekankan pentingnya pembangunan embung untuk menahan air agar tidak langsung mengalir dan memperburuk kondisi wilayah.

“Kami juga akan mengingatkan kementerian terkait, seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umum, serta Pemerintah Daerah, untuk lebih serius dalam menangani masalah lingkungan ini,” ujar Hanif.

Di samping itu, Hanif menegaskan bahwa pengawasan lingkungan dan penegakan hukum terhadap usaha-usaha pertambangan dan kegiatan kehutanan yang merusak lingkungan juga akan dilakukan.

“Kami akan mengecek kembali kegiatan pembangunan hutan tanaman energi dan kapasitas lahan yang digunakan untuk memastikan bahwa semuanya sesuai dengan ketentuan,” tegasnya.

Bukan hanya itu, ia akan mengingatkan Menteri Kehutanan, Menteri PU, Gubernur Jawa Barat dan Bupati Sukabumi untuk serius melaksanakan kegiatan penanganan lingkungan, karena hal tersebut merupakan tugasnya Menteri Lingkungan Hidup.

“Jadi kami harus mengingatkan semua. Kami juga tidak menutup kemungkinan untuk melakukan pengawasan lingkungan dan penegakan hukum pada poin-poin yang diindikasi memperparah kondisi bencana banjir ini,” tandasnya.

Adanya perubahan penggunaan lahan di kawasan pegunungan juga disebut Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Amien Widodo, sebagai salah satu faktor pemicu bencana alam di Kabupaten Sukabumi, utamanya pergerakan tanah.

"Perubahan tersebut tidak terjadi secara mendadak, melainkan melalui proses panjang yang sudah berlangsung selama puluhan tahun," kata dia dikutip dari laman ITS yang dipublikasikan pada Kamis (12/12/2024).

Amien menyebut, salah satu bentuk perubahan yang paling mencolok terjadi adalah pada lahan di sisi kiri dan kanan jalan yang memotong lereng gunung. Awalnya, pemotongan lereng dilakukan untuk pembangunan jalan, yang secara langsung mengganggu stabilitas lereng akibat peningkatan sudut kemiringan.

"Selanjutnya, permukiman mulai bermunculan di sekitar jalan, baik di sisi kiri, kanan, atas, maupun bawah jalan. Penduduk sering kali membersihkan lahan dengan menebang pohon, sehingga daya kohesi tanah menurun. Kondisi ini diperburuk oleh pemotongan lereng untuk pembangunan rumah, yang semakin meningkatkan sudut kemiringan lereng dan membuat stabilitasnya menjadi semakin kritis," tuturnya.

Amien juga menjelaskan bahwa semakin banyak dan beratnya bangunan di sekitar lereng berkontribusi pada bertambahnya massa tanah yang memperburuk kondisi. Akan muncul retakan yang semakin lebar, banyak, dan tanah yang semakin turun. “Inilah yang biasa orang awam sebut sebagai tanah ambles,” tambahnya.

Pakar geologi ITS ini juga menyoroti fenomena cuaca ekstrem akibat pemanasan global yang akhirnya memperparah kondisi. Pemanasan global meningkatkan intensitas hujan, angin, hingga gelombang laut. Dampak ini terlihat pada fenomena La Nina yang menyebabkan curah hujan meningkat hingga 20 persen lebih tinggi dari biasanya. “Curah hujan yang tinggi seperti ini menjadi pemicu utama terjadinya tanah bergerak,” papar Amien.

Lebih lanjut, terang Amien, perubahan paling signifikan terlihat dari topografi Sukabumi yang kini mengalami perubahan akibat aktivitas manusia. Kawasan yang sebelumnya menjadi area resapan air kini berubah fungsi. Akibatnya, air hujan tidak dapat meresap secara optimal ke dalam tanah, melainkan mengalir sebagai air permukaan yang memicu erosi, banjir, dan tanah longsor. “Proses ini mempercepat ketidakstabilan tanah, terutama di wilayah dengan banyak pemotongan bukit,” jelas dosen Departemen Teknik Geofisika ITS tersebut.

Untuk mengatasi masalah ini, Amien menyarankan pengembalian fungsi hutan di puncak bukit. Menurutnya, kawasan tersebut seharusnya dikonservasi dan tidak digunakan untuk aktivitas manusia. Langkah ini akan membantu menjaga keseimbangan ekologis dan mengurangi risiko bencana di masa depan. “Kita perlu menghitung kembali kapasitas resapan dan aliran air di kawasan tersebut,” ujarnya mengingatkan.

Kolase foto kondisi pergerakan tanah di Kampung Cihonje, Cikembar Sukabumi.Kolase foto kondisi pergerakan tanah di Kampung Cihonje, Cikembar Sukabumi.

Terkait mitigasi bencana, Amien menilai bahwa upaya pemerintah sebenarnya sudah cukup baik, terutama dalam penyusunan peta kawasan rawan bencana. Namun, ia menekankan perlunya tindakan lebih lanjut untuk mengedukasi masyarakat dan memberikan solusi konkret di daerah rawan, seperti segera mengungsikan warga di sekitar daerah retakan tanah hingga langkah perbaikan dilakukan.

Tak hanya itu, pakar mitigasi kebencanaan ini juga menyoroti perlunya regulasi tata ruang yang lebih tegas. Amien menyarankan adanya kolaborasi lintas kementerian untuk menyusun kebijakan yang dapat mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut. “Ini saatnya berbagai pihak duduk bersama untuk mengatasi masalah ini secara terintegrasi,” tegasnya.

Amien juga mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada terhadap tanda-tanda awal pergerakan tanah. Retakan tanah, rumah yang mulai miring atau retak, serta tiang listrik yang bergeser adalah beberapa indikator yang perlu diperhatikan.

“Jika melihat tanda-tanda tersebut, segera laporkan kepada pihak yang berwenang seperti BPBD setempat agar segera dilakukan kajian dan mengungsi jika diperlukan,” kata Amien menyarankan.

Meski Sukabumi menjadi sorotan utama wilayah yang terdampak, Amien mengingatkan bahwa bencana serupa juga dapat terjadi di wilayah lain di Indonesia. Dengan kondisi iklim tropis, sebagian besar wilayah di Indonesia rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan banjir bandang. “Melalui regulasi yang tepat dan edukasi masyarakat yang baik, dampak bencana seperti ini dapat diminimalkan,” pungkasnya.

Turangga Anom berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Editor : Denis Febrian

Tags :
BERITA TERKAIT